Mengapa PAS Aceh Belum Menang?

Putra pasee, pileg 2024, PAS
Usamah El Madny. Foto: Dokumen pribadi penulis.

Mengapa PAS belum menang pada Pemilu 2024? Ini kali kelima uji coba parpol “ulama”. Hasilnya masih tetap keok.

Rasa tidak puas terhadap praktek politik dan demokrasi di Aceh terus menyeruak. Bahkan dari awal kemerdekaan sampai hari ini. Ketidakpuasan itu datang dari berbagai kalangan, termasuk kelompok ulama, yang merupakan salah satu elit penting masyarakat Aceh.

Punca ketidakpuasan mereka rata-rata pada persolan output kinerja politik itu sendiri. Ada aspirasi yang dinilai tidak terakomodir oleh partai politik yang ada. Misalnya, aspirasi pelaksanaaan syariat Islam di Aceh yang menurut mereka masih jauh dari harapan.

Pada awal-awal Republik berdiri, ulama dan masyaratakat Aceh menautkan aspirasi mereka lewat Partai Masyumi. Jangankan memperjuangkan aspirasi Masyarakat Aceh, Partai Masyumi justru membubarkan Provinsi Aceh dan menggabungkannya dengan Provinsi Sumatera Utara melalui PP No. 21 Tahun 1950 tanggal 20 Agustus 1950. Ketika itu masyarakat Aceh kecewa sekali kepada Masyumi yang mereka dukung penuh.

Setelah dibubarkan Masyumi oleh Soekarno tahun 1960, lalu masyarakat Aceh menjadi pendukung total PPP yang mengklaim diri sebagai partai Islam. Berkali-kali PPP menang di Aceh. Sampai tahun 1997 PPP berhasil dikalahkan Golkar. Meski mendukung PPP, banyak kalangan di Aceh berkeyakinan PPP tidak dapat berbuat banyak untuk umat Islam Aceh.

Baca: Pasee Seperti Kebun Kosong

Dasar keyakinan yang demikianlah pelan-pelan dukungan masyarakat Aceh terhadap PPP makin berkurang.

Pascareformasi, ikhtiar dan ijtihad politik ke arah lebih baik tidak berhenti. Para ulama dan berbagai elemen Masyarakat Aceh terus yakin usaha sampai. Maka lahirlah Partai Daulat Aceh (PDA). Setelah PDA dianggap belum berhasil, dalam Pemilu 2024 didirikan pula Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS Aceh).

Sebagaimana PDA pada awalnya,  ada dua hal  yang menjadi magnet partai PAS Aceh ini. Kedua hal itu adalah: PAS Aceh didirikan dan didukung “ulama”. Ternyata berdasarkan hasil pengumuman KPU, kedua faktor tersebut tidak mampu menghantarkan PAS Aceh memenangkan Pemilu 2024.

Jika pada Pemilu 2024 PAS Aceh belum berhasil menang, apakah ini juga merupakan sebuah konklusi bahwa “ulama” bukan lagi kelompok berpengaruh dan mampu mempengaruhi di Aceh?

Bukankah dalam catatan sejarah Aceh, ada tiga kelompok elit yang berpengaruh dalam masyarakat. Ketiga kelompok itu, selain ulama adalah raja dan bangsawan.

Setelah peristiwa Cumbok 2 Desember 1945, pengaruh bangsawan melemah. Sedangkan kelompok raja dapat dikatakan telah hilang pengaruh sejak 1903 seiring penaklukan Kerajaan Aceh oleh imperialisme Belanda. Yang bertahan sebagai elit berpengaruh sampai saat ini adalah kelompok ulama.

Maka akan menarik diamati, apakah ketika “ulama” mendirikan partai politik,masyarakat Aceh menerima kehadiran ulama dalam pentas politik itu.

Bagi “ulama” Aceh, mendirikan parpol paling tidak merupakan uji coba politik yang kelima kali. Ternyata uji coba kelima kali ini belum  menghasilkan buah manis.

Bila kita runut kebekakang,“ulama” Aceh melakukan uji coba politik politik dengan tujuan yang sesungguhnya sangat mulia.: Yaitu tegaknya syariah Islam secara kafah di Aceh.Tujuan mulia ini ternyata sama dengan konsep Sayyid Qutub, tokoh Ikhwanul Muslimin Mesir,dalam bukunya Kerangka Ideologi Islam,1992, terbitan Mizan Bandung. Qutub menjelaskan umat Islam wajib menguasai politik, karena syariat Islam wajib ditegakkan.

Tanpa menguasai politik, maka akan sulit mengejawantahkan syariat Islam di Aceh. Dasar pemikiran yang demikianlah menyebabkan “ulama” Aceh tak pernah patah arang untuk berikhtiar menguasai politik di Aceh.

Paling tidak ada lima kali “ulama” Aceh melakukan uji coba politik. Empat kali belum berhasil,dan yang kelima kali mendirikan PAS Aceh.

Empat kali kegagalan politik “ ulama” Aceh dapat cermati dari peristiwa berikut ini:Pertama, pergerakan PUSA. PUSA didirikan di Peusangan, Bireuen, 5 Mei 1939. PUSA merupakan organisi modern pertama ulama Aceh. Ulama-ulama besar bergabung di dalamnya yang diketuai Tgk. Muhammad Daod Beureueh.

