Orang Aceh Tempo Dulu Pantang Pakai Nama Orangtua

Orang Aceh Tempo Dulu
Ilustrasi merupakan karya Zulfadli Kawom yang dibantu teknologi AI.

Orang Aceh tempo dulu, tidak rangkai nama ayah di belakang namanya. Trend membubuhkan nama ayah di belakang nama sendiri, terjadi setelah kembalinya orang-orang yang menimba ilmu ke Timur Tengah, khususnya Mesir. Demikian ditulis oleh Teungku M. Amin Teupin Raya, dalam sebuah catatannya pada “Seminar Masuk dan berkembangnya Agama islam di Daerah Istimewa Aceh”, yang digelar oleh Majelis Ulama Daerah Istimewa Aceh pada Juni 1978.

Dalam catatan tersebut Teungku M. Amin Teupin Raya menuliskan orang Aceh sebelum dan hatta sesudah Belanda sekalipun. Setidak-tidaknya bertahan hingga 50 tahun terakhir.

Pantang bagi orang Aceh untuk menyebutkan nama orangtuanya di belakang namanya, karena dianggap suatu penghinaan.

Baca: Mukhti, Mata Pena yang Patah

Bukan hanya orang ternama, tapi juga jelata, tidak merangkai namanya dengan nama ayahnya. Kalau perlu untuk menghilangkan keraguan, maka di belakang namanya ditambahkan dengan gelarnya; yang biasanya disebutkan tempat tinggalnya. Seperti Teungku Abdurahman Meunasah Meucap, Teungku M. Daud Beureueh, Teungku Abdullah Ujong Rimba, dan lain-lain.

Model menambahkan nama ayah di belakang nama seseorang, baru berumur lebih kurang 50 tahun, yaitu barang impor dari Timur Tengah atau tegasnya dari Mesir, yang dibawa pulang oleh tokoh-tokoh alim ulama Aceh yang belajar ke sana. Seperti Mahmud Yunus, Kasim Bahry, Ilyas M. Ali, dan lain-lain.

Model demikian disebarkan pula kepada murid-murid mereka. Maka kemudian timbullah nama-nama seperti Ismail Ya’cob, Ahmad Abdullah, Mahyeddin Yusuf, dan sebagainya.

Pun demikian, tidak semuanya juga seturut demikian. Seperti Nya’ Makam, M. Amin, dan lain-lain, tidak merangkaikan nama mereka dengan nama orangtua di belakang namanya.

Banyak pula orang Aceh yang masih malu-malu atau tidak terang-terangan menyebut nama orangtua di belakang namanya, umpamanya Ismuha.

Nama Orang Aceh Banyak yang Sama

Tulisan Teungku M. Amin Teupin Raya, yang dibuat pada 20 Juni 1978, merupakan koreksi atas tulisan Drs. H.Ismuha,S.H, yang berjudul Sejarah Perkembangan Pendidikan Agama di Aceh. Dalam tulisan tersebut Ismuha menulis pendidikan Islam terhadap anak-anak sudah dimulai sejak anak lahir. Setiap anak laki-laki lahir, diazankan di telinganya, dan kalau anak perempuan diqamatkan di telinganya.

Pada hari ketujuh dari hari kelahiran bayi, orangtuanya menyembelih seekor kambing untuk bayi wanita, dan dua ekor kambing untuk bayi laki-laki. Sembelihan tersebut disebut aqiqah. Maksudnya selain mendapatkan fahala karena kegiatan itu merupakan salah satu sunat, juga merupakan sempena supaya anak itu nantinya akan mengorbankan harta kekayaaanya untuk kepentingan orang lain.

Pada hari ketujuh atau pada hari 44, bayi diberi nama yang baik-baik. Adakalanya nama itu diambil dari nama Tuhan yang dirangkai dengan perkataan ‘abdu sebelumnya, yang berarti hamba. Umpanyanya Abdullah; yang berarti hamba Allah. Abdul Karim yang diambil dari asmaul husna, dan lain-lain. Atau diambil dari nama-nama nabi seperti Adam, Ismail, Ishak, Ibrahim, Isa, Musa, Harun, Zulkifli, Ya’cob, Daud, dll. Dari nama sahabat Nabi Muhammad seperti Abubakar, Umar, Usman, Ali, dll.

Bayi perempuan diberi nama serupa dengan nama istri Nabi Muhammad seperti Khadijah, Aisyah. Juga dari nama ibu Nabi Muhammad; Maimunah, atau dari nama-nama anak-anak Nabi Muhammad.

Dengan demikian nama-nama orang Aceh banyak yang serupa. Demi menghilangkan kecumbuan akibat kesamaan nama, maka timbullah sebuah mode merangkai nama seseorang dengan nama orangtuanya. Umpamanya Ibrahim, nama ayahnya Husen, maka namanya menjadi Ibrahim Husen. Meskipun demikian, masih terdapat nama Ibrahim Husen lebih dari satu orang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here