Masa Depan Pendidikan Dayah di Tengah Dominasi AI

Masa Depan Pendidikan Dayah di Tengah Dominasi Teknologi AI
Tgk. Muhammad Razi, MCL, Dosen Ilmu Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) Nahdlatul Ulama Aceh. Foto: HO for Komparatif.ID.

Perang AI semakin terbuka luas, ChatGPT (AS), Llama (AS), Qwen (China), dan Deepseek (China) semakin gencar merebut pasar masing-masing. Pendidikan Islam telah menjadi pilar utama dalam membangun peradaban umat Muslim (Tharaba M. Fahim, 2019). Salah satu lembaga yang punya otoritas menyelenggarakan pendidikan agama islam adalah Dayah (Qanun Aceh No 9 Tahun 2018 mengatur tentang penyelenggaraan pendidikan dayah). 

Dayah adalah satu lembaga pendidikan Islam yang berbasis masyarakat dan dipimpin oleh seorang ulama mengajarkan kitab turats (kitab kuning) yang mu’tabar dalam pemahaman Ahlussunnah Wal Jama’ah (asy’ariyyah/maturidiyyah) kepada santri-santri yang menetap atau pemondokan bagi thullab atau thalabahnya. 

Namun, di tengah pesatnya perkembangan teknologi kecerdasan buatan (Artificial Intelligence atau AI), muncul pertanyaan besar: bagaimana masa depan pendidikan dayah menghadapi era digital ini?

Akankah teknologi AI menggantikan peran guru dan ulama, atau justru menjadi alat untuk memperkaya metode pembelajaran Islam?

AI dalam Pendidikan Islam: Ancaman atau Peluang?

AI saat ini telah merambah berbagai sektor, termasuk pendidikan. Berbagai platform berbasis AI mampu menyediakan akses cepat terhadap tafsir Al-Qur’an, hadits, serta kajian keislaman lainnya dari berbagai ulama di seluruh dunia. Namun, apakah AI bisa menggantikan peran seorang guru atau ulama dalam mendidik umat?

Di satu sisi, AI menawarkan kemudahan dalam belajar. Aplikasi seperti chatbot berbasis AI dapat menjawab pertanyaan seputar Islam dalam hitungan detik. Teknologi ini juga dapat membantu para santri dan mahasiswa dalam memahami kitab-kitab klasik dengan lebih efisien melalui terjemahan otomatis dan penjelasan berbasis data.

Namun, di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa AI dapat menggantikan peran manusia dalam mendidik akhlak dan nilai-nilai spiritual. Pendidikan Islam tidak hanya tentang transfer ilmu, tetapi juga tentang pembentukan karakter, adab, dan keberkahan dalam menuntut ilmu—hal yang sulit diajarkan oleh mesin.

Cara ini sudah dipraktekkan ratusan tahun lalu (pada masa salafus shalih dikenal dengan zawiyyah) sampai sekarang terutama di dayah atau pesantren yang ada di Indonesia.

Dinamika Pembelajaran Islam di Era AI

Seiring berkembangnya teknologi, metode pembelajaran Islam juga harus beradaptasi. Beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan dalam pendidikan Islam dengan kehadiran AI antara lain:

  1. Akses Ilmu yang Lebih Luas
    AI memungkinkan umat Islam mengakses ilmu dari berbagai belahan dunia tanpa batas geografis. Tafsir Al-Qur’an, hadits, dan fiqh kini dapat dipelajari dengan mudah melalui aplikasi digital.
  2. Personalisasi Pembelajaran
    Dengan AI, metode pembelajaran dapat disesuaikan dengan kebutuhan individu. Santri dapat belajar sesuai dengan tingkat pemahaman mereka, dan AI dapat memberikan materi yang lebih sesuai dengan gaya belajar masing-masing.
  3. Peningkatan Efisiensi Administrasi Pendidikan
    Pesantren dan madrasah dapat memanfaatkan AI untuk mengelola administrasi, menilai hasil belajar santri, serta mengembangkan kurikulum yang lebih adaptif terhadap perkembangan zaman.
Bahaya Belajar Ilmu Agama Tanpa Sanad

AI seperti yang dipahami ia merupakan satu alat untuk memberikan berbagai kemudahan baik di dunia pendidikan maupun sektor lainnya. Bahkan sebagian besar kita menggunakannya sebagai rujukan atau jawaban atas problem yang muncul ditengah-tengah kita.

AI dijadikan alternatif sebagai “syaikh” dalam memberikan pandangan atas pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. Proses mendapatkan ilmu pengetahuan agama tidak lagi melalui proses talaqqi (tatap muka), jak beut (mengaji) dan dirayah/riwayah dari seorang guru.

Baca juga: Kecerdasan Buatan Tidak Bisa Gantikan Ulama

Oleh karena itu, perlu digarisbawahi bahwa ilmu agama islam masih bisa terjaga tanpa distorsi dan bersambung kepada Rasulullah, kemudian kepada Allah itu tidak lain dan tidak bukan adalah disebabkan oleh proses penyampaian ilmu dari mulut ke mulut hingga sampai hari ini. 

Keabsahan satu-satu perkataan bisa dibuktikan dengan merujuk pada kalam-kalam ulama yang tertulis di dalam kitab-kitab dan disampaikan oleh ulama tersebut dan dari gurunya, dan dari gurunya dan seterusnya. 

Nah, ketika proses ini ditiadakan dan dihilangkan bahkan tidak dianggap penting, maka originalitas sebuah argumen tidak lagi bisa dibuktikan secara utuh dan ilmiah.

