Bisnis aviasi sedang bersiap menuju penyelenggaraan penerbangan komersial yang rendah karbon. Bahan bakar berkelanjutan terus dikembangkan demi men-zero-kan pencemaran pada tahun 2050. Tapi tantangannya masih sangat besar.
Bisnis aviasi harus menyelesaikan beberapa tantangan besar dalam beberapa decade bila serius ingin mencapai net zero target pada 2050. Menurut prediksi the International Air Transport Association (IATA), pada tahun tersebut maskapai di seluruh dunia akan mengangkut 10 miliar penumpang per tahun.Lebih dari dua kali lipat jumlah tertinggi pra-pandemi sebesar 4 miliar pada tahun 2019.
Dengan perkembangan bisnis aviasi yang sedemikian besar, industri ini menggantungkan harapannya pada pengembangan sustainable aviation fuels—bahan bakar berkelanjutan, demi mencapai net zero target; bahan bakar tersebut memberikan pengurangan karbon hingga 65 persen.
Baca juga: Aceh Targetkan 500 Ribu Pelancong Malaysia Tahun 2023
Bisnis aviasi China menempati urutan kedua di dunia setelah Amerika Serikat dalam hal penyumbang karbon terbesar. Menurut analisis yang diterbitkan oleh International Council on Clean Transportation (ICCT), penerbangan China mengeluarkan 103 juta ton CO2 pada 2019 – 13% dari total penerbangan global.
Meskipun bisnis aviasi menyumbang 1% dari total emisi negara, pangsanya diperkirakan akan meningkat karena emisi dari industri berat, seperti pembuatan baja dan semen, turun dalam dekade berikutnya. Sebuah makalah penelitian yang diterbitkan sebelum pandemi memperkirakan bahwa emisi penerbangan sipil China akan mencapai 516 juta ton pada tahun 2050– lima kali lipat dari jumlah tahun 2019.
Mungkinkah China Mendukung SAFs Demi Bisnis Aviasi?
Produksi bahan bakar berkelanjutan di China baru saja dimulai. Pada akhir tahun 2022, Institut Energi di Universitas Peking menerbitkan laporan yang menemukan potensi besar untuk produksi bahan bakar berkelanjutan di China, dengan tersedianya bahan baku yang signifikan, seperti minyak goreng bekas, limbah kehutanan, dan limbah makanan dari kota-kota.
Tetapi tidak ada kebijakan tingkat atas untuk mengembangkan sektor tersebut atau pasar yang berfungsi untuk mempromosikan produksi bahan bakar berkelanjutan atau dalam bahasa Inggris sering disingkat dengan SAFs. Sementara itu, terdapat hambatan yang signifikan terhadap investasi dan perluasan kapasitas, komersialisasi teknologi produksi SAFs.
Laporan dari Institut Energi Universitas Peking memperkirakan bahwa China saat ini dapat memproduksi 150.000 ton SAF melalui rute HEFA setiap tahun. Tetapi negara itu mengkonsumsi 26,47 juta ton bahan bakar penerbangan pada tahun 2021. Pasokan SAF sama sekali tidak mencukupi jika maskapai ingin mengurangi emisinya seperti yang direncanakan.
Namun, tidak mudah untuk menghasilkan SAFs. Sinopec Zhenhai Refining & Chemical Company (Zhenhai Refining) adalah perusahaan pertama di China yang secara serius mengembangkan dan memproduksi SAFs. Pertama kali diproduksi pada Juni 2022 dan peralatannya dapat memproses 100.000 ton minyak goreng bekas setiap tahun. Huang Aibin, kepala teknis Pengilangan Zhenhai, mengatakan bahwa biaya produksi tetap tinggi, pasokan bahan baku tidak stabil, dan permintaan bervariasi.
Bahan baku terbaik untuk proses HEFA, dari segi keberlanjutan, adalah minyak jelantah. Bahan bakar yang dihasilkan lebih murah dan memenuhi persyaratan keberlanjutan. Tidak ada masalah persaingan untuk persediaan makanan atau air, dan tidak ada masalah deforestasi atau keanekaragaman hayati.
Pabrik-pabrik China yang lebih besar dan lebih maju umumnya melakukan pra-proses minyak goreng bekas dan kemudian mengekspornya ke UE. Tingginya biaya transportasi dan pengolahan membuat biodiesel yang dibuat dari minyak goreng bekas harganya lebih mahal daripada solar standar.
