Menggugat “Punahnya” Mangrove di Bireuen

Mangrove Bireuen
Rima Shah Putra ST, M.Ling, alumnus Prodi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pacasarjana Universitas Almuslim – Peusangan, pegiat lingkungan di FDKP (Forum DAS Krueng Peusangan), berdomisili di Kota Juang, Bireuen.

KemenLHK pada 2022 menyatakan kabupaten Bireuen tidak lagi memiliki lahan mangrove existing. Perihal ini tertuang dalam Peta Mangrove Nasional (PMN) 2021 yang menyebutkan Provinsi Aceh masih memiliki sekitar 29.174 ha hutan mangrove. Namun dalam penjabaran per kabupaten, Bireuen satu–satunya kabupaten di pesisir Timur yang tidak lagi memiliki hutan mangrove.

Keputusan KLHK ini menyedihkan, namun tidak mengejutkan, karena sedari awal PMN membatasi poligon terkecil yang didelineasi atau dicakup dalam pemetaan terhitung dari 6,25 ha ke atas. Artinya lokasi–lokasi dengan luas kurang dari itu tidak dimasukkan atau dinyatakan sebagai hutan mangrove.

Keputusan ini sedikit aneh, karena FAO sendiri mendefinisikan hutan sebagai suatu lahan dengan ciri: luasan lebih dari 0,5 hektare; ditumbuhi pepohonan yang tingginya lebih dari 5 meter; dan penutupan tajuk lebih dari 10%. Sementara di Indonesia, definisi dan kriteria tentang hutan bahkan hingga kini masih menjadi perdebatan. Rujukan resmi hingga saat ini hanyalah UU Nomor 41 tahun 1999 yang kurang lebih tidak pernah menyebutkan batasan minimum disebut hutan.

Baca: Mengenang Durian Juli yang Tinggal Kenangan

Ketetapan spesifikasi delineasi di atas, mungkin menguntungkan dalam penyelesaian pekerjaan agar tepat waktu, apalagi PMN sudah berlangsung sejak 2013. Namun, untuk tujuan advokasi, penetapan ini tentu merugikan, karena mengabaikan keberadaan hutan bangka dalam ukuran lebih kecil.

Kekecewaaan selanjutnya datang dari penetapan luas potensi habitat mangrove di kabupaten Bireuen yang hanya sekitar 8 ha, yang tentu masih sangat jauh dari potensi sebenarnya. PMN berdalih dalam disclaimer dokumen: ”…mengingat keterbatasan analisa spasial, informasi potensi habitat mangrove belum dapat menentukan calon lokasi-lokasi rehabilitasi secara definitif karena masih banyak informasi yang belum bisa dimasukkan sebagai input analisa seperti informasi spasial sosial masyarakat, tinggi dan lama genangan air laut, dan sebagainya.” Penulis berpendapat, PMN luput mempertimbangkan parameter sejarah asal–usul lahan, yang sebenarnya bisa menggelembungkan luas lahan potensial mangrove demi tujuan konservasi.

Sejarah Terbentuknya Hutan Mangrove Bireuen

Herman T. Verstappen, dalam karyanya “Geomorphology in Delta Studies, 1963” menyebutkan dataran rendah Bireuen terbentuk dari endapan sedimen yang disuplai dalam proses fluvial oleh Krueng Peusangan. Pada awalnya Krueng Peusangan bermuara di Krueng Juli melintasi Kota Juang sekarang, dan menghasilkan sebuah delta di utara Bireuen. Namun delta tersebut terkikis tatkala aliran Peusangan bergeser secara alamiah di sekitar Teupin Mane, ke arah timur, membentuk delta baru di sebelah timur yang sekarang dikenal sebagai Kuala Raja, Kuala Jangka dan Krueng Tingkeum.

Sungai–sungai yang tak lagi memperoleh air tawar dari Peusangan ini kemudian karakteristiknya berubah lebih payau, di bawah pengaruh pasang–surut laut. Diikuti proses pembentukan garis pantai baru, pembentukan beting (gundukan pasir) sepanjang garis pantai oleh proses marin (interaksi sedimen dan gelombang). Beting pantai ini menghambat aliran air payau keluar masuk secara bebas, mendorong terbentuknya beurawang atau genangan/cekungan berupa rawa tepi pantai.

Ini terindikasi dari karakteristik hutan mangrove di Bireuen yang selalu terlindung di belakang garis pantai (basin mangrove forest). Berbeda dari model hutan bangka yang langsung menghadap laut (fringe mangrove forest) maupun yang tumbuh sepanjang sungai besar (riverine mangrove forest) sebagaimana hutan mangrove di Aceh Timur, Langsa, dan Tamiang.

Menggambarkan luasnya, peta “Djangka Topographische Inrichting 1915” yang dikeluarkan oleh Topografische Dienst Batavia (Jawatan Topografi Batavia) menerangkan hutan mangrove Bireuen di masa lalu merupakan sebuah hamparan lahan basah yang membentang sepanjang pesisir kecamatan Kuala, Jangka dan Peusangan. Bahagian dari lahan basah raksasa yang dimasa lalu disebut Paya Balè, mencakup hampir seluruh kecamatan Jangka, dan sebahagian kecamatan Peusangan dan Kuta Blang saat ini.

