Menjejak Manuskrip Tentang Politik Rempah Aceh

manuskrip rempah filolog
Filolog Aceh Hermansyah, JUmat (17/5/2024) menerangkan terdapat 8.000 manuskrip di Aceh yang mencatat berbagai peristiwa masa lalu, termasuk perihal rempah. Foto: HO for Komparatif.ID.

Komparatif.ID, Banda AcehFilolog Aceh Hermansyah menyampaikan di Serambi Mekkah terdapat ribuan manuskrip yang berkaitan dengan jalur rempah dan hal-hal lainnya. Dalam catatan Hermansyah, terdapat 8.000 manuskrip yang di simpan secara parsial di Aceh. 5.000 di antaranya masih bisa dibaca langsung.

Filolog Aceh Hermansyah yang juga Dosen Kajian Naskah Klasik yang berkhidmad di UIN Ar-Raniry, menjelaskan hal tersebut pada konferensi internasional yang diselenggarakan oleh Asosiasi Dosen Ilmu-Ilmu Adab (ADIA) se-Indonesia di Hermes Palace Hotel, Banda Aceh, 17-20 Mei 2024.

Tampil sebagai salah seorang pemakalah, Hermansyah menjelaskan manuskrip yang masih berserak tersebut tersebar di seluruh Aceh, termasuk di Pidie, Lhokseumawe, Aceh Utara, dan lain-lain.

Dalam konferensi bertema strengthening digital humanities in islamic civilization, literature, culture, and library studies, Hermansyah didapuk sebagai pemakalah tentang the spices routes, yang isunya menjadi agenda nasional, karena diajukan sebagai program yang dicatatkan di UNESCO.

Baca: Ciri Manusia di Era Techno Religion

“Kajian tentang jalur rempah bukan sesuatu yang baru. Program ini sudah berjalan lebih dari tiga tahun, masih dalam proses dan dilakukan di seluruh Indonesia. Soal ini juga bukan kajian terbaru,” katanya.

Dalam sejarah Nusantara, terdapat banyak wilayah yang memiliki kekayaan alam. termasuk Aceh yang memiliki banyak sekali kekayaan alam.

Pernyataan tersebut bukan klaim, tapi dapat dibuktikan dengan manuskrip-manuskrip yang tersebar di Aceh. Bagi akademisi khususnya orang-orang yang terlibat dalam Sejarah Kebudayaan Islam (SKI), tidak ada bukti maka tidak ada sejarah. Herman dan kawan-kawan memiliki bukti.

Selama ini kajian-kajian tentang rempah di Aceh selalu merujuk kepada referensi dari luar negeri. Meskipun banyak referensi di dalam negeri, tapi seringkali diabaikan. Penelitian yang dilakukan lebih merujuk kepada referensi yang ada di luar.

Hermasyah mengatakan dari sejumlah referensi dalam negeri seperti yang dicantumkan di dalam Hikayat Raja-Raja Pasai, atau di dalam naskah Hikayat Aceh.Kedua hikayat tersebut telah terdaftar sebagai memory of the world di UNESCO.

“Keberhasilan mencatatkan itu ke UNESCO berkat kerjasama Pemerintah Aceh, Perpustakaan Nasional, dan Universitas Leiden, Belanda,” katanya.

Kemudian ada beberapa naskah lain yang bisa dilihat di slide—Herman menayangkan slide–, bahwa di Aceh ada beberapa sebaran naskah yang sudah diarsipkan pihaknya.

Terdapat lebih dari 8.000 naskah di Aceh. 5.000 naskah bisa disentuh dan dibaca langsung. Hampir seluruh wilayah Aceh memiliki khazanah manuskrip yang dimiliki sejak abad ke-13 sampai periode Kolonial.

Baca: Ingatan Orang Aceh Sangat Pendek, Hanya Snouck Hurgronje

Akan tetapi, dalam perjalannya ternyata manuskrip tersebut tidak baik baik saja. Secara mayoritas, sekitar 70% kondisi manuskrip di masyarakat mengkhawatirkan. Meskipun telah ada payung hukum perlindungan manuskrip, tetapi belum bisa diimplementasikan ke masyarakat.

Herman menjelaskan ada beberapa faktor yang terjadi, mengapa kondisi seperti ini.Manuskrip yang dulunya merupakan naskah yang dipergunakan untuk dibaca dan dianggap sebagai sumber ilmu pengetahuan, sebagai pustaka, ternyata sekarang berubah menjadi pusaka.

“Jadi manuskrip itu justru menjadi bahan pusaka, bahan warisan,yang tidak boleh dibagi kepada orang lain, dan disimpan dengan sangat sakral. Karena ketiadaan ilmu cara merawat, akhirnya kondisinya seperti tersebut [kualitasnya terdegradasi]. Manuskrip yang sudah rusak itu disimpan dengan cara dibungkus dalam plastik,” terangnya.

