
Komparatif.ID, Jakarta— Pemerintah Aceh terus berupaya menggairahkan kembali sektor industri yang sempat mati suri demi mendorong pertumbuhan ekonomi daerah serta membuka lapangan kerja baru.
Salah satu cara yang digodok Gubernur Aceh Muzakir Manaf (Mualem) adalah reaktivasi Pabrik Kertas Aceh yang telah lama tidak beroperasi. Isu tersebut ia sampaikan langsung kepada pengusaha nasional Hasyim Djojohadikusumo dalam sebuah pertemuan di Aula Arsari Group, Jakarta Pusat, Jumat, (11/4/2025).
Menurut Muzakir Manaf, pabrik kertas Aceh bukan sekadar aset industri, tetapi juga simbol penting bagi kebangkitan ekonomi Aceh yang mandiri dan berkelanjutan.
“Pabrik Kertas Aceh sudah lama tidak beroperasi. Ini kerugian besar, padahal kita punya potensi bahan baku dan tenaga kerja yang bisa dioptimalkan. Kami berharap ada investor nasional yang tertarik untuk menghidupkan kembali pabrik ini,” kata Mualem.
Mualem meyakini revitalisasi pabrik kertas akan membawa dampak luas, mulai dari menyerap ribuan tenaga kerja lokal, mengurangi ketergantungan produk dari luar, hingga memperkuat posisi Aceh dalam rantai pasok industri kertas nasional.
Baca juga: Mualem: Potensi Ekraf Aceh Besar, SDM Masih Lemah
Ia menyebutkan, Pemerintah Aceh sangat terbuka terhadap investasi yang berdampak langsung pada masyarakat, termasuk untuk sektor industri dasar seperti ini.
Selain itu kepada Hasyim, Mualem juga menyebut pembangunan fasilitas penggilingan gabah di Aceh, yang dinilai sangat mendesak untuk menekan biaya distribusi dan meningkatkan kesejahteraan petani.
Menurut Mualem, selama ini hasil panen gabah dari Aceh harus dikirim ke Medan untuk digiling, lalu kembali lagi ke Aceh dalam bentuk beras. Proses panjang ini menyebabkan harga beras melonjak dan keuntungan petani menyusut.
Ia menilai pembangunan rice mill di Aceh akan memangkas rantai distribusi, menstabilkan harga, dan memberikan nilai tambah bagi petani lokal.
“Selama ini, gabah dari Aceh dikirim ke Medan untuk digiling, kemudian kembali ke Aceh dalam bentuk beras. Ini menyebabkan harga beras menjadi mahal dan petani kita tidak menikmati keuntungan secara optimal,” lanjutnya.
Tak kalah penting, Mualem juga meminta agar lahan ASEAN Aceh Fertilizer (AAF) yang masih berada di bawah wewenang pemerintah pusat dapat diserahkan kepada Pemerintah Aceh untuk dimanfaatkan secara maksimal.
Menanggapi paparan Mualem, Hasyim Djojohadikusumo menawarkan teknologi rice mill mini yang menurutnya sangat fleksibel dan cepat diimplementasikan, khususnya di daerah-daerah sentra pertanian Aceh.
Hasyim menjelaskan teknologi penggilingan padi mini yang dikembangkan bersama mitra teknologi seperti Siki Shor dan Akiva terbukti efektif di berbagai daerah, termasuk di wilayah terpencil yang belum terjangkau fasilitas penggilingan besar.
“Saya akan bantu hadirkan rice mill mini ke Aceh dan segera menghubungi para investor untuk melihat langsung potensi yang ada,” ujar Hasyim.