Komparatif.ID, Banda Aceh— Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) meminta Dinas Pendidikan (Disdik) Aceh tidak membayar tunggakan pengadaan alat peraga dan praktik sekolah (mobiler) tahun anggaran 2019.
Berdasarkan analisis dokumen yang dilakukan MaTA, pengadaan tersebut diduga sarat masalah dan berpotensi merugikan keuangan daerah. MaTA menyebut sejak awal telah mengingatkan agar paket ini tidak dibayarkan sebelum dilakukan audit.
“Kami saat itu sudah pernah mengingatkan Pemerintah Aceh paket tersebut tidak bisa dibayar sebelum ada audit atas pengadaan tersebut mengingat paket tersebut ada akibat terjadi konflik kepentingan di level Gubernur saat itu,” ungkap Koordinator MaTA, Alfia, Senin (6/1/2025).
MaTA merincikan pengadaan yang bersumber dari APBA Perubahan 2019 tersebut melibatkan empat penyedia, yaitu PT. Astra Graphia Xprins Indonesia, PT. Karya Mitra Seraya, PT. Apsara Tiyasa Sambada, dan PT. Tri Kreasindo Mandiri Sentosa.
Alfian menuturukan pada 2020, Kepala Dinas Pendidikan Aceh saat itu, Rahmat Fitri, mengajukan permohonan pembayaran tunggakan sebesar Rp95,3 miliar kepada Sekda Aceh.
Namun, permohonan ini ia duga muncul akibat tekanan dari pihak tertentu serta adanya refocusing anggaran yang mencurigakan. Berdasarkan Pergub Nomor 38 Tahun 2020, alokasi belanja modal untuk pengadaan alat peraga atau praktik sekolah melonjak tajam dari Rp1,2 miliar menjadi Rp103,7 miliar.
Baca juga: GeRAK dan MaTA Dukung Pansus Tambang Dilanjutkan
Kenaikan signifikan ini diduga bertujuan untuk membayar paket pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu. Meski begitu, pembayaran tunggakan akhirnya batal dilakukan pada saat itu.
Situasi kembali memanas pada 2024, ketika PT. Tri Kreasindo Mandiri Sentosa mengirimkan surat permohonan pembayaran kepada Kepala Dinas Pendidikan Aceh. Dalam surat tersebut, perusahaan mengklaim telah menyelesaikan beberapa paket pekerjaan senilai total Rp33,7 miliar, termasuk pengadaan alat media pembelajaran untuk SMA/SMK dan server UNBK.
Namun, Alfian menduga pekerjaan tersebut sebenarnya tidak selesai tepat waktu. Dugaan ini diperkuat oleh laporan review Inspektorat Aceh yang menyebutkan sisa pembayaran sebesar Rp44,3 miliar, termasuk nilai pokok dan bunga Rp10 miliar.
MaTA mempertanyakan langkah Inspektorat Aceh yang hanya melakukan review tanpa terlebih dahulu melaksanakan audit investigasi.
Hal ini dianggap tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti Perpres No. 16 Tahun 2018 tentang Pengadaan Barang dan Jasa serta Peraturan LKPP No. 9 Tahun 2018.
MaTA menilai pembayaran untuk pekerjaan yang tidak selesai tepat waktu tidak seharusnya dilakukan. Bahkan menurutnya mantan Kepala Dinas Pendidikan Aceh, Rahmat Fitri, pernah mengatakan pihaknya tidak akan membayar penyedia yang gagal menyelesaikan pekerjaan hingga Desember 2019.
MaTA mendesak Penjabat Gubernur Aceh untuk memastikan tidak ada pembayaran atas pengadaan tersebut. Selain itu, Alfian juga meminta Kepala Dinas Pendidikan Aceh saat ini untuk menolak pembayaran kepada penyedia yang tidak memenuhi kewajiban kontraktualnya.
Ia juga meminta Kejaksaan Tinggi Aceh untuk menyelidiki motif di balik review yang dilakukan Inspektorat Aceh. Langkah ini dinilai penting untuk memberikan kepastian hukum terkait rencana pembayaran yang mencurigakan.