Allah berfirman dalam Surat Al-’Araf ayat 6 yang berbunyi “Pasti akan Kami tanyai umat yang kepada mereka telah diutus para rasul. Pasti akan Kami tanyai (pula) para rasul”. Dan juga dalam Surat Al Ahqaf ayat 4, Allah juga menyampaikan “...Datangkanlah kepadaku kitab yang sebelum ini (Al-Qur’an) atau peninggalan dari pengetahuan (generasi terdahulu) jika kamu adalah orang-orang benar”. 

Ayat ini menunjukkan bahwa setiap umat bertanggung jawab atas ajaran yang mereka terima, dan para rasul juga akan dimintai pertanggungjawaban atas dakwah mereka. Dalam konteks sanad keilmuan, ini mengajarkan bahwa ilmu yang disampaikan harus memiliki dasar yang benar dan bersumber dari guru yang terpercaya.

Sanad adalah bagian dari mekanisme pertanggungjawaban ilmu dalam Islam. Para ulama dan perawi hadis sangat menjaga keabsahan ilmu dengan memastikan bahwa setiap ajaran bersumber dari Rasulullah ﷺ melalui jalur periwayatan yang jelas. 

Dengan kata lain, siapa yang menyampaikan ilmu akan dimintai pertanggungjawaban, sebagaimana para rasul juga ditanya tentang dakwah mereka.

Tantangan yang Harus Diatasi

Meskipun AI membawa berbagai manfaat, ada tantangan yang perlu diperhatikan dalam penerapannya dalam pendidikan Islam:

  1. Potensi Distorsi dalam Pemahaman Islam
    AI bekerja berdasarkan data yang ada, tetapi tidak memiliki pemahaman spiritual dan hikmah dalam Islam. Jika tidak diawasi oleh ulama atau ahli agama, ada risiko kesalahan dalam interpretasi ajaran Islam.
  2. Menjaga Esensi Pendidikan Islam
    Pendidikan Islam tidak hanya berbasis rasionalitas, tetapi juga menyentuh aspek ruhani dan akhlak. AI tidak bisa menggantikan pengalaman belajar langsung dengan guru yang membimbing dengan keteladanan dan kebijaksanaan.
  3. Ketergantungan Berlebihan pada Teknologi
    Jika umat Islam terlalu bergantung pada AI, maka bisa muncul generasi yang kurang kritis dalam memahami ajaran Islam secara mendalam. Ini berisiko menjauhkan umat dari konsep talaqqi (belajar langsung dari guru) yang merupakan metode klasik dalam pendidikan Islam.
  4. Tergerus ruh/spirit Ilmu itu Sendiri

Ketika perolehan pemahaman agama tidak lagi lewat proses atau cara-cara klasik seperti yang dijelaskan maka, nilai atau ruh dari pengetahuan itu sendiri akan ikut terseret. Maka, jagan heran, anak-anak yang gencar menggunakan IA sebagai bentuk alterantif dalam memahami agama akan mengalami less sensitive terhadap isu-isu yang barangkali menyentuh relung hati sebagian besar anak seusianya. 

Proses talaqqi itu tidak hanya memberikan pengetahuan kepada peserta didik, tetapi ia juga mampu membentuk karakter mulia yang dapat diamati secara langsung seorang guru.

Konklusi: AI sebagai Mitra, Bukan Pengganti

Teknologi AI seharusnya dilihat sebagai alat yang membantu, bukan menggantikan pendidikan Islam. Peran ulama dan guru tetap menjadi yang utama dalam mendidik umat, sementara AI dapat menjadi sarana untuk mempercepat akses ilmu dan meningkatkan efisiensi pembelajaran.

Pendidikan Islam harus mampu beradaptasi dengan era digital tanpa kehilangan esensinya. AI bisa menjadi mitra dalam menyebarkan ilmu, tetapi ruh pendidikan Islam tetap harus dijaga dengan membangun generasi yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga kuat dalam akhlak dan spiritualitas. 

Jika pendidikan Islam mampu mengelola AI dengan bijak, maka era digital ini bisa menjadi peluang emas untuk memperkuat dakwah dan penyebaran ilmu Islam ke seluruh dunia.

1 COMMENT

  1. fenomena baru, setelah AI muncul adalah, hilangnya opini pribadi. orang2 jadi nggak punya opini pribadi, melainkan tanya AI, jawaban dari AInya yang dilampirkan.

    Betul, AI itu cukup bahaya klo nggak ada arah, nggak ada dasar, bahkan untuk tugas aja, wikipedia nggak boleh dipakai sebagai referensi. sekarang malah AI yang dipake sebagai referensi. kan aneh. yang perlu diajarkan juga, bahwa AI itu nggak betul semuanya, ada istilahnya halusinasi-AI, jawabannya kya odgj, suka-suka dia. dikasih studi kasusnya, biar orang-orang bisa belajar.

    bahkan antar satu AI dan AI lainnya jawabannya bisa beda, klo nggak ada dasar. udahlah.

    tapi yang harus diingat juga, bahwa, nggak semua guru itu kompeten.


    1. Potensi Distorsi dalam Pemahaman Islam
    semenjak heboh deepseek, beberapa AI udah ngikut fitur deepseek, web search, bahkan chatgpt juga udah bisa. beberapa juga bisa minta untuk melampirkan sumber akademiknya.

    3. Ketergantungan Berlebihan pada Teknologi
    saya nggak terlalu sepakat dengan poin ini, justru dengan AI kita bisa berpikir kritis, tanya apa aja lebih detail tanpa harus was-was dihakimi oleh guru, seperti ikah lagèe yahudi, le that meutanyöng.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here