Hal tersebutlah yang saya tangkap dari dialog antara Zinedine Zidane dengan Lionel Messi. Keduanya berbicara dengan suasana santai dan setara. Zidane, sejauh informasi yang saya dapat, tidak pernah secara terbuka menyampaikan kesannya kepada Messi, bahkan sejak pemain Argentina itu memenangkan trofi Piala Dunia.
Mungkin, seperti juga Messi, Zidane bukanlah orang yang eksplosif. Namun, dalam perjumpaan itu, Zidane memuji Messi setinggi langit, begitu juga sebaliknya.
Messi pemain yang lebih muda dari Zidane. Usia mereka terpaut jauh. Ketika Zidane membawa Prancis mengalahkan Brasil di final Piala Dunia 1998, Messi masih berusia sebelas tahun. Dia belum menginjakkan kaki ke Akademi La Masia, Barcelona. Jarak yang jauh di antara keduanya dapat dipertemukan setelah Messi mendapatkan tiket yang terlebih dahulu diperoleh Zidane: Trofi Piala Dunia.
Trofi itu merupakan penanda dengan siapa seorang pesepakbola dapat duduk dan berbicara. Agak sulit membayangkan Lionel Messi dapat berbicara dengan perasaan setara dan percaya diri dengan Zinedine Zidane kalau dirinya belum pernah mengangkat trofi itu.
Trofi Piala Dunia seperti pelepas dahaga kosmik untuk Lionel Messi. Jika kita mengikuti apa yang dia lakukan setelah membawa negaranya juara di Qatar itu adalah satu hal: mulai banyak berbicara.
Lionel Messi lebih ekspresif, terutama dalam menata kalimat, satu hal yang dulunya tidak terlihat padanya.
Baca juga: Daya Rusak FIFA
Perhatikan saja, bagaimana cara dia menjawab pertanyaan Zidane tentang nomor sepuluh. Messi menjawab dengan sangat baik melalui pendekatan histori, semiotika, dan falsafah sepakbola melalui satu nama: Diego Maradona.
Melalui Maradona, Messi menjelaskan pentingnya nomor punggung sepuluh karena keterikatan dalam sebuah makrokosmos sepak bola itu. Messi menjelaskan dengan sangat baik di mana pemilik nomor sepuluh terbaik itu berada, lalu di mana dia dan pemain sepak bola lainnya berada, termasuk Zidane.
Obrolan demikian membuat publik terpengerah. Media sosial pun bersorak sorai karena dua pemain terbesar dalam sejarah (kalau dalam urutan saya menempati posisi tiga, empat, atau lima) duduk untuk membicarakan olahraga yang paling membahagiakan itu.
Zidane dan Messi merupakan contoh manusia yang telah melewati perjalanan hidup mereka secara utuh. Mungkin, kedua dari mereka adalah orang yang tidak lagi memiliki mimpi yang harus dikejar. Sebagai pesepakbola, keduanya telah menuntaskan apa yang menjadi impian pesepak bola di seluruh muka bumi.
Memang, dengan menaklukkan sejarahlah, manusia dapat tersenyum di akhir hidupnya. Tanpa sesal, tanpa beban.