Dalam bab Bayt al-Hikmah, Firsa Alkhateeb penulis buku Lost Islamic History; Reclaiming Muslim Civilisation From the Past, menceritakan tentang upaya Dinasti Abbasiyah dalam membangun peradaban. Peneliti sejarah Islam dari Universal School, Bridgeview, Illionois, mampu menghadirkan sebuah rekaman tentang keluhuran budi kekhalifahan Abbasiyah yang sangat memuliakan cendekiawan, serta memberikan mereka tempat terbaik.
Saya meyakini, bahwa, semua penggemar ilmu sejarah, terutama sejarah keemasan Islam, pasti mengetahui bahwa masa pemerintahan Khalifah Abbasiyah adalah zaman kegemilangan bagi ilmu pengetahuan Islam. Pada masa pemerintahan Al-Ma’mun, khalifah Abbasiyah ketujuh (813-833 Masehi), ilmu pengetahuan diberdayakan dengan luar biasa.
Al-Ma’mun berhasil mengumpulkan para ilmuwan dan cendekiawan terbaik dari wilayah Persia, India, Mesir, dan bekas wilayah Byzantium di Baghdad untuk mendorong kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini pertama kalinya terjadi sepanjang sejarah. Pada masa pra-Islam, tidak ada alasan bagi ilmuwan maupun cendekiawan dari Aleksandria untuk belajar maupun mengajar ke Ctesiphon.
Baca: Keadilan untuk Imam Masykur
Di bawah Abbasiyah, banyak pusat pembelajaran seperti perpustakaan, madrasah, dan observatorium ilmiah didirikan, menjadi landasan bagi kemajuan pengetahuan di dunia Muslim. Salah satu yang masyhur adalah didirikannya Bayt al-Hikmah (Rumah Kebijasanaan).
Bayt al-Hikmah yang dibangun di Baghdad ini menjadi salah satu pusat intelektual terbesar di dunia pada saat itu. Di sinilah dikumpulkan berbagai manuskrip dan teks-teks dari seluruh dunia semisal karya klasik Yunani, Persia, dan India untuk kemudian diterjemahkan ke dalam Bahasa Arab. Inilah salah satu pencetus revitalisasi dan penyebaran ilmu pengetahuan Islam di dunia.
Pada masa ini para ilmuwan dan cendikiawan benar-benar dihargai diberikan segala dukungan untuk mengembangkan pemikiran-pemikirannya. Jika ada seorang cendekiawan mampu menerjemahkan buku apapun dari bahasa asli ke Bahasa Arab, maka ia akan mendapat emas seberat buku itu. Tanpa membuat laporan yang njlimet. Tak ada kekangan administrasi seperti yang dihadapi para guru dan dosen yang ada di Indonesia saat ini.
Dengan segala hal-hal positif yang berada di lingkaran ilmu pengetahuan saat itu, maka munculnya orang-orang hebat dengan karya-karya besarnya adalah sebuah keniscayaan. Siapa yang tidak kenal Abu Ali al-Husayn ibn Abdullah ibn Sina atau yang lebih dikenal dengan Ibnu Sina (Avicenna) seorang polymath terkemuka pada abad ke-10 Masehi? Ibnu Sina menyumbangkan begitu banyak karya besar dalam berbagai disiplin ilmu, termasuk kedokteran, astronomi, matematika, dan filsafat. Salah satu karyanya yang paling terkenal adalah “Al-Qanun fi al-Tibb” (Canon of Medicine), sebuah ensiklopedia medis yang menjadi standar dalam dunia kedokteran selama berabad-abad.
Lain Ibnu Sina, lain pula Al-Hasan ibn al-Haytham, cendekiawan juga dikenal dengan nama Alhazen itu adalah seorang ahli matematika dan fisika yang hidup pada abad ke-10 Masehi. Dia dikenal karena karyanya dalam bidang optik dan pendirian metode ilmiah eksperimental. Salah satu karyanya, “Kitab al-Manazir” (The Book of Optics), adalah karya penting yang membahas tentang penglihatan, cermin, dan pembiasan cahaya. Alhazen menjadi salah satu tokoh penting dalam sejarah sains dan mempengaruhi perkembangan ilmu pengetahuan di Eropa.
Pada masa itu, orang-orang cerdas diterima dengan penuh penghargaan. Mereka diperlakukan dengan hormat, sehingga banyak karya yang membawa kemajuan peradaban lahir dalam jumlah yang begitu melimpah. Karya-karya ini bahkan menjadi dasar bagi perkembangan ilmu pengetahuan hingga saat ini. Salah satu kunci kegemilangan pada masa itu, selain kebijaksanaan pemerintahan dan visi pemikiran, adalah adanya pusat kajian seperti Bayt al-Hikmah. Saya membayangkan keberadaan Bayt al-Hikmah di Aceh, di mana orang-orang cerdas dari seluruh penjuru Aceh berkumpul untuk mencari solusi atas segala masalah yang sedang melilit provinsi termiskin di Sumatera ini.
