Moderasi beragama merupakan kunci untuk merawat keberagaman di Indonesia. Islam memberikan ruang besar untuk wacana dan implementasinya.
Indonesia sebagai “kiblat dunia” dalam mengelola kerukunan beragama dan kemajemukan bangsa adalah cita-cita yang harus diwujudkan. Hasil riset sejumlah lembaga penelitian membuat kita masih harus mengelus dada, tidak berlebihan jika diumpamakan bagai api dalam sekam yang sewaktu-waktu dapat menunjukan hal-hal yang sangat mengkhawatirkan bagi kehidupan beragama.
Berikut ini data mengkhawatirkan itu:
Data yang dilansir pada laman https://ppim.uinjkt.ac.id/ bahwa sikap keterbukaan dan penghargaan terhadap perbedaan, termasuk terhadap kelompok minoritas dan marjinal masih lemah (PPIM, 2017, 2018; Wahid Institute, 2019). Kemudian merebaknya paham ekstremisme di kalangan Perguruan Tinggi/PT (Setara Institute, 2019).
Adanya fenomena eksklusivisme dalam buku teks pendidikan agama di kalangan PT Umum (PPIM, 2018).
Aktivis mahasiswa Muslim memiliki pemahaman keagamaan yang cenderung tertutup (CSRC, 2017).
Kegiatan keagamaan di lingkungan kampus mendorong tumbuh suburnya pandangan keagamaan yang eksklusif (CISForm, 2018).
Infiltrasi radikalisme dan ekstremisme di lingkungan kampus melalui masjid-masjid kampus (INFID, 2018).
39% mahasiswa pada tujuh PT Negeri terpapar paham radikalisme (BNPT, 2018).
Studi mutakhir dilakukakn pada tiga Perguruan Tinggi Keagamaan Negeri (UIN Jakarta, UIN Bandung dan UIN Yogyakarta) menunjukkan nilai empati eksternal dan internal yang tidak stabil di hampir semua kalangan, baik pada mahasiswa, dosen dan tenaga kependidikan. (PPIM, 2021).
Bahkan dikutip dari www.kompas.tv 20/7/2022, BNPT menyebut 33 Juta penduduk Indonesia telah terpapar radilkalisme.
Temuan-temuan di atas mengindikasikan penting dan mendesaknya implementasi moderasi beragama. Perpres nomor 18 tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2020-2024 yang menempatkan moderasi beragama sebagai program prioritas, merupakan bentuk keseriusan pemerintah menuju implenmentasi moderasi beragama pada seluruh kementrian dan lembaga.
Moderasi beragama merupakan sikap, cara pandang dan perilaku yang tasāmuh (toleran), tawassuth (tengahan), tawāzun (berkeseimbangan), i’tidāl (lurus dan tegas), musāwah (egaliter), dan syurā (musyawarah).
Moderat atau tidaknya seseorang/kelompok dapat diukur dari empat indikator dasar moderasi beragama, yaitu, pertama, komitmen kebangsaan untuk melihat sejauh mana cara pandang dan ekspresi keagamaan seseorang atau kelompok tertentu terhadap ideologi kebangsaan, terutama komitmen menerima Pancasila sebagai dasar bernegara.
Indikator kedua adalah toleransi sebagai sikap untuk memberi ruang dan tidak mengganggu orang lain dalam beragama dan mengekspresikannya serta menunjukkan pemahaman yang positif meskipun berbeda dengan yang diyakini.
Ketiga, anti terhadap kekerasan dalam konteks moderasi beragama, yang dimaknai sebagai sikap dan ekspresi yang muncul dari ideologi dan pemahaman yang cenderung ingin melakukan perubahan dalam tatanan kehidupan sosial masyarakat dan politik dengan cara-cara kekerasan fisik maupun non-fisik. Seperti menuduh sesat kepada individu maupun kelompok masyarakat yang berbeda paham keagamaan tanpa argumentasi teologis yang benar.
Keempat, akomodatif terhadap budaya lokal sebagai hasil kreasi manusia yang dapat berubah sesuai kebutuhan hidup manusia itu sendiri, sehingga antara agama dan budaya dijembatani agar kedunya tidak saling berbenturan.
Hak Beragama dan Berkeyakinan
Universal Declaration of Human Rights (UDHR) 1948 memberikan rambu-rambu dalam aspek beragama dan berkeyakinan. Pasal 18 deklarasi ini disebutkan “Setiap orang berhak atas kemerdekaan berpikir, beragama dan berkeyakinan; hak ini mencakup kebebasan untuk berganti agama atau kepercayaan, dan kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya dalam kegiatan pengajaran, peribadatan, pemujaan dan ketaatan, baik sendiri maupun bersama-sama dengan orang lain, di muka umum maupun secara pribadi.”
Dengan demikian jaminan terhadap ekpresi beragama dan berkeyakinan adalah sasatu yang tidak seharusnya menjadi bahan perdebatan paanjang hingga konflik.
Dalam konstitusi Indonesia juga dapat ditemukan hal yang sama terkait penghormatan, perlindungan dan pemenuhaan keberagamaan. Misalnya dalam Undang Undang Dasar (UUD 1945), pasal 28E angka 1 dan 2 disebutkan “Setiap orang bebas memeluk agama dan beribadat menurut agamanya; Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai Negara dengan nuraninya”.
Sedangkan pada pasal 29 angka 2 juga dinyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.”
Pasal 29 dan pasal 28E di atas jelas saling menguatkan satu sama lain, bahwa setiap orang yang berbeda agama dan kepercayaan dalam wilayah Indonesia telah dijamin kemerdekaaannya untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya.
