Muniru, Tradisi Orang Gayo Menghangatkan Badan

Sebagai sebuah kebutuhan sekunder, muniru dapat dilakukan kapan saja. Termasuk ketika bermain bersama buah hati. Foto: HO Rodiansyah for Komparatif.id.

Muniru merupakan tradisi masyarakat di Dataran Tinggi Gayo untuk menghangatkan badan. Dalam bahasa Aceh disebut meusalee. Dalam bahasa Indonesia disebut berganggang; memanaskan diri di dekat api untuk menghalau rasa dingin.

Hari itu, awal Desember 2022, sudah waktunya bulir-bulir kopi harus dipetik. Kulit buahnya telah banyak yang merah; pertanda bahwa sudah paripurna mengkal di batang. Rodiansyah berangkat ke kebun kopi dengan riang gembira.

Desember merupakan bulan yang penuh dengan hujan. Mendung lebih sering bergelayut di angkasa, memberi signal bahwa hujan akan turun. Hari itu hujan turun, Rodiansyah harus pulang. ketika langit bergembira sembari memandikan mayapada, satu-satunya yang paling mungkin dilakukan yaitu ber-muniru di teras rumah sembari menyeruput kopi panas.

Baca juga: Sufi Nusantara Pesta Kopi di Tanoh Gayo

Tiba di rumah, ia segera ke dapur. Mengambil beberapa potong kayu kering, kemudian ditaruh ke dalam wadah yang dibuat dari plat tipis. Rodiansyah menyulut api, kemudian menjaganya hingga melumat kayu-kayu yang dia taruh di atasnya. 7 menit kemudian, dia sudah bersantai di dekat perapian tersebut.

Menghangatkan diri merupakan aktivitas manusia di berbagai belahan dunia. Cuma caranya saja berbeda-beda.

Di Eropa, untuk melawan hawa dingin yang sangat menganggu di musim dingin, penduduk Benua Biru membangun fireplace di dalam rumah. Berupa tungku tempat membakar kayu yang diberikan tambahan cerobong asap untuk membuang aerosol ke luar rumah.

Tapi tidak demikian yang dilakukan oleh suku Inuit di Kutub Utara. Rumah-rumah mereka seluruhnya dibangun dari balok es, sehingga tidak memungkinkan mereka membuat api unggun; kalau itu dilakukan berarti mereka meruntuhkan rumah sendiri. Supaya tetap hangat mereka membangun iglo-nya dengan teknik tertentu.

Di Dataran Tinggi Gayo, meski fireplace tetap dibuat, tapi tidak seserius orang Eropa. Rumah-rumah di Tanoh Gayo juga tidak dibangun cerobong asap. Dinginnya cuaca Tanoh Gayo tidak ekstrim. Di tempat-tempat tertentu memang sangat terasa, tapi tidak sampai membuat tubuh hipotermia bila tubuh sudah dibalut jaket tebal.

Setiap kali merasa dingin dan harus menghangatkan badan, orang di Tanoh Gayo akan membuat perapian kecil di teras rumah. Dulu, ketika dapur masih tradisional, di sanalah mereka berkumpul bersama keluarga. Membuat api unggun di dapur sembari menyeruput kopi; dan ayah menyundut tembakau yang telah dibalut dalam lembar daun nipah.

Rodiansyah menyebutkan, bila ke Tanoh Gayo dan melihat balai-balai di tepi jalan, yang di depannya ada onggokan kayu bakar, itulah tempat kaum lelaki berkumpul di sore atau malam hari sembari ber-muniru. Mereka membuat perapian demi menghangatkan tubuh. Tubuh mereka juga telah di-salop jaket tebal dan kain sarung.

Bagi kaum lelaki Tanoh Gayo, muniru juga dapat dilakukan bersama-sama sembari ngobrol apa saja. Foto: HO Rodiansyah for Komparatif.id.
Bagi kaum lelaki Tanoh Gayo, muniru juga dapat dilakukan bersama-sama sembari ngobrol apa saja. Foto: HO Rodiansyah for Komparatif.id.

Sembari sesekali mendekatkan telapak tangan ke api dan kemudian menggosokkan ke wajah—untuk mendapatkan sensasi hangat, banyak hal yang dibicarakan sembari mengudap jagung dan ubi bakar, dan menyundut kretek.

Meski dunia berubah, muniru tetap tak berganti. Tradisi tersebut akan terus ada selama Tanoh Gayo masih dibekap dingin. Sejatinya dingin tak boleh pergi dari negeri tersebut. Karena hawa dinginlah yang membuat arabica terus tumbuh dan berbuah, memberikan pengharapan kepada penduduk, demi mencapai angan dan cita-cita.

Hawa dinginlah yang memberikan makna tentang Gayo, negeri yang makmur, subur, dan indah. Muniru hadir sebagai penyeimbang antara dingin dan keberlanjutan tradisi dan kemakmuran.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here