Komparatif.ID,Jakarta– Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI AA LaNyalla Mahmud Mattalitti, Rabu (15/6/2022) menyebutkan otonomi daerah hampir hilang seluruhnya karena kewenangannya telah ditarik oleh Pemerintah Pusat.
Hal itu disampaikan AA LaNyalla saat menerima kunjungan 12 finalis Putri Otonomi Indonesia 2022 di Ruang Delegasi, Lantai VIII, Gedung Nusantara III, Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta.
Kepada calon Putri Otonomi Daerah LaNyalla mengatakan saat ini otonomi daerah hanya jargon kosong. Hampir semua kewenangan desentralisasi dicabut dan kembali dipegang oleh Pemerintah Pusat. Pencabutan kewenangan daerah dilakukan melalui revisi undang-undang dan peraturan.
Sebagai Ketua DPD RI, LaNyalla mengatakan sering mendapatkan keluhan dari kepala daerah tentang kewenangan mereka yang dipangkas dan dialihkan ke Pusat.
“Apa masih ada otonomi daerah? Sepertinya otonomi daerah mulai hilang. Karena setiap kewenangannya sudah ditarik oleh Pusat. Itu yang harus kita perjuangkan bersama-sama,” kata LaNyalla.
Dia memberikan contoh dana bagi hasil yang persentasenya merugikan daerah. Pusat mengambil sebanyak-banyaknya tapi membagikan dengan jumlah tak sepadan.
“Banyak kepala daerah mengeluh tentang dana bagi hasil daerah. Dikeruk 10, diberi ke daerah 1. Ini sangat timpang,” katanya.
Pernyataan LaNyalla sejalan dengan Muhammad Addi Fauzani peneliti pada Pusat Studi Hukum Konstitusi Universitas Islam Indonesia (PSHK UII). Dalam sebuah artikelnya di detik, Addi menyebutkan otda dicerabut paksa melalui Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja.
Dalam artikel berjudul “UU Cipta Kerja dan Hak Otonomi Daerah” yang tayang pada 7 Oktober 2020, ia menulis:
Beberapa materi muatan dalam UU Omnibus Law Cipta Kerja telah nyata-nyata mereduksi hak otonomi seluas-luasnya yang diberikan kepada pemerintah daerah baik provinsi maupun kabupaten berdasarkan Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI 1945). Seperti pemangkasan beberapa kewenangan yang dimiliki pemerintah daerah (provinsi, kabupaten, dan/atau kota), di antaranya, sebagai berikut:
Hilangnya kewenangan memproses dan menerbitkan analisis mengenai dampak lingkungan hidup (amdal) dan izin lingkungan (Pasal 22). Hilangnya konsultasi penentuan wilayah potensial minyak dan gas bumi (Pasal 40). Dipangkasnya kewenangan ketenagalistrikan (Pasal 42). Hilangnya kewenangan memberikan persetujuan kawasan ekonomi khusus (Pasal 150).
Materi muatan dalam UU Cipta Kerja menguatkan pola yang mengarah pada kesimpulan terjadinya praktik resentralisasi kekuasaan yang juga ditemukan dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Pola tersebut terbentuk dengan lahirnya undang-undang yang memiliki pengaturan seperti penarikan urusan dari pemerintah daerah dan instrumen persetujuan atau evaluasi oleh Pemerintah Pusat yang semakin ketat.
Praktik resentralisasi ini sejatinya telah melanggar melanggar original intens yang melahirkan ketentuan dalam konstitusi yang menyatakan bahwa otonomi seluas-luasnya dimiliki oleh pemerintah daerah.