Musadere, Cara Kesultanan Ustmani Memberangus  Korupsi

musadere kesultanan ustmani
Ilustrasi suasana di masa Pemerintahan Turki Usmani (Ottoman). (iStockphoto/syolacan)

Menggunakan musadere, Kesultanan Ustmani menyita harta pejabat korup dan yang bekerjasama dengan musuh. Sejumlah ulama juga dilucuti kekayaannya karena melakukan kesalahan. 

Pejabat korupsi bukan barang baru di Indonesia. Sejak Republik Indonesia berdiri, kasus-kasus besar korupsi selalu menjadi pemberitaan media massa. Semakin ke sini, semakin banyak pejabat tinggi yang melakukan tindak pidana korupsi. Bahkan muncul adagium, bila ada kasus korupsi yang terbongkar dan kemudian pelakunya dihukum, bukan karena penegakan hukum sedang berlangsung [dengan baik]. Tapi si pejabat sedang apes saja. adagium itu lahir karena korupsi di Indonesia bukan lagi sesuatu yang musykil.

Korupsi telah ada seiring dengan lahirnya peradaban manusia. Korupsi sama tuanya dengan pelacuran.

Kita tentu sudah mendengar nama Kesultanan Ustmaniyah yang berdiri 27 Juli 1299 dan dibubarkan pada 1 November 1922. Imperium yang didirikan pertama kali oleh Osman I setelah bubarnya Kesultanan Rum, juga tidak luput dari perilaku korupsi para pejabatnya.

Baca: Berziarah ke Makam Ayyub Al-Anshari di Istanbul 

Koruptor di era Kesultanan Ustmani bukan hanya dilakukan oleh pejabat, tetapi juga dilakukan oleh ulama. Pada era Sultan Ibrahim, seorang ulama bernama Jinji Hodja, harus disita seluruh hartanya karena terbukti menerima suap sepanjang hidupnya.

Kemudian Syaikhul Islam Feyzullah Efendi dari Erzurum, juga harus disita hartanya yang berjumlah 100 karung uang tunai, karena terbukti terlibat dalam insiden Edirne yang menyebabkan dieksekusinya Sultan Mustafa II.

Pada era Kesultanan Ustmani praktek memiskinkan koruptor telah dilakukan dengan istilah musadere. Musadere merupakan sebuah metode menyita harta mereka yang mendapatkan hukuman karena keterlibatan dalam kejahatan, dan kemudian disita untuk kepentingan negara.

Sistem musadere diberlakukan di Ustmani sejak satu setengah abad setelah imperium tersebut berdiri. Berlanjut era Fatih Sultan Mehmed, dan berakhir pada periode Tanzimat.

Praktek secara luas dilakukan pada era Fatih Sultan Mehmed. Saat itu negara menyita seluruh harta milik Wazir Agung Candarli Halil Pasha, yang berkolaborasi dengan Bizantium.

Wazir Agung Candarli juga menerima suap supaya bekerja menghalangi Sultan melakukan rencana penaklukan terhadap Konstantinopel. Bukan hanya hartanya yang disita, tapi Wazir Agung Candarli juga dihukum mati.

Sejak saat itu, penyitaan harta menjadi tradisi yang diterapkan untuk seluruh pejabat negara. Baik yang terbukti melakukan korupsi maupun yang tidak ditemukan kesalahan. Seorang pejabat yang meninggal dunia, disita seluruh hartanya. Prinsip yang dibangun kala itu, semua harta benda baik berupa uang maupun properti yang dimiliki dan diperoleh oleh pejabat negara dalam masa jabatannya adalah milik negara, bukan milik individu.

Sebagai sebuah sistem pemerintahan yang sudah mapan, meskipun melakukan penyitaan harta para pejabat negara, Ustmani tetap akan menyerahkan harta warisan bagi keluarga mendiang, sebatas demi mencukupi nafkah dan kebutuhan hidup.

Meskipun terlihat kasar, praktek musadere membawa dampak bagus bagi negara. Praktek musadere mencegah meluasnya keinginan para pejabat negara menyalahgunakan jabatan dan wewenang demi memperkaya diri. Praktek tersebut juga menekankan mentalitas betapa pentingnya bekerja keras dengan mengandalkan kemampuan diri, tanpa memanfaatkan status keturunan dan posisi di pemerintahan.

Meskipun praktek musadere membawa dampak baik bagi Kesultanan Ustmani, bukan berarti kritik tidak terjadi. Sejak abad 18 kritik semakin tajam. Seperti pada era Sultan Selim III (1789-1807) yang menggunakan harta sitaan itu untuk kepentingan perang Ottoman & Rusia-Austria.

Karena kritikan tajam tersebut, Sultan Selim III menegaskan bahwa dirinya tidak akan sama sekali menyentuh harta benda anak yatim, dan mereka yang memperoleh harta dari hasil kerja keras mereka sendiri.

Sultan Selim III juga menegaskan harta yang diperoleh dari gerbang negara (didapatkan karena jabatan dan pangkat) bukanlah milik ahli waris almarhum maupun sultan sendiri. Semua harta yang diperoleh karena jabatan, merupakan milik negara dan dialokasikan sepenuhnya untuk baitul mal, serta dipergunakan untuk kepentingan negara dan agama.

Penyalurannya seperti untuk mencukupi kebutuhan perang mempertahankan wilayah dan rakyat yang tinggal di wilayah yang sedang dipertahankan tersebut.

Akhirnya, karena reaksi dari para pejabat, pada abad 19 di era Tanzimat, Dewan Birokrasi Hukum Ottoman (Majelis-I Vala-yi Ahkam-I Adliyye) hukum tersebut dihapus. Penghapusan tersebut berlangsung pada 3 Oktober 1839.

Penghapusan tersebut harus dilakukan dengan pertimbangan  bahwa musadere telah mematahkan tekad masyarakat bekerja lebih giat, yang berdampak pada terhambatnya pembangunan negara.

Benarkah penghapusan musadere karena faktor tersebut? Entahlah. Karena semuanya berkaitan dengan politik.

Kelemahan terbesar Kesultanan Ustmani adalah sangat tergantung pada sosok sultan. Ketika Sultan Sulaiman wafat, para sultan Ottoman banyak yang lalai dengan kekuasaan. Mereka terlena dan menikmati sehingga menyebabkan mereka takut mati.

Para sultan yang duduk di singgasana tidak lagi sebagai seorang pemimpin. Kurang melibatkan diri dalam sistem adminitrasi negara, tidak lagi memimpin perang di medan laga. Mereka sibuk berleha-leha di dalam istana, menikmati segala fasilitas dan pelayanan.

Muncul pemberontakan di sana sini akibat ketidakpuasan. Wilayah-wilayah yang melawan karena tidak lagi percaya kepada kemampuan sultan, menolak membayar pajak dan upeti.

Benih-benih korupsi seperti jual beli jabatan di badan pemerintahan juga disebut lazim. Untuk mendapat jabatan di kekaisaran, seorang calon harus memberikan banyak hadiah sebagai sogokan kepada sultan dan para keluarganya.Hal itu juga diterapkan bagi mereka yang ingin menjadi gubernur.

Sumber: Cengiz Tomar, Musadere, TDV Islam Ansiklopedisi. Tuncay Ogun, Osmanlilarda. Mahmud Esad Laipci, jurnal tesis klasik Donem Osmanli Hukumkunda Musadere Kurumu, Istanbul 2013. Citra Muslim.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here