Menjadi Pemain Penting di Selat Malaka

Selat Malaka
Kapal kargo dan tanker di Selat Malaka. Foto: Jurnalsecurity.com.

Bagi orang Aceh Selat Malaka merupakan jalan menuju negeri impian yang bernama Malaya—sebutan orang Aceh untuk Malaysia. Pun demikian, orang Aceh masih sebatas “menggunakan” selat tersebut demi mencapai Malaysia yang penuh harapan dengan impian mengubah nasib. Ada yang berhasil, tak sedikit yang pulang dengan tangan hampa.

Data tahun 2017, jumlah penduduk Aceh yang mencari penghidupan di Malaysia 640 ribu orang. Mereka bekerja di berbagai sektor. Dari jumlah itu, hanya sekitar 40 ribu berstatus legal. Selebihnya sebagai pendatang haram. Perihal pekerjaan mereka di sana, rerata sebagai buruh pabrik dan asisten rumah tangga.

Antara Aceh dan Malaya dibelah oleh Selat Malaka, sebuah perairan yang paling sibuk di dunia. Dari data yang disampaikan Kementerian Perhubungan RI, setiap tahun 60 sampai 90 ribu kapal kargo dan tanker melintasi selat yang memiliki 41 famili larva ikan.

Baca: Hampir 100 Pengusaha Pastikan Ikut Pra Kongres ABF

Pertanyaan yang menarik adalah dari jumlah kapal yang melintasi Selat Malaka setiap tahun, dengan jumlah ikan di WPP 571 yang sangat banyak –Selat Malaka dan Andaman, berapa besar Aceh di dalamnya?

Untuk membangun Aceh menjadi gilang gemilang, setiap orang harus mengarahkan pandangannya ke Selat Malaka. Demikian kalimat yang disampaikan Azmi Abubakar, pendiri sekaligus pengelola Museum Pustaka Peranakan Tionghoa, yang bermukim di Jakarta. Putra Aceh tersebut pada sebuah diskusi informal dengan penulis, mengajak supaya—bila ingin maju—pandangan harus diarahkan ke Selat Malaka. Di sanalah “jalan bebas hambatan” supaya Aceh kembali menjadi pemain inti di perdagangan dan politik dunia.

Untuk dapat berada di tengah-tengah Selat Malaka, tentu tidak dapat dilakukan secara simsalabim. Aceh harus punya beberapa hal. Produk dan regulasi, serta penghubung yang memiliki koneksi nasional dan internasional.

Bila ingin menjadi bagian dari 90 ribu kapal tanker dan kargo yang melintasi Selat Malaka setiap tahun, Aceh harus punya “kargo” dan tanker”. Siapa yang dapat melakukannya? Saudagar!

Ini merupakan pekerjaan rumah yang sangat besar. Sepanjang pengetahuan penulis, Pelabuhan-pelabuhan Aceh tidak lagi terkoneksi dengan dunia internasional sejak 1980-an. Bisa jadi lebih lama dari itu. Pelabuhan-pelabuhan di Aceh hanya menjadi pelengkap tanpa aktivitas ekonomi yang berarti. Di sisi lain, produk pertanian, perkebunan, kelautan, dan pertambangan, dibawa keluar melalui pelabuhan-pelabuhan provinsi tetangga. Dari sisi dagang tentu Aceh sangat merugi, nilai tambah didapat oleh pihak luar, sedangkan kita punya produk yang begitu banyak.

Tahun berapa terakhir kali Aceh berkontrak dagang secara internasional? Entahlah, sejauh ini saya belum menemukan jawabannya. Tapi sepertinya sudah sangat lama, bergenerasi sebelumnya kita sudah berhenti bergaul dengan komunitas pedagang besar di tingkat dunia. Bila dibandingkan masa lalu, tentu kita kalah dalam konteks ini. Bahkan sangat kalah.

Pada tanggal 2 Mei 2023, seratusan pengusaha baik level UMKM maupun pengusaha besar, berkumpul di basecamp PT Trans Continent (Royal Group) di Gampong Beurandeh, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar. Mereka berkumpul di kawasan yang direncanakan sebagai Pusat Logistik Berikat (PLB) yang tidak jauh dari Pelabuhan Malahayati, tidak jauh dari Selat Malaka. Bahkan dari hall Trans Continent kita dapat melihat dengan jelas birunya selat nan eksotis tersebut.

Pertemuan pra kongres Aceh Business Forum (ABF) yang digagas oleh PP Taman Iskandar Muda (TIM) Jakarta, tentu sangat menarik. Karena yang berkumpul merupakan para pelaku dunia bisnis. Bila para pebisnis berkumpul, biasanya selalu ada harapan yang dapat ditaut.

Dalam sebuah siaran persnya, CEO PT Trans Continent Ismail Rasyid menyebutkan bila wirausahawan tidak lagi menyatu, mustahil cita-cita mulia akan tercapai. Artinya, bila ingin cita-cita memajukan Aceh dapat dicapai, maka para pelaku usaha harus bersatu, merencanakan mimpi, menyatukan langkah, kemudian melaksanakan rencana dalam bentuk niaga.

Sebagai orang muda yang berharap sempat melihat Aceh bangkit sebagai pemain penting dalam perdagangan dunia, saya menaruh harapan pada pra kongres ABF. Tentu juga harapan banyak pihak yang antusias menanti pra kongres tersebut digelar.

Pada sebuah kesempatan berbincang dengan Dirjen Bina Adwil Kemendagri yang juga pernah menjadi Pj Gubernur Kalimantan Selatan, Dr. Safrizal ZA, saya mendapatkan kalimat sakti dari pria hitam manis ramah senyum tersebut. Ia mengatakan, pemilik uang besar adalah dunia usaha. Pemerintah tidak perlu banyak uang, bila perekonomian yang digerakkan oleh swasta berkembang baik. Karena yang produktif melahirkan keuntungan adalah dunia usaha. Tugas pemerintah hanya membuat regulasi, menjaga pelaksanaan regulasi, serta mengawasi supaya regulasi tidak dilanggar.

Akankah kita menjadi pemain penting di Selat Malaka? Semoga saja.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here