Kembali ke perihal jalur rempah, Hermansyah dan kawan-kawannya menemukan salah satu dokumen yang sangat penting dan sangat jarang dibahas adalah sarakata Kesultanan Pasai, sebuah kesultanan yang eksis dari abad 12 sampai abad 14.

Sarakata—surat sultan—seperti surat Sultan Zainal Abidin yang dikirimkan kepada Kedutaan Portugis di Goa, India. Di dalam sarakata tersebut menyebutkan beberapa problem/masalah nahkoda dari Portugis. Melalui surat tersebut diketahui tentang jaringan dagang dengan beberapa daerah di luar Sumatra,hingga ke Portugal.

Di dalam surat tersebut juga disebutkan jumlah pajak yang harus dibayar oleh kapal yang singgah di Pasai. Pajak itu dikutip oleh Portugis, bukan oleh Kesultanan Pasai. Dari surat itu dapat keterangan bahwa yang menguasai selat Malaka adalah Portugis, mereka menghegemoni di selat itu.

Sultan Zainal Abidin di dalam suratnya menyebutkan perlakukan diskriminasi Portugis terhadap kapal-kapal Pasai, yang harus membayar 50 bahar untuk sebungkus peti lada pedas/lada hitam (filfil).

Dalam pandangan Hermansyah sebagai ahli manuskrip, dari surat tersebut dapat ditelusuri tentang jaringan perdagangan antara Pasai, Goa, Srilanka, dan Portugal pada abad 13.

“Sarakata tersebut menjadi bahan otentik bagi pemerintah kita dari segi dokumen lokal. Bukan penulis luar yang menulis, tapi penulis dari dalam. Sayangnya dokumen ini tidak ada di Aceh, dan tidak juga di Indonesia. Tapi disimpan di Museum Lisbon, Portugal. Kita bersyukur saja karena bisa mengaksesnya.”

Manuskrip Rempah Lada Sicupak

Periode berikutnya yang cukup terkenal bagi orang Aceh yaitu surat/dokumen lada sicupak yang dalam bahasa Melayu disebut lada segenggam. Walaupun Snouck Hurgronje menulis tentang lada sicupak dengan cara mendistorsi sejarah, namun dalam beberapa penelitian terbaru, ditemukan makna yang dimaksud dengan lada sicupak itu adalah memberi contoh kepada Sultan Turki.

Aceh mengirimkan lada sicupak kepada Turki karena tahu bila Kesultanan Turki Usmani sebuah kerajaan besar. Kerjasama paling awal antara Aceh dan Turki terjalin tahun 1538.

Kedua kerajaan tersebut memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Menurut penelitian yang dilakukan peneliti Turki, Turki tidak kuat di laut, dan Aceh sangat kuat di bidang kekuatan militer maritim.

Dari kerjasama lada sicupak itu Turki memberikan meriam yang sangat indah kepada Aceh. Meriam tersebut sekarang disimpan di Museum Bronbeek, Arnhem, Belanda.Meriam itu diangkut ke Belanda pada tahun 1874, tatkala perang dengan Aceh.

“Surat [manuskrip] yang disebut dokumen lada sicupak itu isinya sangat panjang, berisi tentang proses pengiriman lada yang melalui Mesir dan akhirnya masuk ke Turki,” terang ilmuan tersebut.

Pada periode selanjutnya, ada sebuah surat yang sangat penting Sultan Alauddin kepada Sir Henry Midleton, saat  rombongan bangsawan Inggris itu mereka mencari lada ke Aceh. Masa itu Pariaman masih berada di bawah Aceh.

Surat itu berisi permintaan supaya Sir Henry Midleton untuk membeli lada dan cengkeh di Aceh. Hasil pembelian lada dan cengkeh di Aceh, membuat Henry pulang ke Eropa tahun 1603 dengan membawa rempah-rempah dalam jumlah yang banyak.

“Kerjasama dengan Inggris berlangsung dari kakeknya Iskandar Muda [Riayat syah] hingga ke Sultan Iskandar Muda. Sebuah surat emas yang berisi tentang wilayah dan pelabuhan-pelabuhan yang ada di Aceh, dan bisa diakses oleh orang luar, disimpan di Inggris.”

Dari surat tersebut menunjukkan bahwa Sultan Iskandar Muda merupakan pemimpin yang sangat diagungkan di Aceh. Kerajaan Aceh yaitu dari Aceh sampai Jambi, di beberapa titiknya diperbolehkan disinggahi kapal-kapal dari Eropa.

Termasuk kapal-kapal Inggris diperbolehkan masuk, karena pada zaman itu Aceh sedang berperang melawan Portugis. Artinya Aceh membutuhkan kolega untuk mereduksi hegemoni Portugis.

