Maulid Nabi, Sejarah dan Hukumnya

Perayaan Maulid Nabi Muhammad Saw di Aceh berlangsung selama tiga bulan. Baik yang digelar secara sederhana maupun dengan gegap gempita. Dalam gambar merupakan perayaan Maulid Nabi Muhammad yang diselenggarakan oleh sebuah kelompok zikir. Foto: Serambi Indonesia/Budi Fatria.

Sejarah perayaan maulid Nabi Muhammad pertama kali dilaksanakan pada zaman Daulah Fatimiyah di Mesir. Demikian dicatat oleh al-Maqrizy dalam kitabnya Al-Khathat. Karena Dinasti Fatimiyah merupakan penganut Syiah, maka ulama seperti Tajuddin al Fakihani dan as Sakhawi–murid Imam Nawawi– berfatwa bahwa perayaan Maulid adalah bid’ah tercela.Pernyataan itu disampaikan Tajuddin dalam Taj Al-Din Al-Fakihani, The Mawlid Is a Bidah Not Practised by the Salaf.

Pun demikian, tulisan tentang Dinasti Fatimiyah sebagai pencetus maulid Nabi Muhammad, bukan data final. Encyclopedia of Islam, Second Edition, menyebutkan Abu al-Abbas al-Azafi atau selengkapnya Abu al-Abbas Ahmad abu Abdallah Muhammad ibn Ahmad al-Lakhmi al-Sabti (1162–1236) dinyatakan sebagai pencetus peringatan maulid Baginda Rasul.

Abu al-Abbas al-Azafi adalah seorang sarjana hukum dan agama dan anggota Banu al-Azafi yang memerintah Ceuta pada abad ke-13. Al-Azafi adalah seorang ahli dalam analisis tradisi lisan (riwaya wa diraya).

Baca juga: Pantai Lampuuk, Wisata 1000 Pesona

Karyanya yang paling penting adalah Kitab ad-durr al-munazzam fi i ‘l-mawlid al-mu’azzam. Al-Azafi menetapkan kebiasaan merayakan Maulid di Ceuta. Putranya Abu’l-Qasim menyebarkannya ke seluruh Maghreb. Sang putra –setelah meninggalnya sang cendekia muslim–melanjutkan kebiasaan yang dilakukan oleh ayahnya.

Para ahli sejarah, seperti Ibn Khallikan, Sibth Ibn Al-Jauzi, Ibn Kathir, Al-Hafizh Al-Sakhawi, Al-Hafizh Al-Suyuthi dan lainnya telah sepakat menyatakan bahwa orang yang pertama kali mengadakan peringatan maulid adalah Sultan Al-Muzhaffar.

Namun juga terdapat pihak lain yang mengatakan bahwa Sultan Salahuddin Al-Ayyubi adalah orang yang pertama kali mengadakan Maulid Nabi. Dalam kitab Majmu Al Fatawa disebutkan Sultan Salahuddin pada kala itu membuat perayaan Maulid dengan tujuan membangkitkan semangat umat Islam yang telah padam untuk kembali berjihad dalam membela Islam pada masa Perang Salib.

Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

صَلَاحِ الدِّينِ الَّذِي فَتَحَ مِصْرَ ؛ فَأَزَالَ عَنْهَا دَعْوَةَ العبيديين مِنْ الْقَرَامِطَةِ الْبَاطِنِيَّةِ وَأَظْهَرَ فِيهَا شَرَائِعَ الْإِسْلَامِ

Artinya:

Shalahuddin-lah yang menaklukkan Mesir. Dia menghapus dakwah Ubaidiyyun yang menganut aliran Qoromithoh Bathiniyyah (aliran yang jelas sesatnya, pen). Shalahuddin-lah yang menghidupkan syariat Islam di kala itu.

Dalam perkataan lainnya, Ahmad bin ‘Abdul Halim Al Haroni rahimahullah mengatakan,

فَتَحَهَا مُلُوكُ السُّنَّة مِثْلُ صَلَاحِ الدِّينِ وَظَهَرَتْ فِيهَا كَلِمَةُ السُّنَّةِ الْمُخَالِفَةُ لِلرَّافِضَةِ ثُمَّ صَارَ الْعِلْمُ وَالسُّنَّةُ يَكْثُرُ بِهَا وَيَظْهَرُ

Artinya:

Negeri Mesir kemudian ditaklukkan oleh raja yang berpegang teguh dengan Sunnah yaitu Shalahuddin. Dia yang menampakkan ajaran Nabi yang shahih di kala itu, berseberangan dengan ajaran Rafidhah (Syiah). Pada masa dia, akhirnya ilmu dan ajaran Nabi shallallahu alaihi wa sallam semakin terbesar luas.

Warga sedang membagikan hidangan maulid nabi di Gampong Dayah Mon Ara, kembang Tanjong, Pidie, Sabtu (8/10/2022). Foto dikutip dari Facebook Tunn Masthur Yahya.
Warga sedang membagikan hidangan maulid nabi di Gampong Dayah Mon Ara, kembang Tanjong, Pidie, Sabtu (8/10/2022). Foto dikutip dari Facebook Tunn Masthur Yahya.