Mengapa Aceh Butuh Rumah Bayt al-Hikmah?
Aceh, sebagai sebuah provinsi yang kaya sejarah dan kearifan lokal, dapat bermimpi memiliki sebuah wadah keilmuan seperti bayt al-hikmah. Tempat ini akan menjadi sarana untuk mengoptimalkan potensi para individu berbakat yang tersebar di seluruh Aceh. Hingga saat ini, masih banyak pemikiran-pemikiran bernas dari putra-putri Aceh yang belum dapat tersalurkan dengan baik, sehingga mereka belum memberikan manfaat bagi kemajuan Aceh. Fenomena ini juga menyebabkan Aceh sering kali dipandang sebagai daerah yang hidup segan, mati ditolak tanah.
Bayt al-hikmah nantinya dapat memberikan dampak yang positif sehingga mengurangi kecenderungan orang Aceh untuk terlalu aktif berdiskusi di media sosial alias “meu pep-pep” sebagai respons terhadap berbagai masalah sosial-budaya yang tak akan pernah habisnya. Aktivitas ini tidak hanya menghabiskan waktu dan kuota internet, tetapi juga belum memberikan kontribusi nyata bagi kemajuan Aceh. Kecuali untuk beberapa orang yang segera mendapatkan “SK” atau berubah titel dari “people out” menjadi “people in” setelah “mengkritik” pemerintah berepisode-episode di Facebook. Ditinjau dari kegemaran orang Aceh bermedia sosial, Aceh memang benar-benar butuh sebuah wahana intelektual untuk merubah kebiasaan kurang baik itu.
Dalam perspektif yang lebih serius, rumah kebijaksanaan dibutuhkan oleh Aceh karena ia berkonsepkan lebih dari sekadar pengetahuan dan kecerdasan. Ia meliputi kearifan dalam berpikir, bertindak, dan mengambil keputusan yang bijaksana.
Meskipun masa kejayaan Aceh terjadi di masa lalu, provinsi ini pernah memiliki banyak cendekiawan, pemikir, dan tokoh agama kharismatik. Rumah kebijaksanaan akan memungkinkan Aceh untuk melahirkan kembali pemikir, agamawan, dan intelektual berbakat yang dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan Aceh dan berpengaruh di tingkat nasional.
Selain itu, bayt al-hikmah diharapkan dapat menghidupkan kembali budaya dialektika dalam berbagai lapisan masyarakat. Misalnya, di lingkungan pendidikan, para cendekia akan saling berbalas karya dan riset demi kebaikan Aceh. Di masyarakat, budaya musyawarah akan menjadi nilai yang diutamakan dalam menyelesaikan masalah. Saat ini, budaya dialektika cenderung hilang dan digantikan oleh kecenderungan saling menyalahkan dan berdebat tanpa mencapai kesepakatan.
Lebih jauh lagi, bayt al-hikmah juga dibutuhkan sebagai tempat untuk belajar politik dan karakter bagi masyarakat Aceh. Tidak dapat disangkal bahwa peta politik Aceh saat ini sangat monoton dan tidak menunjukkan tanda-tanda kemajuan. Masalah ini semakin memburuk ketika melihat eksistensi partai politik lokal yang semakin kehilangan citra dan daya tariknya.
Meskipun jumlah partai politik lokal terus bertambah setiap pemilu, sayangnya, kekuatan mereka terlihat amatir dan kurang diminati oleh generasi muda Aceh. Sebagai akibatnya, politisi muda dan tokoh-tokoh cenderung memilih partai nasional daripada partai lokal sebagai kendaraan dalam mengikuti pemilu.
Situasi ini menjadi perhatian karena partai politik lokal seharusnya menjadi cermin khas Aceh yang dihargai dengan pengorbanan rakyat selama bertahun-tahun. Partai politik lokal seharusnya menjadi sarana politik yang menarik minat politisi muda Aceh dengan segala potensi yang dimilikinya ketimbang partai nasional. Semestinya partai politik lokal selalu menjadi pilihan paling menarik bagi para politisi Aceh ketika memasuki periode pemilu dibandingkan partai nasional. Sitasi ini menjadi bahan evaluasi bagi orang Aceh.
Dengan demikian, kehadiran bayt al-hikmah menjadi penting untuk menciptakan perubahan positif. Tempat ini akan menjadi sarana pembelajaran bagi politikus dan masyarakat Aceh untuk mengembangkan karakter yang lebih baik dan memperkaya pengalaman dalam arena politik. Bayt al-hikmah dapat menjadi rumah bagi nilai-nilai lokal dan tradisi partai politik Aceh yang harus dijaga dan dihidupkan kembali demi kebaikan Aceh.