Rempah Aceh Sebagai Hadiah

Setelah Belanda mulai berhasil menguasai beberapa daerah di Asia Tenggara –khususnya Nusantara—Sultan Aceh menjadikan rempah-rempah sebagai hadiah. Komoditas rempah seperti lada, pala, cengkeh, dan lainnya tidak lagi menjadi komoditi bisnis semata.

Pada tahun 1837—sebelum invansi Belanda ke Aceh– Sultan Aceh mengirimkan surat khusus kepada Sultan Turki.Aceh meminta bantuan supaya Turki menghalau Belanda. Beserta surat itu Sultan Aceh mengirimkan 15.300 kg rempah-rempah seperti gaharu,kemenyan,kamper, dan lada putih.Rempah-rempah itu diperoleh dari daerah pedalaman.

“Saat itu pengiriman rempah-rempah bukan lagi untuk trading.Tetapi sebagai hadiah supaya mendapatkan perhatian dan dukungan Turki.”

Baca: Merawat Hikayat Prang Gompeuni

Periode berikutnya juga sama, Sultan Aceh mengirim beberapa hadiah ke Turki untuk mendapat dukungan, karena saat sudah mulai ada wacana Belanda ingin menguasai seluruh wilayah di Sumatera, termasuk salah satunya adalah Kerajaan Aceh.

“Dari manuskrip yang ada kita dapat mengetahui jumlah rempah yang sangat besar diperoleh dari mana. Rempah-rempah seperti kemenyan,kamper putih,lada, apakah di Aceh atau di luar aceh seperti Pariaman,Palembang, atau Jambi? Dokumen-dokumen menunjukkan sebenarnya produk lokal kita itu bisa menguasai Eropa karena kita memang ada di jalur rempah,” papar Hermansyah.

Nurruddin Ar-Raniry juga menulis kitab Bustanul Salatin. Pada bab tujuh Bustanus Salatin, ulama asal Ranir tersebut menulis tentang rempah sebagai pengobatan tradisional.

Meski telah terdapat beberapa buku yang membahas tentang itu, tapi naskah awalnya merupakan koleksi Zawiyah Tanoh Abee, yang merupakan salah satu dayah yang menyimpan 1000 manuskrip.

Perihal naskah tentang rempah-rempah juga terdapat di dalam kitab Ma Baina Salatin. Di dalam kitab tersebut disampaikan bahwa beberapa produk atau hasil alam pada abad 17 [rempah-rempah]dikenakan pajak di Pelabuhan Aceh. Salah satunya adalah ganja. Ternyata ganja dibisniskan saat itu.

Beberapa produk lainnya seperti kayu manis, kamper, opium, dll, dikenakan pajak dengan beberapa kadar yang harus dibayar oleh setiap orang yang ingin membeli atau bertransaksi di Aceh.

Rempah sebagai pengobatan juga disebutkan didalam kitab Arrahmah fi thib wal hikmah,karya Syeikh Abbas Kuta Karang. Ilmuan tersebut mampu mengidentifikasi beberapa produk lokal yang bisa dijadikan obat-obatan yang tidak ada di Timur Tengah.

“Walaupun naskah beliau disadur dari Timur Tengah, tetapi beliau mampu membuat beberapa resep obat lokal. Selain pejuang ia juga imam,dan sebagai tabib,” terang Herman.

Pada masa Belanda bercokol di Aceh, terdapat juga sebuah peristiwa yang ditulis dalam surat Teuku Umar yang ditujukan kepada Gubernur Hindia Belanda. Saat itu Teuku Umar masih bekerja sama dengan Belanda.

Di dalam surat itu ia meminta supaya diberikan izin melakukan monopoli bisnis lada di barat selatan Aceh.Semua lada yang diproduksi di lawasan itu harus menjadi di bawah kendalinya. Permintaan itu diajukan bilamana Belanda tidak bersedia membeli lada dengan harga yang sama.

Surat itu dikirimkan di masa-masa terakhir Teuku Umar bersama Belanda. Ia kemudian kembali berbelot –bergabung dengan pejuang Aceh—karena ada beberapa hal yang ia minta kepada Belanda, tidak dituruti oleh Kolonial.

Di dalam penutupan paparannya, Filolog Hermansyah mengatakan bahwa manuskrip yang ditulis oleh orang Aceh menjadi bukti otnetik bagi jalur rempah yang sedang digagas oleh Pemerintah Indonesia. Keberadaan manuskrip tentang rempah di Aceh menjadi pendukung penting supaya cita-cita mencatakannya di UNESCO dapat dicapai.

Ia menyarankan juga, semua manuskrip tersebut seharusnya dapat disimpan dalam bank data yang dapat diakses oleh para peneliti dan cendekiawan yang terangkum di dalam Asosiasi Dosen Ilmu-Ilmu Adab (ADIA).

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here