Lima hari usai Pemilu 2024, Presiden Joko Widodo bertemu dengan Ketua Umum Partai NasDem Surya Paloh di Istana. Pertemuan tersebut menggegerkan banyak pihak, mengingat Jokowi-Paloh yang pecah kongsi setelah bersama 10 tahun.
***
Politik adalah seni membelah dan menyatukan, berhadapan dengan siapa dan bergandengan dengan siapa tidak pernah lebih penting daripada kepentingan yang sedang diperjuangkan.
Tidak ada musuh abadi di sana yang ada hanya kepentingan, kepentingan dan kepentingan, demikian sering kita dengar pernyataan banyak orang untuk menggambarkan politik.
14 Februari berlalu, pencoblosan selesai para pihak yang yakin akan memenangkan pertarungan tentu mulai menghitung siapa teman yang harus tetap dijaga dan siapa lawan yang harus segera dirangkul.
Demikian juga sebaliknya yang merasa atau bahkan yang telah yakin akan kalah mulai mencari cara bagaimana caranya mengamankan kepentingannya dan siapa yang bisa dihubungi untuk menjembatani kembali kepentingan yang harus diselamatkan.
Mengucapkan selamat adalah sebuah pilihan yang elegan, tapi ada kepentingan yang harus diamankan dan dinegosiasikan sebelum kata selamat itu diucapkan.
Tentu secara prosedur proses Pilpres belum selesai, tapi para pihak pasti sudah punya kesimpulan, hanya para suporter (pendukung) yang masih menggantungkan harapan bahwa kamilah yang akan menang, para pelaku hanya sedang bersandiwara untuk menjaga animo penonton agar negosiasinya tetap diperhitungkan.
Kemarin 19 Februari, lima hari setelah pencoblosan kita disuguhkan oleh sebuah manuver epik antara dua sahabat, yakni Jokowi dengan Paloh yang telah berkongsi dan bersama sekian lama dari satu kepentingan ke kepentingan lainnya minimal dalam dua periode terakhir, bahkan mungkin jauh lebih lama dari itu.
Dalam kancah politik Indonesia dalam sepuluh tahun terakhir, Jokowi dan Paloh adalah dua sosok yang tidak bisa dipisahkan, Paloh adalah orang yang selalu berdiri tegak untuk mengatakan bahwa Jokowi adalah yang terbaik untuk Indonesia, dan ia telah membuktikannya bahwa ia selalu siap memperjuangkan Jokowi bahkan sebelum Megawati (Ketua Umum PDIP) mengambil keputusan.
Namun di depan layar kisah kasih di antara keduanya terlihat agak renggang menjelang Pilpres 2024. Paloh sebagaimana biasanya tidak pernah menunggu Komando siapapun untuk menunjukkan warnanya.
Setelah memastikan bahwa Jokowi tidak mungkin lagi dimajukan ke gelanggang pertarungan sebagai pemain, Paloh segera mengumumkan jagoan baru yaitu dengan mendeklarasikan Anies Baswedan sebagai andalan.
Langkahnya oleh banyak pihak dianggap terlalu berani dan beresiko, tapi bukan Surya Paloh namanya jika tidak berani.
Betapa tidak? Ia memilih mengusung sosok yang selama ini dicitrakan sebagai antitesis Jokowi, ya Anies adalah simbol dari harapan para pihak yang tidak senang dengan Jokowi setelah Prabowo memilih masuk ke Istana.
Diakui atau tidak itulah kenyataannya, ekses dari deklarasi itu Paloh pun dianggap sebagai “teman” yang durhaka, bahkan mungkin oleh Jokowi sekalipun.
Berbagai trik dan intrik kemudian satu persatu dipertontonkan di depan layar secara gamblang, meskipun begitu ada juga para pihak dan termasuk saya tidak pernah benar-benar percaya bahwa “permusuhan” antara keduanya benar-benar sungguhan.
Buktinya Paloh dengan skuadnya (baca menteri) tetap bertahan di dalam pemerintahan Jokowi, dan begitupun dengan Jokowi yang tidak pernah menunjukkan kesungguhan untuk “mengusir” Paloh dan gengnya dari Istana.
Baca juga: Panggil Surya Paloh ke Istana, Jokowi: Pertemuan Politik Biasa
Jokowi-Paloh: Siapa Mengundang Siapa?
Pertanyaan ini penting untuk dijawab agar kita bisa menerka kepentingan apa yang sedang diperjuangkan di balik pertemuan tersebut.
Ya, meski ada yang mencoba membantah, tapi sulit untuk meyakinkan kita bahwa tidak ada motif politik di balik pertemuan Jokowi dan Paloh, artinya pasti ada motif yang sedang disembunyikan, saya sebagai orang yang berada di luar gelanggang pertarungan mencoba menerka ada apa di balik pertemuan itu?
Dugaan pertama saya bahwa pertemuan itu diinisiasi oleh Jokowi.
Lalu untuk apa Jokowi “ingin” bertemu Paloh?
Pertemuan ini penting mengingat hasil quick count menunjukkan bahwa jagoan Jokowi berhasil mengalahkan andalan Paloh, dan jika itu benar maka Jokowi sebagai King Makernya Prabowo-Gibran perlu memastikan agar agar kemenangan Prabowo “tidak diganggu”.
Tentunya harapan selanjutnya adalah pemerintahan Prabowo ke depan mendapat dukungan maksimal dari sebanyak-banyaknya kekuatan politik yang ada, minimal tidak diganggu oleh mereka yang berpotensi menjadi pengganggu sebagaimana yang ia tunjukkan di periode kedua kekuasaannya.
Lalu kenapa Paloh? Kenapa tidak Megawati? Mengaca pada hasil QC maka yang paling berpotensi dan berbahaya jika dibiarkan tetap “bermusuhan” adalah Paloh sebagai orang nomor satu di kubu capres 01, yang sementara ini berada di urutan 2 sesuai dengan hasil QC.
Artinya jika Paloh tidak dirangkul maka jika nantinya ia mampu mengumpulkan kekuatan untuk memaksakan (terserah bagaimana caranya) agar Pilpres “terpaksa” berlangsung dua putaran.
Maka menjinakkan Paloh akan menjadi lebih sulit mengingat kans dia untuk bersatu dengan faksi-faksi politik di luar “kandang” Jokowi. Dan kemungkinan Paloh akan jadi pemenang semakin besar sehingga nilai tawar Paloh akan semakin tinggi dan ini akan menyulitkan Jokowi pada akhirnya.
Dugaan lain saya bahwa pertemuan itu diinisiasi oleh Paloh.
Lalu untuk apa Paloh “ingin” bertemu Jokowi? Tentu sebagai mantan teman (koalisi) sangat wajar jika Paloh mencoba mengamankan kepentingannya melalui Jokowi dengan memanfaatkan sisa-sisa romantisme keduanya dalam berkolaborasi selama dua periode terakhir.
Terlepas dari ada yang tidak sepakat namun yang harus diakui adalah berada di luar kekuasaan itu tidaklah enak. Apalagi bagi mereka yang sudah pernah, dan terbiasa merasakan betapa nikmatnya menjadi bagian dari kekuasaan.
Prediksi saya jika benar nantinya yang akan dilantik adalah Prabowo, maka yang akan tetap berani dan nekad bertahan di luar Istana hanyalah PKS dan PDIP.
Bagaimana menurut anda? Sepakat atau tidak sepakat pun anda saya tidak ambil pusing, yang penting negeri ini bisa lebih baik ke depan siapapun penguasanya dan siapapun rekan koalisinya.