Menguak Tabir Pembubaran Provinsi Aceh (1)

Provinsi Aceh
Salah satu surat yang diteken oleh Daoed Bereueh sebagai Gubernur Aceh. Provinsi Aceh tidak lama kemudian dileburkan kembali dalam Provinsi Sumatra Utara. Foto: Koleksi Komparatif.ID.

Komparatif.ID–Aceh yang diabaikan ketika penyusunan provinsi di awal kemerdekaan, kemudian diberikan hak otonomi melalui Peraturan Pemerintah Nomor:8/Des./WKPM Tahun 1949. Akan tetapi dileburkan kembali ke dalam Sumatra Utara pada 14 Agustus 1950.

Proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 yang diumumkan oleh Ir. Soekarno dan Muhammad Hatta, merupakan langkah politik di tengah kekosongan pemerintahan pasca-kejatuhan Jepang yang kalah di front Pasifik setelah Sekutu melumat Kota Hiroshima dan Nagasaki dengan bom atom.

Kaum muda Indonesia memaksa Soekarno dan Hatta segera memproklamirkan kemerdekaan Indonesia setelah kejatuhan Jepang pada 15 Agustus 1945 seusai dilantak dengan bom nuklir oleh aliansi Sekutu. Negara fasis Jepang pun meulungkop, harus menyerah tanpa syarat.

Baca: Susu untuk Republik, Tuba Dalam Cawan Daoed Beureueh

Meski telah diperoklamirkan, tidak berarti Indonesia—khususnya di Jawa—telah berdaulat. Mereka masih di bawah kendali Jepang dan kemudian diambil alih oleh Sekutu yang memberikan boncengan kepada Netherland Indies Civil Administration (NICA).

Bahkan pada 2 Januari 1946, Pemerintah Indonesia memutuskan mengungsi ke Yogyakarta, karena Jakarta telah dikuasai oleh Allied Forces Netherland East Indies (AFNEI) yang dipimpin Letjen Sir Philip Christison.

Dalam tata pemerintahan, dua hari setelah proklamasi, tepatnya 19 Agustus 1945, Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia menggelar rapat yang menghasilkan tiga keputusan. Pertama, membentuk Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP). Kedua, pembentukan 12 departemen beserta mentri-mentrinya, dan ketiga, membagi administrasi Indonesia menjadi delapan provinsi.

Baca: Aceh Menyelematkan Indonesia yang Masih Seumur Jagung (1)

Provinsi-provinsi tersebut adalah Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Sunda Kecil, Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Maluku.

Mr. Mohammad Hasan yang ditunjuk oleh Presiden Soekarno sebagai Gubernur Provinsi Sumatra, kemudian membentuk karesiden-karesiden, termasuk Aceh. Pada 3 Oktober 1945, Teuku Nyak Arief diangkat sebagai Residen Aceh. Ia juga mengangkat Teuku Muhammad Ali Panglima Polim dan beberapa ulebalang sebagai bupati.

Meski keputusan mengangkat Teuku Nyak Arif sebagai Residen Aceh merupakan keputusan pribadi Mr. Teuku Mohammad Hasan, tapi berdasarkan pertimbangan bahwa Ulebalang Aceh Rayek tersebut merupakan orang Aceh yang memiliki pergaulan luas hingga ke luar daerah.

Teuku Nyak Arif telah lebih dulu dihubungi oleh pemimpin-pemimpin Republik Indonesia di Sumatra Barat pada hari-hari pertama proklamasi kemerdekaan, merupakan pengakuan politik terhadap yang bersangkutan sebagai pemimpin Aceh.

Selain itu, soal nasionalisme Teuku Nyak Arif juga sudah terbukti. Ketika masih sebagai anggota Volksraad sepanjang 1927-1931, ia sangat kritis dan nasionalis, sehingga dijuluki Rencong Aceh.

Serta hal-hal lain yang kemudian Mr. Teuku Mohammad Hasan tidak mengangkat Teungku Daoed Bereueh atau Teuku Muhammad Ali Panglima Polim sebagai Residen Aceh, meski keduanya jauh lebih populer di Serambi Mekkah.

Dalam rangka menjaga eksistensi Indonesia tetap ada di Aceh, pemimpin Serambi Mekkah terjebak dalam konflik internal yang sangat dahsyat. Perang Cumbok yang merupakan pergolakan awal antara Ulebalang versus “PUSA” yang melahirkan tragedi berdarah, hingga kemudian revolusi sosial yang berupa tindakan pembantaian di seluruh Aceh terhadap ulebalang dan kaumnya. Kejahatan kemanusiaan tersebut digelorakan oleh Pemuda PUSA yang dipimpin oleh Husen Al-Mujahid.

Revolusi sosial mengubah bentuk wajah politik di Aceh. Kaum ulebalang tersingkir, dan elemen PUSA naik takhta.

Sebagai agamawan reformis, Daoed Beureueh mendapatkan tempat istimewa di dalam hati masyarakat Aceh. Meski ia mengecam berbagai praktik agama ulama tradisional, Daoed Beureueh tetaplah tak dapat dibendung pengaruhnya.

Meski tidak ditunjuk sebagai Residen Aceh pada awal berdirinya Republik Indonesia, tapi Teungku Daoed tetap diberikan panggung terhormat. Tanpa sekolah formal, ia diangkat sebagai Kepala Kantor Urusan Agama pada akhir 1945. Dalam politik ia merupakan pendiri Partai Masyumi di Aceh 1946.

