“Literasi keluarga bukan sekadar tentang membaca buku, tetapi tentang membangun ruang dialog, menumbuhkan empati, menanamkan nilai, dan mempersiapkan anak menghadapi masa depan yang penuh tantangan.”
Iqra’ biismi rabbikal-ladzi khalaq “Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan.” (QS. Al-‘Alaq:1).
Ayat di atas, menjadi wahyu pertama yang turun kepada Nabi Muhammad Saw. Sebuah perintah yang bukan saja sekadar ajakan membaca, melainkan juga seruan untuk memulai kehidupan dengan ilmu. Membaca, dalam makna luas, yaitu proses memahami, merenungi, dan menghayati isi bacaan agar melahirkan kebijaksanaan.
Di era digital ini, aktivitas membaca mendalam mulai terpinggirkan. Anak-anak lebih akrab dengan layar ponsel daripada halaman buku. Orang tua lebih sibuk menatap media sosial daripada membacakan cerita sebelum tidur.
Baca: Susahnya Menjadi Dokter Spesialis di Indonesia
Padahal sejatinya, rumah adalah ruang pertama tempat nilai-nilai itu ditanamkan. Di ruang sederhana itulah anak-anak pertama kali mendengar cerita, belajar mengenal huruf, hingga memahami nilai kebaikan. Apabila budaya literasi tak lagi hidup di dalam rumah yang seharusnya menjadi benteng pertama pendidikan perlahan ruang itu akan kehilangan fungsinya sebagai tempat tumbuhnya karakter, kecerdasan, dan rasa empati.
Jika kondisi ini terus berlangsung, generasi muda akan tumbuh dengan kebiasaan konsumsi informasi yang instan tanpa memahami makna di balik teks. Lebih dari sekadar soal kemampuan membaca, hal ini menyangkut ketahanan karakter, kemampuan berpikir kritis, hingga pembentukan sikap moral. Tanpa budaya literasi yang kokoh di rumah, anak-anak rentan terseret arus informasi yang cepat namun dangkal, yang berpotensi melemahkan daya nalar dan empati mereka.
Budaya Literasi Keluarga: Fondasi yang Mulai Rapuh
Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis dan budaya. Di balik itu, ada tantangan serius dalam penguatan literasi. Menurut Hasil Survei Nasional Perpustakaan Nasional Republik Indonesia tahun 2021, indeks kegemaran membaca masyarakat Indonesia berada pada angka 59,52 dari skala 0-100, yang masuk dalam kategori sedang. Angka ini menunjukkan bahwa upaya membangun minat baca di Indonesia masih perlu ditingkatkan, terutama dimulai dari lingkungan keluarga.
Mengacu pada teori ekologi perkembangan manusia yang dikemukakan oleh Urie Bronfenbrenner dalam bukunya The Ecology of Human Development (1979), keluarga berada dalam sistem mikrosistem, yaitu lingkungan terdekat yang membentuk karakter dan pola pikir anak, jika budaya membaca di rumah lemah, maka fondasi kecerdasan anakpun ikut rapuh.
Hal ini sejalan dengan teori Lev Vygotsky dalam buku Mind in Society: The Development of Higher Psychological Processes (1978) yang menegaskan bahwa perkembangan literasi sangat dipengaruhi oleh interaksi sosial. Anak-anak yang terbiasa membaca bersama, berdiskusi dengan orang tua, atau berbagi cerita dengan keluarga akan memiliki kecakapan membaca dan memahami teks yang lebih kuat.
Tantangan Literasi Keluarga di Era Disrupsi
Di tengah kemajuan teknologi yang masif, tantangan dalam membangun budaya literasi keluarga semakin kompleks. Perangkat digital, media sosial, dan konten hiburan kini begitu mudah diakses. Anak-anak lebih tergoda bermain game atau menonton video ketimbang membaca buku.
Tak jarang, orang tua juga terjebak dalam kecanduan gawai sehingga mengabaikan interaksi bermakna dengan anak. Selain itu, arus informasi yang begitu deras sering kali tidak diimbangi dengan kemampuan berpikir kritis. Anak-anak rentan terpapar hoaks, konten negatif, atau informasi yang belum tentu benar. Dalam situasi seperti inilah, budaya literasi keluarga menjadi benteng utama yang mampu memperkuat untuk menumbuhkan kebiasaan membaca, berpikir kritis, serta memilah informasi dengan bijak.
