Membangun Sikap Intoleransi Terhadap Pelaku KDRT

Siti Arifa Diana mengajak semua orang membangun sikap intoleransi terhadap pelaku KDRT. Foto: Doc. penulis.
Siti Arifa Diana mengajak semua orang membangun sikap intoleransi terhadap pelaku KDRT. Foto: Doc. penulis.

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) –termasuk kekerasan lainnya terhadap perempuan—masih menjadi diskusi sekaligus masalah global. Di Indonesia, KDRT menjadi persoalan rumit, karena mansyarakatnya masih melihat itu sebagai persoalan privasi—internal keluarga.

Kesenjangan ini diperparah oleh sikap pelaku KDRT yang kerap berlindung di balik norma tertentu untuk dapat menghindar dari jeratan hukum yang akan mengadilinya. Ironinya, perempuan atau isteri dalam peran di keluarga hanya takluk pada konstruksi norma itu sendiri. Cenderung menerima eksploitasi serta domestifikasi dengan ikhlas terhadap apa yang terjadi padanya, dan menganggap bentuk kekerasan merupakan persoalan keluarga yang konotasinya aib bila digembar–gembor ke publik.

Baca juga: Seorang Ayah di Depok Tabrak Anak dan Mantan Istri

Baru-baru ini Isu KDRT kembali menyeruak dan menjadi perbincangan hangat di publik, setelah munculnya berita yang menyorot artis Lesti Kejora atas kasus KDRT yang menimpanya, dan pelaku adalah suaminya sendiri; Rizki Billar. Tidak seperti yang diharapkan atas penyelesaian secara hukum, justeru pada endingnya kasus KDRT ini hanya berhenti pada titik pencabutan laporan oleh Lesti sendiri.

Tidak heran berbagai pihak ikut kecewa atas keputusan tersebut. Pasalnya korban membuat klarifikasi bahwa KDRT yang menimpa sang artis adalah persoalan rumah tangganya, bukan bagian dari kepentingan publik. Atas sikap tersebut banyak kalangan bersuara, dan menekankan bahwa setiap wujud kekerasan merujuk dalam aspek apa pun baik itu dalam lingkup rumah tangga adalah menjadi urusan publik. 

KDRT, Kekerasan & Perempuan

Sejatinya kekerasan dapat terjadi dalam situasi apa pun termasuk di luar kehidupan rumah tangga. Kekerasan dalam lingkup akademis, antara senior dan junior misalnya, bullying yang mengarah pada bentuk anarki terhadap teman sebaya, kekerasan dalam instansi atau lingkungan kerja, majikan dengan ART, hubungan asmara dan lain-lain. Dalam situasi yang berbeda kekerasan dapat dialami oleh siapa saja, tidak dibatasi oleh gender baik laki-laki maupun perempuan.

Namun pertanyaannya, antara laki-laki dan perempuan mana yang lebih rentan akan risiko tindak kekerasan itu sendiri? Jawabannya perempuan. Hal ini didukung oleh data dari KemenPPPA, bahwa setidaknya terdapat laporan tentang kasus kekerasan di Indonesia sebanyak 18.261 hingga oktober 2022. Data ini merupakan laporan kasus KDRT, 79,5 % atau 16.745 korbannya adalah perempuan.

Melihat kondisi ini, tampaknya kita semua merasa bahwa KDRT merupakan suatu penyakit kronis akibat masih kentalnya dominasi gender yang melekat pada pokok persoalan  sosio-kultural dalam kehidupan bermasyarakat. Salah satu yang paling dominan adalah pengaruh kultur patriarki.

Meskipun tahun 2022 literasi dan aksi serta kebijakan mengenai penyelesaian KDRT cukup banyak dilakukan, namun ibarat fenomena gunung es, korban kekerasan dalam rumah tangga tak berhenti berjatuhan.

Dalam masyarakat kita laki-laki dianggap sebagai orang yang lebih memiliki otoritas, kontrol, dan dominasi terhadap perempuan. Padahal kita ketahui sendiri tidak semua laki-laki itu cakap dan bijak untuk memimpin keluarga. Bahkan jika pendidikan, moral atau attitude-nya saja masih  perlu dipertanyakan.