PUSA adalah organisasi sosial biasa, tapi pada hakikatnya organisasi perjuangan politik para ulama. Kemudian hari ternyata PUSA berafiliasi dengan Masyumi dan memenangkan Masyumi di Aceh. Terakhir setelah kecewa dengan Masyumi sejumlah tokoh PUSA justru mendukung perjuangan DI/TII di Aceh.

Konsolidasi politik “ulama” Aceh melalui PUSA ini juga belum beruntung. Akhirnya PUSA pun meredup seperti lampu teplok kehabisan minyak.

Kedua, mendukung Partai Masyumi. Karena dukungan “ulama” pada pemilu tahun 1955 Masyumi menang telak di Aceh. Tapi sekalipun menang, “ulama” Aceh kecewa lagi karena Provinsi Aceh dilebur ke dalam Provinsi Sumatra Utara. Kekecewaan itu berujung pemberontakan DI/ TII Aceh. Pada titik ini para “ulama” Aceh juga dibuat kecewa.

Ketiga, menyokong PPP. “Ulama” Aceh tetap optimis dalam berpolitik. Pada tahun 1977 “ulama” Aceh menyokong PPP dalam pemilu. Harapannya tetap sama, melalui PPP menguasai politik kemudian dapat mengurus agama dengan baik. Sejak Pemilu 1977 dan seterusnya berkat dukungan “ulama” berkali-kali PPP menang di Aceh. Sampai pada Pemilu tahun 1992 dikalahkan Golkar dengan cara tertentu.

Sekalipun PPP menang di Aceh namun cita-cita para ulama melembagakan syariat Islam juga masih jauh panggang dari api. Para “ulama” Aceh ibarat penolak mobil mogok. Para “ulama” Aceh kembali kecewa dengan parpol.

Usaha keempat, yang dilakukan “ulama” dengan mendirikan Partai Daulat Aceh (PDA) —-yang dalam perjalanan kemudian partai ini beberapa kali ganti nama.

Prinsip nye kon anoe mandum leuhop, nye kon droe teuh mandum gob, kembali mendasaridukungan “ulama” kepada PDA. Lambat laun trust “ulama” kepada PDA juga tergerus. Kenyataan yang diberikan PDA tidak sesuai haparan. Satu persatu “ulama” mulai pasif dengan PDA, bahkan pada akhirnya ada yang keluar meninggalkan PDA. Di parlemen, baik di provinsi maupun kabupaten/ kota, perolehan kursi PDA juga tidak memadai. Bahkan tidak memadai untuk memenuhi syarat membentuk sebuah fraksi sendiri yang utuh.

Inilah ikhtiar politik ke empat “ulama” Aceh yang belum berhasil. Lalu, quo vadis dengan usaha kelima mendirikan dan mendukung Partai Adil Sejahtera Aceh (PAS Aceh)? Ternyata belum berhasil juga.

Dalam sejarah blantika partai politik Islam di berbagai belahan dunia, sejarah mencatat berbagai momentum indah kemenangan partai politik Islam yang didirikan dan didukung para “ulama”.Tetapi para “ulama” yang mendirikan dan mendukung parpol tersebut harus berikhtiar maksimal merebut kesempatan menang dalam segala momentum yang ada.

Sebagai contoh FIS di Al-Jazair. Partai politik ini berbasis Islam didirikan dan didukung para“ulama”. FIS merupakan kepanjangan dari Front Islamique du Salut (Bahasa Perancis).Pada Pemilu 20 Juni 1991, FIS menang dengan perolehan suara 54% atau 188 kursi (mayoritas dari kursi yang diperbutkan). Kemenangan besar FIS ini disambut gegap gempita umat Islam Al-Jazair.

Itu kejadian di Al-Jazair. Kemengnan partai politik besutan ulama juga terjadi di Turkiye. Partai politik Islam yang didukung ulama Turkiye adalah Partai Keadilan dan Pembangunan (PKP). Partai politik Islam ini didirikan 14 Agustus 2001 di bawah kepemimpinan Recep Tayyib Erdogan.

Apa yang terjadi di Al-Jazair dan Turkiye sebenarnya dapat saja berulang di Aceh. Karena sosio-cultural masyarakat pemilih di Al-Jazair dan Turki beda-beda tipis dengan di Aceh. Salah satu kesamaannya memiliki fanatisme beragama dan takzim mengikuti ulama. Dengan kesamaaan ini,kalau di Al-Jazair dan Turki parpol Islam dapat menang, maka di Aceh peluang menang juga terbuka lebar.

Syarat utamanya para “ulama” pendiri dan pendukung PAS Aceh mampu mengkonsolidasikan diri dan melakukan konsolidasi politik dengan baik dan benar. Namun sayang, sepertinya belum ada tokoh yang dipercaya dan mampu melakukan konsolidasi politik yang menggelegar di Aceh –katakanlah sekaliber Daod Beureueh.

Apa pun kondisi pada Pemilu 2024, namun itu semua bukan kiamat bagi PAS Aceh. Namun bila konsolidasi politik tidak berhasil dijalankan ulama, maka adagium politik “makan sate”  layak kita renungkan. Ada adagium, makan sate tidak perlu pelihara kambing. Kepingin sate, langsung saja datang kegerobak, pesan satu porsi, dinikmati dan bayar lunas.

Selaras dengan adagium di atas, begitu juga dengan perjuangan ideologi dan cita-cita politik di Aceh. Tidak perlu harus membangun partai politik sendiri. Cukup melakukan lobi dan komunikasi politik yang asertif dengan parpol yang sudah ada. Tidak capek-capek. Pokir dan kepentingan pragmatis lainnya juga didapatkan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here