Mengapa Ekonomi Indonesia Dikuasai Etnis Tionghoa

Ekonomi Indonesia
Mengapa etnis Tionghoa yang minoritas dapat menguasai 50 persen lebih ekonomi Indonesia? Semuanya dimulai sejak Orde Baru yang diskriminatif. Foto: Disitat dari perpit.or.id

Komparatif.ID, Jakarta—Lebih 50% ekonomi Indonesia dikuasai etnis Tionghoa. Demikian disampaikan oleh mantan Wakil Presiden Indonesia H.M. Jusuf Kalla, pada acara halalbihalal, yang digelar Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI)di Hotel Borobudur, Jakarta, Jumat (12/5/2023).

Dilansir kompas.com, Jusuf Kalla mengatakan bila dilihat dari jumlah populasinya, etnis Tionghoa di Indonesia hanya 4,5 persen. Mayoritas mereka non-muslim. Kekuatan ekonomi yang mereka kuasai 100 kali lipat dari jumlah manusianya.

Ia membandingkan dengan sejumlah negara seperti Pakistan, Arab Saudi, dan Turki. Di negara-negara itu yang menjadi kelompok pemegang dominasi ekonomi besar adalah yang mayoritas.

Menjadi penguasa ekonomi Indonesia bukanlah kesalahan etnis Tionghoa. Mereka harus diberikan apresiasi karena mampu menjadi dominan meskipun minoritas. Tantangan umat Muslim di Indonesia yaitu minimnya semangat wirausaha atau entrepreneurship.

Baca: 5 Orang Terkaya di Indonesia Tahun 2023

Dalam daftar 24 orang terkaya di Indonesia tahun 2023 yang dilansir ceoworld.biz, lebih 90% berjejer pengusaha dari etnis Tionghoa. Satu orang Batak, 1 India, dan 1 Mandailing. Aceh, Jawa, Dayak, Bugis, tidak masuk daftar.

Jusuf Hamka atau lebih dikenal dengan panggilan Babah Alun, yang merupakan seorang pengusaha sekaligus pemilik PT Citra Marga Nusaphala Persada (CMNP) dalam sebuah podscast Denny Sumargo yang ditonton oleh Komparatif.ID pada Rabu (7/6/2023) malam menyebutkan mengapa ekonomi Indonesia saat ini dikuasai oleh etnis Tionghoa, semuanya karena kesalahan Orde Baru.

Pria yang masuk Islam pada usia 23 tahun ketika bertemu Buya Hamka pada tahun 1981, mengatakan saat itu etnis Tionghoa mendapatkan diskriminasi dalam semua hal.

“Teman-teman Tionghoa kala Orde Baru tidak boleh masuk partai politik, tidak boleh menjadi pegawai negeri, tidak boleh menjadi polisi, tentara. Bilapun ada jumlahnya sedikit sekali, dan itupun harus sangat dekat dengan pejabat tertentu,” kata Jusuf Hamka yang menjadi komisaris di lima perusahaan besar di Tanah Air.

Karena tidak boleh bersekolah di sekolah negeri, mereka membangun sekolah swasta. Kemudian mendidik anak-anaknya dengan jiwa entrepreneur yang kuat. Karena pilihannya sangat sedikit, mereka pun berjuang sekeras tenaga di sektor perdagangan yang tidak dibatasi, meski juga tak diperbolehkan mengelola perusahaan perambah hutan yang sangat seksi saat itu.

Etnis Tionghoa benar-benar fokus membangun usaha, telaten, bekerja keras, berhemat, tidak cepat puas, serta ingin mandiri sampai mati. Mereka mendidik anak-anaknya menjadi generasi yang kuat, cerdas, dan berjiwa wirausaha. Serta mendidik diri sendiri supaya tidak menjadi benalu bagi anak.

Meminta belas kasihan anak di usia tua, merupakan aib bagi etnis Tionghoa. Mereka harus tetap terlihat berwibawa hingga renta.

Di sisi lain, karena tidak cepat puas, mereka berhasil mengubah tantangan menjadi peluang. Mereka mempelajari mental orang yang disebut pribumi. Orang-orang yang mendapatkan kesempatan menjadi PNS dan jabatan politik, ternyata terlalu cepat puas.

Di sanalah terbuka jalan etnis Tionghoa kala itu dapat berbisnis di sektor kehutanan, dengan membangun perusahaan atas nama orang yang diakui sebagai etnis tempatan oleh pemerintah. Istilahnya Alibaba. Perusahaan atas nama si Ali, tapi pemegang saham sesungguhnya adalah baba (etnis Tionghoa).

“Si Ali merasa puas dengan diberikan jatah 10%. Sedangkan si Baba menguasai 90%. Itulah mengapa ekonomi Indonesia dipegang Tionghoa, atau mengapa etnis Tionghoa kaya-kaya di Indonesia, karena itu tadi. Disebabkan oleh Orde Baru yang diskriminatif,” sebut Jusuf Hamka.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here