Berbekal peranan Aceh yang sangat besar dalam merawat bayi Indonesia, Pemerintah Pusat mengangkat Teungku Daoed Beureueh sebagai Gubernur Militer Aceh, Langkat dan Tanah Karo sepanjang 1947-1949.

Posisi Aceh untuk Indonesia di awal-awal kemerdekaan ibarat abang dan adik. Aceh sebagai abang, dan Indonesia sebagai adik. Peranan yang sama juga dilakukan oleh Kesultanan Yogyakarta ketika kota istimewa itu dijadikan ibukota Republik Indonesia setelah kejatuhan Jakarta.Meski sama-sama sangat besar peranannya untuk Indonesia yang masih seumur jagung kala itu, tak seorangpun pembesar Aceh dan Yogyakarta yang menginginkan menjadi Presiden Indonesia.

Posisi Aceh bila ditilik lebih jauh, lebih besar peranannya dalam menjaga eksistensi Indonesia. Karena Aceh satu-satunya wilayah yang benar-benar merdeka dan berada di luar kendali Belanda sepanjang periode 1945-1949.

Atas jasa-jasanya, permintaan Aceh sangat sederhana kepada Indonesia. Pada pertemuan antara Soekarno dan Daoed Beureueh pada 15 Juni 1948, Residen Aceh Teungku Daoed Beureueh meminta kepada Presiden Soekarno supaya Aceh diberikan kewenangan sebagai daerah otonom dengan syariat Islam. Ir. Soekarno bersedia.

Akan tetapi janji pembentukan Daerah Istimewa Aceh tak sempat ditepati karena ibukota RI yaitu Yogyakarta telah diserbu dan jatuh ke tangan Belanda pada Agresi Militer II. Soekarno dan pejabat-pejabat tinggi lainnya ditangkap. Tampuk kekuasaan diserahkan kepada Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI) di Bukit Tinggi.

Pada tahun 1949, beberapa tokoh Aceh datang ke Bukit Tinggi untuk bertemu dengan Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara. Mereka mendesak agar Pemerintah segera menepati janjinya untuk membentuk Provinsi Aceh. Permintaan tersebut kemudian dikabulkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor: 8/Des./WKPM tahun 1949. Isi peraturan tersebut ialah membagi kembali wilayah Sumatra Utara menjadi Provinsi Sumatra Utara dan Provinsi Aceh.

Kelahiran Provinsi Aceh Ditentang

Peningkatan status Karesidenan Aceh menjadi Provinsi Aceh, dilanjutkan dengan pengangkatan Gubernur Militer Aceh, Langkat, dan Tanah Karo sebagai Gubernur Provinsi Aceh. peristiwa itu terjadi pada 1 Januari 1950. Pengangkatan Teungku Daoed Beureueh sebagai Gubernur Provinsi Aceh tidak mendapatkan penyangkalan dari semua pihak, meski tetap saja ada yang kurang puas.

Keputusan Wakil Perdana Menteri Syafruddin Prawiranegara yang mengaku atas restu Mohammad Hatta membentuk Provinsi Aceh, mendapat pertentangan dari para petinggi Republik di Yogyakarta.

Mereka tidak mau tahu bahwa langkah yang ditempuh oleh Syafruddin Prawiranegara membentuk Provinsi Aceh sebagai ganti dari pembubaran daerah-daerah militer Aceh, Langkat, Tanah Karo, dan Tapanuli/Sumatra Timur pada bulan Desember 1949. Kedua gubenur militer masing-masing diangkat sebagai Gubenrnur Provinsi Aceh dan Gubernur Provinsi Tapanuli.

Pihak Yogyakarta tetap menolak berbagai penjelasan Amir Syarifuddin. Mereka memboikot dengan tidak mengirim utusan pada pelantikan Gebernur Provinsi Aceh Daoed Beureueh.

Para pemimpin Sumatra Utara juga bereaksi atas pembentukan Provinsi Aceh. mereka berdalih Syafruddin tidak berkonsultasi dengan Gubernur Sumatra Utara Mr.S.M. Amin dan DPRD.

Namun penolakan pemimpin-pemimpin Sumut tidak dilakukan terhadap Provinsi Tapanuli/Sumatra Timur. Mereka beralasan Provinsi Tapanuli/Sumatra Timur hanya suatu akibat sampingan saja dari pembentukan Aceh sebagai provinsi. Selain itu, Tapanuli dianggap sebagai “sisa” Provinsi Sumatra Utara yang asli.

Petinggi Sumut beramai-ramai menuding orang Aceh primordial, sangat kedaerahan. DPRD dan Masyumi Tapanuli satu suara supaya Pemerintah Pusat di Yogyakarta menunda keputusan Syafruddin tentang pembentukan Provinsi Aceh dan Provinsi Tapanuli.

Bersambung.

Sumber bacaan: Pemberontakan Kaum Republik (Kasus Darul Islam Aceh) yang ditulis oleh Nazaruddin Syamsuddin. Rahsia Pemberontakan dan Kegagalan Politik Mr.S.M. Amin, yang ditulis oleh H.A Gelanggang’s. Revolusi di Serambi Mekkah yang ditulis  Nazaruddin Syamsuddin. Jurnal berjudul Perkembangan Pemekaran Daerah Tingkat Provinsi di Indonesia pada Masa Orde Lama, 1948-1964, yang ditulis oleh Anwar Firdaus Muttawally.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here