Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Aceh mengelola dua hal yang berkaitan langsung dengan literasi; Pustaka—berupa buku, dan surat kabar, serta arsip. khusus kearsipan, dikelola secara terpiah di Gedung Arsip Aceh yang berada di jalan Teuku Nyak Arif, Banda Aceh.
Jumat pagi, (11/11/2022), Drs. Zuhri,M.M, yang merupakan Kepala Bidang Pengelolaan Arsip, mewakili Kepala Dinas Perpustakaan dan Kearsipan Aceh Dr. Edi Yandra,S.S.T.P, menjelaskan tentang apa yang mereka kerjakan di Bidang Pengelolaan Arsip.
Baca juga: Penyimpanan Arsip Butuh Perlakuan Khusus
Zuhri dan Plt Koordinator Penyimpanan Reservasi Arsip Statis Syahrizal mengajak Komparatif.ID jalan-jalan, menjenguk sejumlah ruangan, yang menjadi tempat penyimpanan arsip statis.
Pertama dikunjungi lantai pertama, yang bersebelahan dengan ruang kerja PNS di sana. Di ruang tersebut, sejumlah kardus yang masih belum dibentuk, ditaruh teratur di atas meja. Sejumlah ASN dan tenaga kontrak duduk sembari memilah dokumen.
Mereka membaca dengan teliti, kemudian menyimpannya dalam sebuah cover dari kertas khusus.
“Ruangan ini dikhususkan untuk memilah dan menyimpan arsip statis yang telah selesai diperiksa sebelumnya. Seharusnya ruang ini juga depo arsip. Tapi karena gedung kami dipinjam oleh Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh, sehingga ruang ini jadi tempat memasukkan arsip ke dalam kotak sesuai dengan kode-kodenya,” terang Zuhri.
Setiap box kardus diberi nomor urut, nomor berkas, dan instansi asal arsip tersebut. Juga ditaruh tahun arsip tersebut dibuat.
“Di gedung ini dokumen kearsipan terbanyak berasal dari Setwilda Aceh. Setiap tahun diserahkan kepada kami,” kata Zuhri yang didampingi Syahrizal,S.Sos.
Sembari berkeliling dari satu dep ke depo lainnya, Syahrizal menjelaskan bahwa arsip tertua yang disimpan di sana berasal dari dokumen perkebunan masa Belanda, tahun 1916. Arsip-arsip tersebut sepenuhnya berbahasa Belanda, dan sampai saat ini belum dialihbahasakan.
Pun demikian, pihak Arsip Nasional Republik Indonesia (ANRI) Pusat, sudah menyurati mereka, mengirimkan arsip tersebut ke Jakarta, agar dapat diterjemahkan oleh ahli bahasa Belanda.
Di lantai II, disimpan arsip anggota DPR, tokoh, pejabat eselon, bahkan hingga KTP Merah Putih yang diterbitkan oleh Penguasa Darurat Militer Daerah (PDMD) saat Operasi Militer berlangsung di Aceh.
KTP tersebut diikat dan disimpan dalam satu kotak tersendiri. Tidak semua KTP disimpan di sana, hanya sebatas untuk arsip semata.
“Kalau semua, tidak akan muat di dalam gedung ini,” terang Syahrizal sembari terkekeh.
Arsip Karesidenan Aceh juga terlihat berjejer pada beberapa kotak. Arsip yang disimpan itu dari tahun 1945 hingga 1955. Juga arsip dari tahun 1961 hingga 1965 yang disimpan dalam satu bundel khusus.
Tidak sembarang orang diberikan kewenangan mengelola dan merawat arsip. Siapa saja yang ditempatkan di sana, harus diberikan pelatihan bersertifikat. Bila pun ada tenaga kontrak, meski tidak memiliki sertifikat, tapi telah mendapatkan pelatihan khusus.
Apalagi arsip statis, yang sifatnya permanen; tidak boleh dimusnahkan, dan wajib dipelihara. Bukan hanya pengelola yang harus terampil, ruang penyimpanan pun khusus. Setiap enam bulan sekali difumigasi. Obat fumigant berwarna ungu merupakan produksi Jerman dan dibeli melalui distributor di Jepang.
Setiap enam bulan, Bidang Arsip membutuhkan dana Rp100 juta untuk fumigasi. Berarti dalam setahun harus ada Rp200 juta demi merawat arsip yang ada di sana. Akankah dana yang dibutuhkan semakin besar? Pasti, lima tahun ke depan arsip yang disimpan di sana bertambah banyak. Bukan hanya biaya perawatan semakin besar, bahkan gedung pun harus ditambah. Setidaknya gedung yang telah ada, tidak dapat lagi dipinjamkan kepada instansi lain.
Zuhri menjelaskan, merawat dokumen kearsipan merupakan upaya melestarikan sejarah. Terkesan tidak penting bagi awam, tapi sejatinya merupakan menjaga urat nadi dokumentasi histori.
“Masih banyak yang belum memahami betapa pentingnya keberadaan kearsipan. Merawat kertas-kertas bernilai sejarah, yang merupakan dokumen penting milik negara/daerah yang berkaitan dengan banyak hal. Mulai kebijakan, hingga catatan-catatan yang harus disimpan sebagai bukti bahwa itu pernah ada. Merawat arsip di sini berarti menjaga khazanah sejarah pemerintahan di Serambi Mekkah,” imbuh Zuhri. (**)