Dengan demikian, hak beragama dan berkeyakinan merupakan salah satu hak yang bersifat mutlak yang tidak dapat dikurang-kurangi dalam keadaaan apapun (non-derogable rights), lain halnya dengan derogable rights atau hak yang dapat dikurangi atau dibatasi pemenuhannya oleh negara dalam keadaan tertentu.
Hak yang tidak dapat dikurang-kurangi dalam keadaan apa pun dijelakan dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945 yang meliputi: “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui sebagai pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut.”
Pada penjelasan Pasal 4 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan “dalam keadaan apa pun” termasuk keadaan perang, sengketa bersenjata, dan atau keadaan darurat.
Memang, jika dicari pembatasan dalam hal beragama dan berkeyakinan tentu ada, misalnya seperti dalam International Covenant on Civil and Political Rights/ICCPR yang telah diratifikasi melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005, Pasal 18 Ayat (3) dinyatakan “Kebebasan untuk menjalankan agama atau kepercayaannya, seseorang hanya dapat dibatasi oleh ketentuan hukum, yang diperlukan untuk melindungi keamanan, ketertiban, kesehatan atau moral masyarakat atau hak dan kebebasan mendasar orang lain”.
Pembatasan itu juga disebutkan dalam UDHR Pasal 29 Ayat (2), dan Pasal 1 Ayat (3) Deklarasi PBB tentang Penghapusan segala Bentuk Diskriminasi Berdasarkan Agama dan Kepercayaan Tahun 1981, serta Konvensi tentang Hak-Hak Anak dalam Pasal 14 ayat (3). Akan tetapi pembatasan tersebut tidak dilakukan dengan serta merta, melainkan melalui tahapan-tahapan tertentu yang demokratis.
Teologi Islam Moderasi Beragama
Klaim kebenaran (truth claim) terdapat dalam semua agama dan kepercayaan, akan tetapi masih dapat dijadikan untuk menerima perbedaan dan tidak memaksakan agama seseorang kepada yang lain, karena keyakinan atas kebenaran terhadap agama adalah bagian yang paling personal, individual, eksklusif, tersembunyi dari manusia, karena itu tidak ada kekuatan apapun selain kekuasaan Allah saja yang bisa memaksakannya.
Nabi Muhammad sekalipun tidak bisa memaksa siapapun agar mengikuti ajarannya (Q.S. al-Ghasyiah: 22), (Q.S. Yunus: 99), sedangkan pada ayat lain, Allah melarang umat Islam mencaci maki sesembahan pemeluk agama lain (Q.S. al-An’am: 108).
Paradigma Alquran tentang keyakinan dan kepemelukan agama yang bersifat personal dan tidak dapat dipaksakan kepada siapapun, menjadi salah satu inti ajaran Islam yang luhur dalam membina hubungan harmonis dan rukun antar sesama manusia.
Karena itu dengan tegas Allah menyebutkan “Tidak ada paksaan dalam memasuki agama (Q.S. al-Baqarah: 256). Hal ini mengindikasikan bahwa tidak boleh ada paksaan bagi seseorang dalam memeluk suatu agama biarlah kerelaan hati nuraninya sendiri yang menyatakan imannya di hadapan Allah.
Argumentasi Alquran dalam hal menganut agama dan kepercayaan dapat dikelompokkan ke dalam tiga bagian, ini tentu juga berlaku dalam hal penganut mazhab, aliran, dan organisasi keagamaan sebagaimana adanya di Indonesia saat ini.
Pertama, ayat-ayat yang menyatakan bahwa setiap individu diberi kebebasan untuk memilih keimanan atau kekufuran dengan konsekuensinya masing-masing seperti yang disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur’an berikut ini: Q.S. al-Baqarah: 256, Q.S. al-Kahf: 29, Q.S. al-Rum: 44-45, Q.S. Yunus: 108, Q.S. al-Isra’: 15 dan Q.S. Fathir: 39.
Kedua, Nabi Muhammad hanya diberi tugas sebagai penyampai ajaran Allah, pemberi kabar gembira dan peringatan, beliau tidak diberi hak untuk memaksa orang lain untuk mengikuti agamanya, sebagaimana terdapat dalam Q.S. al-Ma’idah: 99, Q.S. al-Ra’d: 40, Q.S. Qaf: 45, Q.S. al-Syura: 6, Q.S. Yunus: 41.
Ketiga, memberikan petunjuk (hidayah) dan menyesatkan manusia hanya menjadi hak Allah saja, bukan hak termasuk para Nabi dan Rasul. Sejumlah ayat seperti Q.S. al-Baqarah: 272, Q.S. Yunus: 99-100, Q.S. al-Qashash: 56.
Jadi terkait penentuan pilihan untuk menganut agama atau berkeyakinan merupakan bagian tak terpisahkan dari hak asasi manusia yang seharusnya dihormati, dilindungi dan dipenuhi oleh semua kalangan baik negara maupun masyarakat.
Secara normatif, mulai dari instrumen internasional hingga peraturan perundang-undangan di Indonesia telah sangat baik dijelaskan. Begitu juga dalam landasan teologis Islam telah memberikan argumentasi yang memadai akan pentingnya mengedapankan sikap moderasi beragama untuk merawat kerukunan dan perdamaian.
Intoleransi, radikalisme, terorisme dan sejumlah pelanggaran HAM lainnya terkait dengan agama dan kepercayaan kiranya tidak terulang di manapun dan kapanpun agar masa depan kehidupan beragama di Indonesia lebih baik. Wallahu a’alam
Penulis adalah pegiat moderasi beragama STAIN Meulaboh-Aceh Barat.