Kematian Nek Jah mengandung misteri. Berkali-kali ia dinyatakan mati, tapi berkali-kali hidup lagi. Menurut sejumlah orang, Nek Jah memelihara jin, yang ia sebut sahabat.
Saat Karim berusia 12 tahun, Nek Jak sudah sepuh. Di Kampung Pungget, hanya dia warga senior yang masih hidup. Usianya kala itu sudah mencapai 90 tahun.
Nek Jah hidup sebatangkara. Ia menetap pada sebuah rumah panggung di ujung kampung. Rumah panggung milik Nek Jah dibangun di dalam hamparan kebun tumpang sari yang luas.
Baca: Asal-usul Kuntilanak Pertama di Aceh
Dari jalan desa menuju rumahnya, berjarak sekitar 400 meter. Di kebun itu terdapat pohon rambutan, perdu pisang, langsat, mangga, kelapa. Juga ada perdu serai yang ditanam berjejer di sepanjang jalan setapa menuju rumah sang lansia. Juga ada lada, dan kunyit. Cabai kecil tumbuh subur di sudut-sudut kandang.
Nek Jah berperawakan tinggi, kulitnya kuning langsat. Rambutnya ikal.Ia gemar makan sirih yang dicampur pinang dan kapur.
Menurut cerita yang didengar Karim, semasa muda Nek Jah merupakan salah satu perempuan yang masuk golongan kembang desa di Gampong Pungget. Banyak pemuda jatuh cinta. Tapi upaya meminang selalu berbuah gagal.
Suaminya bernama Pawang Lah, seorang pria tinggi besar, berkulit legam, dan berasal dari kampung seberang lautan. Dia datang ke Gampong Pungget setelah perang besar melawan kaphe penjajah.
Pawang Lah dikenal memiliki kemampuan berkelahi, kemampuan menggunakan senjata api, serta kebal senjata tajam.
Setelah menikah dengan Nek Jah, Pawang Lah menetap di Gampong Pungget. Pernikahan mereka menghasilan empat anak. Tiga perempuan dan satu laki-laki.
Banyak yang bertanya-tanya mengapa Jah bersedia dinikahi oleh pria dari negeri jauh? Apa kelebihan pria itu selain hanya pengakuan dirinya pernah ikut berperang. Sebagian perjaka di masa itu memendam cemburu dan sakit hati.
Tapi ketika Pawang Lah masih muda, taka da yang berani mendekat. Mereka pernah menyaksikan Pawang Lah bergulat melawan empat pencuri lembu yang memiliki kemampuan berkelahi. Pawang tidak kesulitan merobohkan satu persatu maling bertubuh besar itu.
Kematian Pawang Lah cukup tragis. Pada usianya yang mulai sepuh, dituduh oleh orang kampung sebagai dukun santet. Dia dibantai di hamparan kebun kelapa milik Keuchik Li, tidak jauh dari sebuah telaga yang dikenal angker. Beberapa anak-anak pernah hilang di sana, dan tidak kunjung kembali. Warga menuduh bila Pawang Lah adalah orang yang bertanggung jawab.
Baca: Review Waktu Magrib: Kembalinya Arwah Wati
Sejak kematian suamianya, Nek Jah tidak lagi bergaul dengan masyarakat. Dia tidak lagi menghadiri undangan pesta perkawinan, maupun acara kematian. Sejak kematian Pawang Lah, anak-anaknya pun pindah dari kampung itu. Nek Jah tidak mau ikut anak-anaknya.
“Aku lahir di sini, menikah di sini, melahirkan kalian di sini. Jangan paksa aku keluar dari kampung ini. Sampai mati aku tetap di sini,” kata Nek Jak saat anak-anaknya membujuk perempuan itu pergi meninggalkan Gampong Pungget.
“Tapi ibu akan sendirian di sini,” kata anak tertua.
