Perihal keberadaan Negeri Champa masih saling silang menyilang. Apakah Negeri Champa merupakan sebuah daerah di Bireuen, ataukah di Kamboja? Menurut sejumlah peneliti, Negeri Champa yang dimaksud dalam berbagai catatan sejarah, merupakan Negeri Jeumpa di Aceh.
Karel Stennbrink dalam bukunya Pesantren, Madrasah, dan Sekolah yang diterbitkan LP3ES, 1981, mengutip catatan Gubernur Jendral Hindia Belanda dari Kerajaan Inggris yang juga seorang peneliti sosial, Sir TS. Raffles dalam bukunya The History of Java, from the earliest Traditions till the establisment of Mahomedanism menyebutkan bahwa Champa yang terkenal di Nusantara, bukan terletak di Kamboja sekarang sebagaimana dinyatakan oleh para peneliti Belanda.
Tapi Champa adalah nama daerah di sebuah wilayah di Aceh, yang terkenal dengan nama “Jeumpa”. Champa adalah ucapan atau logat Jeumpa dengan dialek “Jawa”, karena penyebutannya inilah banyak ahli yang keliru dan mengasosiasikannya dengan Kerajaan Champa di wilayah Kamboja dan Vietnam sekarang. Jeumpa yang dinyatakan Raffles sekarang berada di sekitar daerah Kabupaten Bireuen Aceh.
Baca: Kata Bahasa Champa yang Sama Dengan Bahasa Aceh
“Champa” biasanya dihubungkan dengan sebuah peristiwa pada zaman kerajaan Majapahit, terutama pada masa Pemerintahan Prabu Brawijaya V yang memiliki seorang istri yang dikenal dengan “Puteri Champa” sebagaimana disebutkan dalam Babad Tanah Jawi, yang nama lainnya Anarawati (Dwarawati) yang beragama Islam.
Puteri Champa menyerahkan pendidikan Raden Fatah kepada seorang keponakannya yang dikenal dengan Sunan Ampel (Raden Rahmat) di Ampeldenta Surabaya. Raden Fatah menjadi Sultan pertama Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang mengakhiri sejarah Kerajaan Hindu-Jawa Majapahit.
Perihal Negeri Champa, para ahli banyak yang berdebat, yang akhirnya menyebabkan Negeri Champa menjadi gelap di dalam sejarah Islam di Nusantara. Kegelapan ini umumnya disebabkan para ahli hanya mengutip mendapat-pendapat yang sudah ada tanpa mengadakan pengkajian lebih dalam dari berbagai aspek.
Hasilnya, cerita tentang Negeri Champa bercampur antara berbagai mitos,legenda dan cerita masyarakat yang tidak berdasarkan fakta ilmiah.Dengan demikian Champa sebagai sebuah realitas sejarah justru redup dan kemudian hilang.
Umar Hasyim dalam bukunya Riwayat Maulana Malik Ibrahim, menulis para ahli sejarah memperkirakan Maulana Malik Ibrahim berada di Negeri Champa sekitar 13 tahun, antara tahun 1379 sampai dengan 1392. Untuk memastikan dimanakah Champa yang telah ditinggali Maulana Malik dan saudara iparnya “Putri Champa”, maka perlu diselidiki bagaimanakah keadaan Champa waktu itu, baik yang berada di Aceh maupun Kambodia.
Menurut catatan Sar Desai,Trials and Tribulations of a Nation, Champa di Kamboia masa itu sedang diperintah oleh Chế Bồng Nga antara tahun 1360-1390 Masehi, dikenal dengan The Red King (Raja Merah) seorang Raja terkuat dan terakhir Champa.
Tidak diketahui apakah Raja ini Muslim atau Budha sebagaimana mayoritas penduduk Kamboja masa ini dengan banyak peninggalan kuil-kuilnya.Ia berhasil menyatukan dan mengkordinasikan seluruh kekuatan Champa pada kekuasaannya, dan pada tahun 1372 menyerang Vietnam melalui jalur laut.Champa berhasil memasuki kota besar Hanoi pada 1372 dan 1377. Pada penyerangan terakhir tahun 1388, dia dikalahkan oleh Jenderal Vietnam Ho Quy Ly, pendiri Dinasti Ho.Che Bong Nga meninggal dua tahun kemudian pada 1390.
Tidak banyak catatan hubungan penguasa Champa ini dengan Islam, apalagi tidak didapat bekas-bekas kegemilangan Islam, sebagaimana yang ditinggalkan para pendakwah di Perlak, Pasai ataupun Malaka.
Sementara menurut catatan sejarah,yang terkenal dengan Sultan Cam atau Champa adalah Wan Abdullah atau Sultan Umdatuddin atau Wan Abu atau Wan Bo Teri Teri atau Wan Bo, memerintah pada tahun 1471 M-1478 M.
Menurut silsilah Kerajaan Kelantan Malaysia, silsilah beliau adalah: Sultan Abu Abdullah (Wan Bo) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Husain (Sayyid Hussein Jamadil Kubra) ibni Ahmad Syah Jalal ibni Abdullah ibni Abdul Malik ibni Alawi Amal Al-Faqih ibni Muhammas Syahib Mirbath ibni ‘Ali Khali’ Qasam ibni Alawi ibni Muhammad ibni Alawi ibni Al-Syeikh Ubaidillah ibni Ahmad Muhajirullah ibni ‘Isa Al-Rumi ibni Muhammad Naqib ibni ‘Ali Al-Uraidhi ibni Jaafar As-Sadiq ibni Muhammad Al-Baqir ibni ‘Ali Zainal Abidin ibni Al-Hussein ibni Sayyidatina Fatimah binti Rasulullah SAW.
