H. Nasir Tarigan sudah lama mengidap penyakit lupa. Dalam satu hari ia bisa berkali-kali lupa, meski baru saja ia ingat sesuatu. Meski tidak lagi normal, H. Nasir Tarigan tetap memegang teguh prinsip bahwa dirinya tidak salah ingat.
Nasir Tarigan merupakan penduduk Kampung Kincir, di sebuah permukiman di tepian Jakarta. Karena faktor usia, seluruh rambutnya telah memutih. Di Kincir, meski tak masuk klasifikasi tokoh, tapi tetap dihormati. Penghormatan tersebut selain karena ia termasuk warga yang berpunya, juga kedermawanan di kala masih “sehat”.
Baca: Nasir Djamil Apresiasi Bobby Karena Ajak Aceh Kelola Migas Bersama
Semenjak mengalami gangguan ingatan, ia menjadi pria si uroe tujôh gö leuhô (plin-plan). Semua orang memakluminya, karena perubahan itu bukan karena jabatan, tapi karena gangguan kesehatan.
Sebagai mantan jawara, H. Nasir Tarigan juga disegani oleh anak muda. Bila marah, sang Haji langsung menampakkan kemarahannya. Dengan logat Betawi, ia menantang siapa saja yang berani adu mulut dengannya.
Habibie, lelaki tua karismatik tapi miskin, dan harus menafkahi cucu-cucunya korban broken home, tahu betul cara menghadapi H. Nasir Tarigan. Dialah salah satu warga yang tahu bila H. Nasir Tarigan bukan Betawi.
“Abang bukan Betawi, tapi Batak. Abang kan datang ke kampung ini ketika masih muda. Jadi Abang bukan lahir di sini. Abang datang dari Medan sana,” kata Habibie, saat mereka ngobrol soal jual-beli tanah.
Ya, suatu hari H. Tarigan yang sering disapa H. Royani, menjual tanahnya kepada Udin–Baharuddin– hansip kampung yang tiba-tiba kaya karena menemukan uang satu ransel. Udin membeli tanah H. Royani. Setelah uang diserahkan, Udin lupa mengambil sertifikat.
Setelah menjual tanah kepada Udin, Haji Royani lupa. Ia mengira bila ia menjual tanahnya kepada H. Jalal, pria kaya di Kampung Kincir yang juga temannya semasa muda.
Habibie hampir kehabisan akal meyakinkan bila sang Haji menjual tanahnya kepada Udin, bukan untuk H. Jalal. Ia tiba-tiba menemukan celah, tatkala H. Royani mengatakan dirinya sejak kecil telah di Kampung Kincir.
Habibie menjelaskan bila Royani bukan warga yang lahir di Kincir. Tapi pendatang dari Medan. “Nama Abang kan Nasir Tarigan. Orang-orang memanggil Haji Royani karena Abang sangat menggemari Ida Royani.”
Sang Haji terkejut, kemudian tertawa. Mereka berdua tertawa.
Sinetron Para Pencari Tuhan (PPT) yang tayang di sebuah stasiun TV swasta, ditayangkan setiap Ramadan, memang salah satu sinema elektronik yang menampilkan wajah Indonesia akar rumput. Warga Kincir yang naif, lucu, menyebalkan, dan terus-menerus berkelindan dalam kemiskinan.
Trio RW yang terdiri dari Ketua RW Idrus, Ketua RT Yos, dan Bendahara RW Hakim, merupakan tiga sekawan pemimpin Kincir yang curang, sok pintar, intimidatif, tapi tak berdaya di hadapan agamawan lurus bernama Ustad Feri, dan orang kaya yang murah hati tapi gemar membully, H. Jalal.
Warga paling menyebalkan bagi trio RW bukan Udin Hansip yang terkadang jujur dan terkadang culas. Mereka sakit kepala kepada Bonte– warga miskin idealis yang kritis. Bonte tidak bisa disogok. Tak bisa diajak kerja sama dalam kemungkaran. Mereka juga tidak suka kepada Asrul, pria asal Tebing Tinggi yang paham agama, miskin, tapi tingkat temperamentalnya sangat tinggi. Asrul juga sangat naif; sekaligus idealis.
Asrul tersinggung bila dikasihani. Tapi juga menyindir-sindir bila H. Jalal lupa menaruh namanya dalam daftar penerima derma.
Trio RW paling suka kepada Azzam dan Aya, pasangan suami-istri kaya yang selalu memberikan bantuan kepada siapa saja, tanpa banyak tanya.
Satu-satunya yang paling ditakuti trio RW adalah istri Pak RW. Perempuan itu sangat peduli pada marwah suaminya. Ia tidak mau suaminya bertindak curang. Ia ingin suaminya menjadi pejabat jujur. Ia tidak mau dinafkahi dari sumber-sumber haram.
Trio RW selalu memiliki rencana nakal. Seringkali mencoba mengibus Ustad Feri dan H. Jalal dengan isu-isu agama. Bahkan hampir menggusur mushola demi mendapatkan fee dari pengusaha supermarket. Tapi usaha tersebut gagal. Selain karena mendapatkan penolakan dari tokoh, pengusaha supermarket menolak melanjutkan kerja sama karena selain harus ganti rugi, juga diarahkan oleh Trio RW membangun masjid sebagai bentuk partisipasi dalam syiar agama.
Kampung Kincir dihuni oleh orang-orang naif. Penduduk miskin yang pragmatis, solider sekaligus mudah diprovokasi. Orang kaya yang gemar berderma tapi tak begitu peduli membangun sistem ekonomi secara serius.
Agamawannya lurus tapi tergoda popularitas, pemimpin curang, dan orang-orang tua yang sering lupa ingatan karena faktor usia, tapi merasa masih sangat pintar dan paling benar. Serta anak-anak muda yang ingin maju, tapi ditempatkan di mushola, ditugaskan merawat kembang. Mereka bertahan di sana karena tak tahu harus ke mana.