100 Tahun Deforestasi Mangrove Bireuen

Konversi hutan mangrove menjadi tambak di kabupaten Bireuen (mungkin juga pertama kali di Aceh), diduga paling awal terjadi di kawasan muara Kuala Raja, dalam rentang akhir 1920–an atau awal 1930–an. Kesimpulan ini diperoleh dari membandingkan peta “Djangka Topographische Inrichting 1915” dan “Bireuen Opgenomen door den Topografischen Dienst in 1936-1937” yang disediakan Universitaire Bibliotheken Leiden. Peta 1915, menggambarkan Kuala Raja yang masih polos, sementara peta 1937 mulai terlihat sejumlah visvijver (tambak ikan) dibangun di atas lanskap tersebut.

Dari Kuala Raja, pembangunan tambak ikan ini kemudian meluas ke kecamatan lain, antara lain ke Jeunieb dan Samalanga (Bireuen) serta Seuneudon dan Baktiya Barat (Aceh Utara) pada 1940–an yang disponsori para Uleebalang. Pasca Indonesia merdeka, tambak berkembang ke Jangka (Bireuen) dan Bandar Baru (Pidie) sekitar 1950–an; sementara Neuheun, Lamnga di kecamatan Mesjid Raya (Aceh Besar) diketahui baru memiliki tambak sejak 1963.

Catatan tentang konversi hutan mangrove menjadi tambak di Jangka diberikan Nurwalidiniati dkk. dalam sebuah penelitian yang menyebut lahan tambak di sana pada awalnya merupakan hutan yang dipenuhi pohon glimbang atau bakau, oleh ureung tuha gampong pada 1950, lahan milik umum tersebut dibagi–bagikan kepada masyarakat setempat untuk dimanfaatkan sebagai tambak bandeng. Konversi mangrove di Jangka semakin masif sejak dibukanya kuala Pawon di Pulo Pineueng (Meunasah Dua) sekitar 1965.

Deforestasi mangrove terus berlanjut seiring dengan diperkenalkannya teknologi tambak udang, sebagai respons atas meningkatnya permintaan ekspor udang Indonesia sejak akhir 1970–an. Dan meningkat drastis seiring dukungan pemerintah pusat melalui SK Menteri Pertanian/Ketua Badan Pengendali Bimas No.05/SK/Mentan/Bimas/IV/1984 tentang intensifikasi tambak udang/ bandeng (INTAM).

Sisa–sisa hutan mangrove di Bireuen juga turut hancur/dibabat selama masa konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan TNI/POLRI periode 1999–2004. Tentara pemerintah menganggap uteuen bangka menjadi sarang persembunyian anggota GAM. Salah satunya di Kuala Raja pada 1999, hutan mangrove yang terletak di belakang fasilitas pelabuhan ikan sekarang.

Bencana Tsunami 2004 yang diikuti fase Rehab–Rekon 2005–2009, sempat dilakukan penanaman mangrove kembali oleh sejumlah lembaga donor internasional dan NGO. Namun tak butuh waktu lama, mangrove yang mulai tumbuh itu pun kembali dirusak oleh masyarakat. Apalagi kalau bukan karena keinginan membuka tambak udang, dengan iming–iming varietas baru udang Vannamei yang diperkenalkan di Bireuen 2013–2014 dengan klaim lebih tahan penyakit dibanding varietas Windu.

Beberapa tahun terakhir, hutan mangrove yang luasnya terus menciut itu kembali dirusak dengan alasan mangrove menarik burung laut. Ada anggapan di kalangan petambak bahwa mangrove menjadi vektor penyakit udang, yang membawa virus berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain; virus yang melekat pada paruh, kaki, maupun kotoran burung. Sehingga hutan mangrove yang menjadi habitat burung–burung laut itu pun turut dibabat.

Pemimpin Baru, Semangat Baru Konservasi

Pelantikan Bupati dan Wakil Bupati Bireuen periode 2025–2030 pada 18 Februari lalu, sedianya membuka harapan baru bagi upaya mengembalikan hutan bangka di Bireuen, apalagi figur Wakil Bupati yang dikenal memiliki kepedulian pada isu–isu lingkungan.

Agenda–agenda perubahan penting sudah menunggu. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) menjadi batu ujian awal, sebagai dasar penyusunan dan evaluasi Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), maupun Rencana Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah (RPJP & RPJM).

Apalagi RTRW Bireuen yang lama (2012–2032) ternyata sama sekali tidak menyertakan alokasi ruang untuk hutan bangka, seluruhnya untuk kawasan perikanan. Ini kemudian berimplikasi dalam RPJP dan RPJM Bireuen lalu, yang belakangan diketahui sama sekali tidak pernah menyebutkan kata “mangrove” di dalamnya. []

Penulis Rima Shah Putra ST, M.Ling, alumnus Prodi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Program Pacasarjana Universitas Almuslim – Peusangan, pegiat lingkungan di FDKP (Forum DAS Krueng Peusangan), berdomisili di Kota Juang, Bireuen.

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here