Meng-Aceh-kan Ganjar Pranowo

MAA Kota Lhokseumawe menganugerahkan gelar teuku kepada Ganjar Pranowo.
Teuku Ganjar Pranowo berfoto bersama dendayang seusai menerima penganugerahan gelar adat. Foto: ist.

Oleh: Muhajir Juli*

Publik Aceh geger, keturunan ampon chiek di berbagai daerah di Serambi mekkah juga dibikin gregetan. Itu semua dipicu oleh pemberian gelar teuku kepada Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo.

Penganugerahan gelar teuku dilakukan di rumah Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh, Prof. Dr. Herman Fithra. Penobatan itu dipimpin oleh Ketua Majelis Adat Aceh (MAA) Kota Lhokseumawe, M. Jalil Hasan. Kepada ganjar dia memasangkan kopiah meukeutob dan sebilah rencong.

Dilansir kantor Berita Antara, Rektor Universitas Malikussaleh (Unimal) Aceh, Prof. Dr. Herman Fithra yang baru dikukuhkan sebagai guru besar bidang transportasi mengatakan pemberian gelar Teuku kepada Ganjar telah melalui proses rembug sebelumnya.

“Kami dengan beliau Ketua Majelis Adat Aceh Kota Lhokseumawe, kita berembug memberi gelar kepada Bapak Ganjar, kita melihat sepak terjang beliau dalam membangun Indonesia khususnya Jawa Tengah,” kata Herman dalam keterangannya, Sabtu (9/4/2022).

Setelah mendapatkan gelar itu, Ganjar sudah sah menggunakan –bila ia mau—Teuku Ganjar Pranowo.

Publik Aceh yang ada di dalam dunia internet, terpecah dalam beberapa “mazhab” terhadap penganugerahan gelar teuku kepada Ganjar yang notabenenya seorang Jawa. Ada yang tidak sepakat, ada yang tersinggung, ada yang sepakat, ada pula yang menjadikannya sebatas joke. Bagi “mazhab” joke ini, gelar apapun diberikan kepada siapa saja, tidak penting. Karena yang paling penting adalah Aceh harus lebih baik.

Teuku adalah gelar untuk ampon chiek dan keturunannya, yang pertama kali diberikan oleh Sultan Aceh, berikut wilayah kekuasaan yang disebut nanggroe. Misal Ampon Chiek Peusangan dan keturunannya yang masih bersifat perwalian hingga saat ini, yang laki-laki masih disebut teuku dan disapa dengan panggilan ampon, meskipun Nanggroe Peusangan telah lama bubar dan yang tersisa Kecamatan Peusangan.

Teuku bukan gelar yang dibawa akibat dari nasab yang tidak dapat hilang seperti sayyid, syarif, dll. Teuku adalah gelar yang diberikan kepada orang-orang kepercayaan Sultan Aceh, yang diberikan kewenangan sebagai ule balang di nanggroe. antara satu ampon chiek dengan ampon chiek lainnya tidak punya riwayat satu keturunan. Bila pun kemudian ada peristiwa kawin-mawin antar keturunan ampon chiek sebagai ihtiar menjaga relasi politik, itu hal yang sifatnya duniawi.

Dengan demikian, gelar teuku dapat dipergunakan oleh siapa saja, sejauh dia masih bertalian darah perwalian dengan buyutnya yang pernah menjadi ampon chiek atau jabatan sejenis di masa Aceh masih berbentuk kerajaan. Bilapun tidak dipergunakan lagi seperti pilihan keluarga ibu saya, tidak menjadi sebuah dosa.

Bahkan, termasuk teuku-teuku yang kakek buyutnya dulu ditunjuk oleh Belanda sebagai ampon chiek, mereka juga punya hak yang sama atas gelar tersebut. Terkait hal ini sering kita dengar sebutan ampon Beulanda, untuk mereka yang buyutnya menjadi ampon chiek setelah belanda berkuasa di Aceh.

Pernah suatu masa, kala revolusi sosial terjadi di Aceh, banyak orang yang tidak memakai gelar teuku dan cut, takut akan menjadi sasaran amuk pendukung revolusi yang digerakkan oleh kalangan agamawan garis keras. Segala macam fitnah dibuat untuk mendiskreditkan para ampon chiek dan anak keturunan mereka. Tidak sedikit yang lari ke luar Aceh, dan bersumpah tidak pernah mau lagi menginjak kakinya di Serambi Mekkah.

Teuku untuk Diplomasi
Saya kira sekelas Rektor Unimal, tidak mungkin tidak mengetahui latar belakang gelar teuku di Aceh. Sebagai intelektual, dia sangat memahami itu. Demikian juga ketua MAA Kota Lhokseumawe.

Demikian juga Ganjar Pranowo. Saya percaya bila ia juga tidak mungkin tidak akan bertanya kepada orang-orangnya tentang latar belakang gelar teuku yang diberikan kepadanya.

Apa yang dilakukan oleh Rektor Unimal dan Ketua MAA Kota Lhokseumawe, merupakan sebuah upaya komunikasi kebudayaan, dengan tujuan “mengikat” Ganjar Pranowo agar merasa dirinya bagian dari Aceh. Bila kelak ia menjadi orang penting di negeri ini, dirinya merasa memiliki ikatan batin dengan Aceh, bersebab gelar teuku yang diberikan kepadanya.

Gelar-gelar kehormatan ala Aceh sudah bukan barang baru diberikan kepada tokoh dari luar. Presiden ke-5 Indonesia Megawati Soekarnoputri, dan Jenderal Dudung beserta istrinya juga sudah pernah dianugerahkan penghormatan serupa. Sri Lila Meukuta Abdurachman adalah gelar adat untuk Jenderal Dudung yang diberikan oleh PYM Wali Nanggroe Teungku Malik Mahmud Al-Haytar.

Setelah gelar kehormatan itu mereka terima, apakah mereka bawa-bawa ke segala tempat? Tidak kan? Artinya apa? Mereka tahu bila penganugerahan gelar adat hanya bentuk penghormatan dan komunikasi kebudayaan. Tidak lebih dan tidak kurang.

Tulisan ini tidak bermaksud mengintervensi pendapat orang-orang yang tidak sepakat dengan penganugerahan tersebut. Tapi sekadar melihat keputusan Rektor Unimal dan Ketua MAA Kota Lhokseumawe sebagai bagian dari diplomasi kebudayaan.

*)Penulis adalah Pemimpin Redaksi Komparatif.ID. Mahasiswa Pascasarjana Komunikasi Penyiaran Islam UIN Ar-Raniry.

Catatan: Tulisan ini telah mengalami penyuntingan, tanpa mengubah makna tulisan.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here