“Biarlah aku sendiri. Aku bersumpah, kesumat ini harus kubalas. Ayah kalian tidak salah apa-apa. Tapi mereka tega menghabisinya,” jawab Nek Jah yang kala itu belum sepuh.
Waktupun berlalu, satu persatu warga meninggal dunia karena penyakit tuanya. Ada yang hilang karena dituduh terlibat GPK.
Tinggallah Nek Jah seorang diri yang masih bertahan. Menyusuri lorong waktu sendirian. Anak-anaknya yang tinggal di luar Gampong Pungget pun kini telah beranjak tua.
***
Setiap orang dewasa di kampung itu, melarang anak-anak bermain dekat dengan rumah perempuan itu. kata orang-orang dewasa, Nek Jah merupakan nenek kabayan. Dia menculik anak-anak dan kemudian diserahkan kepada jin. Jin sahabat Nek Jah akan membawa anak-anak ke negeri bunian. Di negeri bunian, anak-anak tidak akan mati, dan dijadikan budak sampai kiamat tiba.
Anak-anaknya secara rutin datang menjenguk. Anak-anaknya yang datang dari jauh, selalu membawa oleh-oleh. Buah tangan berbentuk makanan, sebagian dihidangkan kembali kepada anak dan cucunya. Sebagian lagi dimasukkan ke dalam kamar, dan tidak pernah Nampak lagi wujudnya.
Rumor berkembang bahwa Nek Jah memelihara jin yang dijadikan sahabat. Jin tersebut disebut mirah manyang. Dalam literatur perdukunan, mirah manyang merupakan jin pemberi perlindungan kepada tuannya.
Mirah manyang harus diberi sesajen setiap musim makannya tiba.
Menurut cerita yang didengar Karim, sesajen yang dipersembahkan Nek Jah kepada mirah manyang sahabatnya itu berupa darah ayam hitam.
Ya, Nek Jah memang memelihara ayam kintamani. Ayam-ayam itu dipelihara sejak suamianya masih ada. Dulu dijual kepada orang membutuhkan pengobatan tradisional. Tapi sejak suaminya dibantai, jangankan ayam, tahi ayam pun tak bersedia dia bagi.
Bila ada yang nekat masuk ke pekarangan rumahnya dengan maksud membeli ayam, Nek Jah menjawab ketus. “Aku tak butuh uangmu. Asal kamu tahu, yang memberi rezeki kepadaku adalah Tuhanku, bukan kamu,” jawabnya ketus.
Jumlah ayam hitam di rumahnya cukup banyak. Tapi meskipun harga kontamani cukup mahal, karena cerita-cerita mistik yang melingkupi, pencuri pun tak berani menginjak batas tanah perempuan berhidung mancung itu.
Setiap awal purnama, Nek Jah menyembelih satu ekor ayam. Darahnya ditampung dalam batok kelapa yang telah diritual khusus.
Sebagai anak-anak, Karim dikenal sebagai anak badung, tapi baik hati. Dia petualang dari satu kebun ke kebun lainnya. Dia masuk ke kebun-kebun dengan tujuan berburu burung kutilang dan bayi-bayi murai.
Ia sering memergoki dari jauh, Nek Jah bicara sendirian di seuramoe rumoh. Sering juga nenek itu bicara sendirian sembari membersihkan perdu lada di belakang rumah.
Kadang nenek itu tertawa kecil. Kadang marah-marah. Kadang juga menyanyi senandung lawas. Iramanya seperti mantra.
Bila Karim tidak salah hitung, setidaknya empat kali Nek Jah ditemukan tak bernyawa di kebunnya. Dia tergeletak tak sadarkan diri. Saat imam kampung merogoh punggungnya, telah rata dengan tanah. Artinya nenek itu telah mati.
Tapi, ia selalu bangun kala selesai dimandikan. Setiap dia bangun, dramanya tetap sama, memperhatikan orang yang mengkafani satu persatu. Ia melotot, dan kemudian bangkit menuju dapur. Setelah meneguk air dalam guci, dia langsung marah-marah.