Pendapat Ulama Tentang Maulid Nabi

Al-Imam al-Suyuthi dari kalangan ulama’ Syafi’iyyah mengatakan:

هُوَ مِنَ الْبِدَعِ الْحَسَنَةِ الَّتِيْ يُثَابُ عَلَيْهَا صَاحِبُهَا لِمَا فِيْهِ مِنْ تَعْظِيْمِ قَدْرِ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَإِظْهَارِ الْفَرَحِ وَالْاِسْتِبْشَارِ بِمَوْلِدِهِ الشَّرِيْفِ

Perayaan maulid termasuk bidah yang baik, pelakunya mendapat pahala. Sebab di dalamnya terdapat sisi mengagungkan derajat Nabi Saw dan menampakan kegembiraan dengan waktu dilahirkannya Rasulullah Saw.

Dalam kesempatan yang lain, beliau mengatakan:

يُسْتَحَبُّ لَنَا إِظْهَارُ الشُّكْرِ بِمَوْلِدِهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ وَالْاِجْتِمَاعُ وَإِطْعَامُ الطَّعَامِ وَنَحْوُ ذَلِكَ مِنْ وُجُوْهِ الْقُرُبَاتِ وَإِظْهَارِ الْمَسَرَّاتِ

Sunah bagi kami untuk memperlihatkan rasa syukur dengan cara memperingati maulid Rasulullah Saw, berkumpul, membagikan makanan dan beberapa hal lain dari berbagai macam bentuk ibadah dan luapan kegembiraan.

Dari kalangan Hanafiyyah, Syaikh Ibnu ‘Abidin mengatakan:

اِعْلَمْ أَنَّ مِنَ الْبِدَعِ الْمَحْمُوْدَةِ عَمَلَ الْمَوْلِدِ الشَّرِيْفِ مِنَ الشَّهْرِ الَّذِيْ وُلِدَ فِيْهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ

Ketahuilah bahwa salah satu bidah yang terpuji adalah perayaan maulid Nabi pada bulan dilahirkan Rasulullah Muhammad Saw.  

Bahkan setiap tempat yang di dalamnya dibacakan sejarah hidup Nabi Saw, akan dikelilingi malaikat dan dipenuhi rahmat serta ridla Allah Swt.

Al-Imam Ibnu al-Haj ulama’ dari kalangan madzhab Maliki mengatakan:

مَا مِنْ بَيْتٍ أَوْ مَحَلٍّ أَوْ مَسْجِدٍ قُرِئَ  فِيْهِ مَوْلِدُ النَّبِيِّ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ إِلَّا حَفَّتِ الْمَلاَئِكَةُ أَهْلَ ذَلِكَ الْمَكَانِ وَعَمَّهُمُ اللهُ تَعَالَى بِالرَّحْمَةِ وَالرِّضْوَانِ

Tidaklah suatu rumah atau tempat yang di dalamnya dibacakan maulid Nabi Saw, kecuali malaikat mengelilingi penghuni tempat tersebut dan Allah memberi mereka limpahan rahmat dan keridhaan.

Al-Imam Ibnu Taimiyyah dari kalangan madzhab Hanbali mengatakan:   فَتَعْظِيْمُ الْمَوْلِدِ وَاتِّخَاذُهُ مَوْسِمًا قَدْ يَفْعَلُهُ بَعْضُ النَّاسِ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ عَظِيْمٌ لِحُسْنِ قَصْدِهِ وَتَعْظِيْمِهِ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَآلِهِ وَسَلَّمَ

Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai hari raya telah dilakukan oleh sebagian manusia dan mereka mendapat pahala besar atas tradisi tersebut, karena niat baiknya dan karena telah mengagungkan Rasulullah Saw.

Bahkan merayakan maulid Nabi bisa menjadi wajib bila menjadi sarana dakwah yang efektif untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang terdapat banyak kemunkaran. Al-Syaikh al-Mubasyir al-Tharazi menegaskan:

إِنَّ الْاِحْتِفَالَ بِذِكْرَى الْمَوْلِدِ النَّبَوِيِّ الشَّرِيْفِ أَصْبَحَ وَاجِبَا أَسَاسِيًّا لِمُوَاجَهَةِ مَا اسْتُجِدَّ مِنَ الْاِحْتِفَالَاتِ الضَّارَّةِ فِيْ هَذِهِ الْأَيَّامِ.

Sesungguhnya perayaan maulid Nabi menjadi wajib yang bersifat siyasat untuk menandingi perayaan-perayaan lain yang membahayakan pada hari ini.

 Disitat dari: Taj Al-Din Al-Fakihani (D. 734H): The Mawlid Is a Bidah Not Practised by the Salaf, Majmu Al Fatawa, Encyclopedia of Islam, Second Edition,NU Online.

 

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here