Mantan Panglima GAM Linge dan Warga Saling Memaafkan

Mantan Panglima GAM Linge dan Warga Saling Memaafkan
Mantan Panglima GAM Linge dan warga Sedie Jadi saling memaafkan. Foto: KontraS Aceh.

Komparatif.id, Redelong–Bila dendam diperturutkan, bagaimana rupa dunia ini? Ketimbang terus-menerus hidup dalam bara amarah, lebih baik semua luka disembuhkan. Itulah yang dipilih mantan Panglima GAM Linge Fauzan Azima, dan perwakilan warga Kampung Sedie Jadi, Bukit, Bener Meriah.

Disaksikan warga dari tiga kampung, Selasa (29/3/2022) Fauzan Azima dan Suterisno yang mewakili warga Sedie Jadi. Di masa konflik Suterisno adalah kepala desa di kampung tersebut.

Mereka berdua–Fauzan Azima atas nama pribadi– bersepakat untuk saling memaafkan, saling melindungi, dan memperbaiki hubungan antarmereka, yang sempat rusak parah akibat konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka dan Pemerintah Republik Indonesia.

Ikrar saling memaafkan tersebut difasilitasi oleh Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) Aceh, yang diberi tajuk “Silaturahmi Kebangsaan”. Panglima GAM Linge Fauzan dan Suterisno ditepungtawari oleh Majelis Adat Gayo.

Kegiatan yang digelar di halaman Kantor Kampung Sedie Jadi, diakhiri dengan makan siang bersama dengan lauk daging lembu. Warga sepakat untuk saling memaafkan dan menata hidup baru setelah peristiwa pilu terjadi pada 21 tahun lalu yang dikenal dengan nama tragedi Kresek.

Mantan Panglima GAM Linge,Fauzan Azima dalam sambutannya mengatakan perdamaian di Aceh, khususnya Tanoh Gayo, merupakan anugerah yang tidak ternilai. Sebagai bagian dari pelaku konflik di masa lalu ia menyampaikan komitmen bahwa kekerasan tidak patut lagi berulang.

“Kita para pihak yang pernah bertikai hendaknya menyadari hal ini. Jangan sampai muncul konflik [lagi], tak hanya antarelit politik, seluruh potensi yang bakal memantik kekerasan harus segera dituntaskan,” ujarnya.

Ia berharap perdamaian yang terjalin antar seluruh masyarakat di Gayo ibarat akar yang menguatkan batang pohon. “Sehingga tak ada angin kebencian dan dendam yang sanggup merobohkannya.”

“Untuk menguatkan perdamaian ini, kita harus mau duduk selantai untuk merumuskan kembali sesama kita. Berdiri sama tinggi untuk melihat masa lalu dan menentukan di masa depan agar damai selalu abadi di tanah Gayo kita,” tegasnya.

Fauzan menyampaikan permintaan maaf kepada segenap warga Sedie Jadi atas peristiwa yang terjadi 21 tahun silam. “Kepada seluruh masyarakat Sedie Jadi, mulai hari ini saya berharap terima sebagai saudara, seperti saudara seayah dan seibu,” ucap eks Panglima GAM Linge, disambut tepuk tangan hadirin.

Suterisno, mewakili warga Sedie Jadi dalam sambutannya berterima kasih pada Fauzan Azima, atas niat0 bersama yang muncul untuk menempuh jalan silaturahmi ini. Peristiwa Kresek sangat membekas di benak segenap tetua Kampung Sedie Jadi. Karena itu, silaturahmi kebangsaan yang diadakan hari ini menjadi momen penting dalam sejarah perdamaian di Gayo.

“Mari kita kenang peristiwa 21 tahun lalu itu dengan penuh harap, semoga hal serupa tak terulang lagi. Kita harus sependapat, seide, dan sepakat bahwa perselisihan di masa lalu harus segera diakhiri dengan berdamai, saling memaafkan,” kata Suterisno.

“Apa yang hari ini terjalin, adalah bukti bahwa saling memaafkan itu bisa diwujudkan, Sedie Jadi menjadi daerah yang bisa dijadikan contoh, kita bisa buktikan bahwa ini bisa silaturahmi ini bisa terjalin dengan baik,” pungkasnya.

Koordinator KontraS Aceh, Hendra Saputra mengatakan, silaturahmi kebangsaan ini tindak lanjut dari kesepakatan pada Juli 2006 silam bertajuk Ikrar Musara Pakat Redelong.

Jika pada saat itu perdamaian terjadi antara elite GAM dan PETA, maka hari ini hal serupa diterapkan di tingkat komunitas masyarakat.

“Ini jadi kesempatan bagi kita merajut kembali kohesi sosial, terutama bagi kita yang tali persaudaraanya pernah terputus yang barangkali karena keragu-raguan kita masing-masing beberapa waktu lalu, maka hari ini mari kita hilangkan,” kata Hendra.

Acara seremonial yang dihadiri ratusan orang ini menjadi puncak dari rangkaian proses panjang yang telah ditempuh selama 2,5 tahun terakhir.

Sejak 2019, KontraS Aceh melakukan serangkaian pendekatan dengan masyarakat dari tiga desa di Bener Meriah, yakni Desa Pilar Jaya dan Desa Sedie Jadi di Kecamatan Bukit, serta Desa Makmur Sentosa di Kecamatan Bandar.

Desa Sedie Jadi merupakan satu di antara sejumlah desa terdampak konflik Aceh, antara gerilyawan Gerakan Aceh Merdeka dengan Pemerintah RI.

Di Gayo, konflik tersebut merembet jadi benturan horizontal antar sesama masyarakat. Juni 2001 silam, konflik mengakibatkan jatuhnya korban jiwa dan kerugian materi terhadap masyarakat di Sedie Jadi.

Kendati konflik Aceh secara resmi berakhir sejak penandatanganan kesepakatan damai dalam Memorandum of Understanding (MoU) antara Pemerintah RI dan GAM pada 15 Agustus 2005, namun butuh waktu panjang untuk memulihkan relasi sosial antar masyarakat yang sempat didera perpecahan, khususnya di bumi Gayo.

Seiring waktu, situasi sosial di Bener Meriah berangsur pulih. Namun upaya pemenuhan hak para penyintas konflik harus tetap menjadi perhatian utama.

“Selain pengungkapan kebenaran atas apa yang terjadi di masa lalu, selanjutnya perlu dijalin rekonsiliasi antara para pihak yang pernah terlibat dalam konflik tersebut,” sebut Hendra.

“Hal ini dilakukan semata-mata untuk pembelajaran akan pentingnya merawat perdamaian, mengembalikan situasi sosial di masyarakat harmonis seperti sedia kala, serta mencegah hal serupa terulang lagi di kemudian hari.”

Kegiatan ini turut diresmikan Pemerintah Bener Meriah. Turut hadir jajaran Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (forkopimda) kabupaten setempat, anggota Komisi I DPRA Bardan Sahidi, Wakil Ketua DPRK Bener Meriah Tgk Husnul Ilmy.

Selanjutnya Ketua KKR Aceh Masthur Yahya, Sri Waluyo dari Dinas Pendidikan Aceh, sejumlah Kepala SKPK, Camat Bukit beserta unsur forkopimcam, segenap perangkat Kampung Sedie Jadi serta perwakilan masyarakat dari setiap desa di Kecamatan Bukit.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here