Jika pemerintah tidak mensubsidi, tidak ada insentif bagi pembuat bahan bakar untuk membelinya. Itu sebabnya terlepas dari beberapa aplikasi terbatas sebagai bahan bakar atau bahan baku industri, sebagian besar biodiesel China diekspor ke UE.
China membebaskan biodiesel yang sesuai dengan standar nasional dari pajak konsumsi dan memberikan pengembalian 70% dari pajak pertambahan nilai untuk mendorong produsen biodiesel. Sebaliknya, tidak ada langkah-langkah dukungan yang ditargetkan telah dilembagakan di industri SAFs. Perusahaan kekurangan insentif untuk beralih ke produksi SAFs.
Menurut Huang Aibin, minyak jelantah mahal untuk diangkut, sehingga pemanfaatan lokal lebih menarik. Sinopec berencana untuk mendirikan pabrik regional, tetapi investasi lebih lanjut akan bergantung pada permintaan pasar: “Peralatan hanya akan menguntungkan jika kami mendapatkan pesanan rutin dari maskapai penerbangan.”
Administrasi Penerbangan Sipil China (CAAC) telah menetapkan target untuk konsumsi kumulatif SAF sebesar 50.000 ton pada tahun 2025. Pun demikian belum ada tanda-tanda bagaimana maskapai berencana untuk mencapainya. Seperti yang dikatakan laporan tersebut: “Maskapai penerbangan China sebagian besar dimiliki oleh negara dan hanya akan bertindak berdasarkan SAFs sebagai tanggapan terhadap kebijakan dan rencana Pemerintah pusat.”
Hingga saat ini, Air China, China Eastern, dan Hainan Airlines telah melakukan uji terbang menggunakan campuran bahan bakar konvensional dan SAF. Tapi ini tidak mengarah pada penggunaannya pada penerbangan komersial. Cathay Pacific Hong Kong lebih proaktif, mengatakan 10% bahan bakar penerbangannya akan berkelanjutan pada tahun 2030.
Bisnis Aviasi Tak Mungkin Lepas Murni dari BBM Fosil
IATA memperkirakan bahwa dunia bisnis aviasi membutuhkan 449 miliar liter (358 juta ton) SAsF untuk memenuhi 65% pada tahun 2050. Akan tetapi produksi pada tahun 2020 sebesar 50.000 ton, hanya 0,01% dari target tahun 2050.
Salah satu hambatan terbesar untuk produksi SAF adalah biaya. Menurut ICCT, berbagai proses memakan biaya dua hingga enam kali lipat dari bahan bakar jet konvensional.
Biaya bahan bakar mencapai 25–40% dari biaya operasional maskapai, sehingga beralih ke alternatif berkelanjutan akan berdampak signifikan. Maskapai mungkin lebih memilih untuk mengimbangi emisi karbon daripada menguranginya.
Selain itu, industri penerbangan masih dalam pemulihan dari dampak Covid-19 yang memangkas jumlah penumpang. Pada tahun 2021, sektor penerbangan Tiongkok mencatat 440 juta perjalanan – naik 5,5% pada tahun 2020, tetapi masih turun 33% pada tahun 2019. Maskapai menghadapi tekanan besar untuk bertahan, menghambat investasi dan promosi di SAF.
IATA mengakui industri penerbangan (bisnis aviasi) tidak akan dapat sepenuhnya menghilangkan emisi dari sumbernya dan perlu memitigasi sisanya dengan menggunakan berbagai mekanisme penyeimbangan.
Organisasi Penerbangan Sipil Internasional mengadopsi Skema Pengimbangan dan Pengurangan Karbon untuk Penerbangan Internasional (CORSIA) pada tahun 2016. Maskapai bisnis aviasi harus membeli penggantian kerugian pengurangan emisi dari sektor lain untuk mengkompensasi peningkatan emisi mereka sendiri di atas tingkat tahun 2020. Sebagai alternatif, mereka dapat menggunakan bahan bakar rendah karbon yang “memenuhi syarat CORSIA”.
Namun, keefektifan CORSIA sangat diragukan, karena tidak ada jaminan bahwa kredit karbon yang dibeli oleh maskapai penerbangan untuk mengimbangi emisi mereka akan berkualitas tinggi.
Investigasi pada tahun 2021 menemukan bahwa pasar kompensasi karbon perlindungan hutan yang digunakan oleh perusahaan bisnis aviasi (maskapai penerbangan) memiliki masalah kredibilitas yang signifikan, dengan para ahli memperingatkan bahwa sistem tersebut cacat dan dapat menghasilkan kredit tanpa manfaat iklim.
Disadur dari Chinadialogue.net