Mengapa Literasi Keluarga begitu Penting?
Ada sejumlah alasan mengapa membangun budaya literasi di rumah menjadi sangat mendesak di masa disrupsi ini. Literasi keluarga menjadi dasar pembelajaran sepanjang hayat, meningkatkan keterampilan bahasa dan komunikasi, menciptakan kehangatan emosional, sekaligus menjadi sarana penanaman nilai dan karakter. Selain itu, aktivitas membaca di rumah dapat mengurangi ketergantungan layar, meningkatkan keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak, serta membantu anak menyiapkan diri menghadapi tantangan era digital.
Dalam buku yang sedang saya susun, saya menemukan bahwa literasi keluarga juga memiliki dampak jangka panjang bagi masyarakat. Anak-anak yang tumbuh di lingkungan rumah yang literat cenderung memiliki rasa empati tinggi, terbiasa berinteraksi secara positif, dan memiliki kesadaran sosial yang kuat. Mereka tidak hanya unggul dalam akademik, tetapi juga menjadi pribadi yang peduli terhadap sekitar.
Deep Reading; Lebih dari Sekadar Membaca
Salah satu konsep penting dalam literasi keluarga adalah deep reading; membaca yang tidak hanya sekilas, tetapi membaca dengan perenungan, pemahaman mendalam, dan kemampuan menghubungkan isi bacaan dengan kehidupan nyata. Maryanne Wolf dalam bukunya Reader, Come Home: The Reading Brain in a Digital World (2018), menyatakan bahwa deep reading merupakan proses membaca yang melibatkan perhatian penuh, perenungan, dan keterlibatan emosional, yang jauh lebih efektif dalam membentuk pembaca kritis dan bijaksana dibanding sekadar membaca cepat.
Deep reading dapat dimulai dari hal sederhana di rumah. Orang tua bisa membacakan cerita sebelum tidur, lalu mengajak anak mendiskusikan isi ceritanya atau membaca artikel bersama lalu berdialog tentang pesan moral. Kegiatan kecil seperti ini, tidak hanya meningkatkan minat baca anak, tetapi juga membangun kelekatan emosional yang sehat, sehingga dari kelekatan ini akan terbentuk hubungan yang harmonis antara orang tua dan anak,
Peran Orang Tua: Teladan, bukan Sekadar Penyedia Buku
Dalam membangun budaya literasi keluarga, peran orang tua tidak cukup hanya dengan menyediakan buku. Orang tua harus menjadi model literasi di hadapan anak-anaknya. Seorang anak yang melihat orang tuanya gemar membaca akan lebih terdorong untuk melakukan hal serupa.
Kebiasaan orang tua membaca koran, buku, atau jurnal di rumah adalah contoh nyata yang tak ternilai. Orang tua juga perlu aktif terlibat dalam aktivitas literasi anak, seperti menemani ke perpustakaan, lalu mendiskusikan isi buku, hingga membuat jadwal membaca bersama di rumah. Tanpa teladan dan keterlibatan orang tua, budaya literasi di rumah sulit ditumbuhkan.
Kembali ke Rumah
Era digital memang tak bisa dihindari. Anak-anak kita hidup di tengah arus informasi tanpa batas. Oleh karena itu, rumah menjadi satu tempat yang bisa menjadi benteng pertahanan untuk melawan arus informasi yang menyesatkan.
Literasi keluarga bukan sekadar tentang membaca buku, tetapi tentang membangun ruang dialog, menumbuhkan empati, menanamkan nilai, dan mempersiapkan anak menghadapi masa depan yang penuh tantangan.
Sebagaimana firman Allah Swt,
“Allah akan mengangkat derajat orang-orang yang beriman diantaramu dan orang-orang yang diberi ilmu pengetahuan beberapa derajat dan Allah maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.” (QS. Al-Mujadilah:11)
Semoga tulisan ini menjadi pengingat bahwa membangun generasi literat, cerdas, dan berkarakter kuat selalu dimulai dari rumah, dari pelukan orang tua, dari buku-buku sederhana, dan dari cerita-cerita yang dibisikkan sebelum tidur. Mari, kita sebagai orang tua menyalakan kembali lentera literasi di tengah-tengah keluarga kita.
Rika Kustina, M. Pd. Penulis merupakan Dosen di UBBG. Mahasiswa doktoral di Program Studi Pendidikan Bahasa Indonesia, Universitas Pendidikan Indonesia.