Jadi beliau adalah anak saudara dari Maulana Malik Ibrahim, yaitu anak dari adik beliau bernama Ali Nurul Alam. Wan Bo atau Wan Abdullah ini juga adalah bapak kepada Syarief Hidayatullah, pengasas Sultan Banten sebagaimana silsilah yang dikeluarkan Kesultanan Banten Jawa Barat:Syarif Hidayatullah ibni Abdullah (Umdatuddin) ibni Ali Alam (Ali Nurul Alam) ibni Jamaluddin Al-Hussein (Sayyid Hussein Jamadil Kubra)ibni Ahmad Syah Jalal dan seterusnya seperti di atas.
Pertanyaannya, kapan dan di mana sebenarnya Kerajaan Champa (Negeri Champa) yang dipimpin oleh Raja Champa yang menjadi mertua Maulana Sayyid Ibrahim, yang menjadi ayah kandung “Puteri Champa”.
Jika dikaitkan dengan fakta di atas, mustahil mertua Maulana Sayyid Ibrahim atau ayah “Puteri Champa” itu adalah Wan Bo (Wan Abdullah) karena menurut silsilah dan tahun kelahirannya, beliau adalah pantaran anak saudara Maulana Sayyid Ibrahim yang keduanya terpaut usia 50 tahun lebih.Raden Rahmat (Sunan Ampel) sendiri lahir pada tahun 1401 di “Champa” yang masih misterius itu.
Boleh jadi yang dimaksud dengan Kerajaan Champa (Negeri Champa) tersebut bukan Kerajaan Champa yang dikuasai Dinasti Ho Vietnam,tapi sebuah perkampungan kecil yang berdekatan dengan Kelantan?.
Inipun masih menimbulkan tanda tanya, dimanakah peninggalannya? Bahkan ada pula yang mengatakan Negeri Champa berdekatan dengan daerah Fatani, Selatan Thailand berdekatan dengan Songkla,yang merujuk daerah Senggora zaman dahulu.
Untuk mendukung Teori Raffles bahwa Negeri Champa yang dimaksud bukan di Vietnam sekarang, tetapi di wilayah Jeumpa Bireuen, Aceh, ada beberapa dalil yang dapat dikemukakan, antara lain;(i) Martin Van Bruinessen telah memetik tulisan Saiyid ‘Al-wi Thahir al-Haddad, dalam bukunya Kitab Kuning,Pesantren; Putra Syah Ahmad, Jamaluddin dan saudara-saudaranya konon telah mengembara ke Asia Tenggara. Jamaluddin sendiri pertamanya menjejakkan kakinya ke Kamboja dan Aceh, kemudian belayar ke Semarang dan menghabiskan waktu bertahun-tahun di Jawa, hingga akhirnya melanjutkan pengembaraannya ke Pulau Bugis, di mana dia meninggal.
Diriwayatkan pula beliau menyebarkan Islam ke Indonesia bersama rombongan kaum kerabatnya. Anaknya, Saiyid Ibrahim (Maulana Sayyid Ibrahim) ditinggalkan di Aceh untuk mendidik masyarakat dalam ilmu keislaman. Kemudian,Saiyid Jamaluddin ke Majapahit, selanjutnya ke Negeri Bugis, lalu meninggal dunia di Wajok (Sulawesi Selatan).
Tahun kedatangannya di Sulawesi adalah 1452M dan tahun wafatnya 1453 M. Jadi tidak diragukan bahwa yang ke Kamboja itu adalah ayah Maulana Ibrahim, Saiyid Jamaluddin yang menikah di sana dan menurunkan Ali Nurul Alam.
Sedangkan mayoritas ahli sejarah menyatakan Maulana Malik Ibrahim lahir di Samarkand atau Persia, sehingga digelar Syekh Maghribi. Beliau sendiri dibesarkan di Aceh dan tentu menikah dengan puteri Aceh yang dikenal sebagai Puteri Raja Champa.
Azumardi Azra mengemukakan Negeri Champa Kamboja ketika zaman Maulana Malik Ibrahim sedang huru hara dan terjadi pembantaian terhadap kaum Muslim yang dilakukan oleh Dinasti Ho yang membalas dendam atas kekalahannya pada pasukan Khulubay Khan, Raja Mongol yang Muslim sebagaimana disebutkan terdahulu.
Keadaan ini sangat jauh berbeda dengan keadaan Negeri Jeumpa yang menjadi mitra Kerajaan Pasai pada waktu itu; yang menjadi jalur laluan dan peristirahatan menuju kota besar seperti Barus, Fansur dan Lamuri dari Pasai ataupun Perlak.
Al-Attas mengatakan popularitas Jeumpa di Nusantara, yang dihubungkan dengan puteri-puterinya yang cerdas dan cantik jelita, buah persilangan antara Arab-Parsi-India dan Melayu, yang di Aceh terkenal dengan Bungong Jeumpa; gadis cantik putih kemerah-merahan, tidak lain menunjukkan keistimewaan Jeumpa di Aceh yang sampai saat ini masih menyisakan kecantikan puteri-puterinya, gadis Bireuen.
Sumber: Sejarah Kesultanan Banggai, ditulis oleh Dr. Sofyan Madina, M.Pd., dkk. Diterbitkan oleh Puslitbang Lektur dan Khazanah Keagamaan Badan Litbang dan Diklat Kementerian, 2012.