Apalagi jika otoritas yang ada disalahgunakan dengan tindakan-tindakan melukai fisik, seperti memukul, menampar atau membanting dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya kepada pasangan. Bertambah banyak hal yang harus digugat. Belum lagi jika perlakuan suami itu sendiri malah menyalah aturan sakral dalam rumah tangga itu sendiri, misalnya berselingkuh, penelantaran ekonomi maupun pemaksaan seksual dan lain-lain.

Dalam banyak kasus KDRT yang tadinya menjadi PR bagi pihak berwenang untuk menuntaskan ke meja pengadilan, pada akhirnya berakhir dalam kesepakatan dan perdamaian secara kekeluargaan. Sebagian beranggapan bahwa membawa kasus sampai ke peradilan hanya akan menambah data Komnas HAM akan kasus kekerasan terhadap perempuan. Karena meskipun permasalahan tersebut dapat diselesaikan dengan jalur perceraian, di mata masyarakat hal ini masih sangatlah tabu dan sulit dilakukan meskipun legalitas hukumnya jelas.

Di negeri ini, lelaki selalu mendapatkan pemaafan, konon lagi bila dikaitkan dengan cinta. Perempuan kita memiliki energi super besar memaafkan atas nama cinta. Meksipun kita tahu bahwa sikap yang demikian merupakan “racun berbisa”, tapi demikianlah adanya.

Bagaimana Sikap Kita?

Ada sebuah kisah miris yang dialami oleh kerabat kenalan saya. Si perempuan dihajar oleh suaminya, hanya karena menitipkan anaknya sebentar kepada suami, karena ia harus ke belakang buang air besar. Ibu muda itu dipukul menggunakan penutup panci.

Penyebab kemarahan sang suami, Ketika si istri menitipkan anaknya yang masih bayi, sang suami sedang asyik bermain game online. Dia baru sadar ada anaknya di samping, Ketika sang bayi nyaris memakan obat anti nyamuk.

Si istri hanya menerima saja Ketika dipukuli oleh suaminya. Ia tidak punya tempat mengadu karena kedua orangtuanya telah tiada. Ia takut akan ditinggalkan oleh si suami, bila dirinya melawan.

Di sisi lain, kerabat mereka juga menasihati agar kasus KDRT itu tidak dilaporkan kepada siapapun. Sudah jatuh tertimpa tangga, kaki luka kena beling. Demikian perumpamaan tepat menggambarkan nasib si wanita.

Lalu bagaimana jika kita berada di posisi mendengar langsung pengakuan tersebut? Seperti apa sikap kita bila mendengar ada teriakan tak lazim dari rumah tetangga seperti orang yang sedang disiksa oleh suaminya? Bagaimana sikap kita andaikan berkesempatan melihat saudara atau teman kita dengan kondisi memar, dan lebam di wajahnya? Apakah sekadar bertanya? Ataukah ada aksi lebih lanjut?

Menyalahkan korban mengapa mereka tidak move on dari kehidupan keluarga yang buruk, tentu bukan solusi. Mereka serba salah karena berbagai macam alasan. Kita harus hadir memberikan pengertian, memberikan solusi, sekaligus memberikan kekuatan, bahwa kekerasan atas nama apa pun tidak pernah diajarkan di dalam keyakinan beragama.

Mereka harus diyakinkan bahwa istri bukan sparing partner suami berlatih tinju. Mereka bukan objek meluapkan kekesalan. Mereka harus diberitahu bahwa istri merupakan “bidadari” yang harus dihormati, disayangi, dibela, dan dicintai.

Kita harus hadir; wajib peduli, karena sesbuah kesalahan bila dibiarkan, akan berkembang seperti virus. Ditiru oleh anak laki-laki, dan diamini oleh anak perempuan; bahwa laki-laki bisa berbuat apa pun, perempuan bisa diperlakukan seperti apa pun.

Mari kita membangun sikap intoleransi terhadap kekerasan, termasuk KDRT.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here