Bila Nek Jah telah hidup lagi, warga pontang-panting melarikan diri. Bahkan, Keuchik Li pernah lari telanjang setengah badan, hanya gara-gara sarungnya tersangkut paku di pinggang meja. Ia lari terbirit-birit sembari berteriak ketakutan.
pada kematian kelima, warga berinisiatif melakukan ritual. Warga menggelar ritual mengusir mirah manyang dari tubuh perempuan yang hidup dalam empat bendera itu.
Pada kali kelima, Nek Jah ditemukan sedang sakratul maut di beranda rumah. Karim orang pertama yang melihat Nek Jah berguling-guling di tanah, perempuan tua berteriak minta tolong. Kejadiannya jelang Magrib.
Karim yang sedang pulang berburu kutilang, berlari ketakutan, memberi tahu warga kampung bahwa Nek Jah sedang jungkir balik di teras rumah.
Warga berdatangan ramai-ramai. Imam kampung, Keuchik Li, Raman Katibin—ayahnya Karim, dan beberapa perempuan, menangkap tubuh ringkih itu, dan membaringkannya di dipan. Segala doa dipanjatkan. Ibu-ibu membaca Surat Yasin. Ada yang membaca Ayat Kursi.
Mata Nek Jah mendelik, dia memandang satu persatu orang-orang didekatnya.
“Waktunya sudah dekat. Kalian harus membayar semua yang telah kalian lakukan,” seringainya dengan suara parau. “Siapa saja yang terlibat, harus menuai hasil kejahatannya,” katanya penuh ancaman.
“Aku akan pergi! Aku akan pergi!Ingat!Aku akan kembali. Kini waktuku telah tiba!” teriaknya dengan suara parau.
Seluruh warga didera kengerian. Mereka bergidik kala membayangkan kejadian puluhan tahun lalu di kebun kelapa Keuchik Li.
“Ambilkan air putih!” seru Imum Seuman. Seorang warga menyerahkan segelas air putih. Imum Seuman membacakan doa-doa pengusir setan. Setelah didoakan, air itu dipercikkan ke tubuh perempuan tertubuh ringkih itu.
“Bukakan atap! Bukakan atap!” seru Nek Jah. “Aku akan pergi! Aku akan pergi!”
Beberapa pemuda naik ke atap, meretas paku payung. Satu lembar seng dibuka. Seketika Nek Jah mengerang. Erangannya sangat keras, lengkingannya terdengar sampai ke pekuburan umum di pinggang bukit.
Lima belas detik kemudian, Khadijah binti Syaman Gani, mengembuskan nafas terakhir.
Karena kondisi jenazah sudah sangat rapuh, jasad itu langsung dikebumikan malam itu juga. Sekitar pukul 03.00 dinihari, proses fardhu kifayah selesai. Satu persatu warga pulang.
Orang terakhir pulang adalah Suloi Keubeu Nok. Lelaki tua itu tertidur di pojok rumah karena tak kuasa menahan kantuk.
Saat ia melangkah meninggalkan teras rumah Nek Jah. Seseorang menyapanya.
“Suloi, waktunya sudah tiba ya. Aku akan temui kamu untuk membuat perhitungan.”
Suloi melihat ke arah suara. Di atas dipan, Nek Jah duduk sembari mengunyah sirih. Perempuan itu menatap tajam kea rah Suloi. Mulutnya mengembang senyum penuh teror.
Suloi berteriak ketakutan. Sejenak kemudian sesuatu menimpa kepalanya. Dia terjerembab di atas tanah. Dia tewas.
Catatan redaksi: Cerita ini hanyalah hiburan semata. Tidak mengandung kebenaran apa pun. Bila ada kesamaan cerita, nama, dan tempat, hanyalah kebetulan belaka.