Manajemen Nek Ben

Bireuen nek ben
Mustafa A. Geulanggang. Foto: Dikutip dari Facebook MAG.

Tukang pangkas terkenal itu bernama Nek Ben. Tak pernah dijelaskan nama lengkapnya. Nek Ben telah meninggal dunia lama sekali. Tahun 70-an usianya sudah 50 tahun.

Nek Ben membuka usaha jasa tukang pangkas pada sebuah kios berukuran 5×4 meter, di salah satu ruas jalan kereta api—sekarang di Ruang Terbuka Hijau yang sudah tidak benar-benar hijau—di Rex Kota Bireuen.

Karena kios Nek Ben kecil, suasana kios pangkas tersebut selalu penuh sesak saat orang ramai hendak menggunakan jasa pria gaek tersebut.

Baca: Pang Bayak

Bisnis pangkas rambut milik Nek Ben dilakukan secara mandiri oleh dirinya sendiri. Ia sebagai pemilik usaha, pekerja –tukang pangkas, cukur, dan terkadang pijat—kasir, dan cleaning service.

Ia juga yang bertugas merawat alat kerja, seperti mengasah pisau cukur, gunting, dan ragum tradisional.

Bagi anak-anak yang menetap di seputar Kota Juang, pasti memiliki banyak nostalgia bersama Nek Ben. Di antara mereka adalah saya karena setiap tiga bulan sekali, orangtua saya memangkas rambutnya ke tempat Nek Ben. Saya selalu dibawa serta.

Bagi kelas menengah seperti ayah saya, menjadi langganan Nek Ben tentu punya makna tersendiri. Sebab konsumen yang berlangganan di tempat pangkas sederhana tersebut bukan sembarangan orang. Minimal tokoh masyarakat.

Kios Nek Ben selain pangkas rambut dan cukuran, juga bisa menambah pengetahuan. sebab, sebelum gilirannya sampai, para tokoh tersebut akan melemparkan topik-topik hangat sebagai bahan pembicaraan.

Topik-topik yang sedang trending di tengah masyarakat diketengahkan di kios pangkas itu. mulai persoalan pertanian, ekonomi, hingga politik. Bila pembicaraan sudah berlangsung, sesekali Nek Ben ikut nimbrung suara. Ia sekadar meramaikan pendapat di tengah ruang demokrasi yang tidak terbuka kala itu.

Terkadang Nek Ben memberikan saran, di waktu lain mengajukan persoalan. Mereka asyik dalam diskusi tanpa moderator. Mereka tenggelam dalam bincang-bincang penuh isi, sembari menunggu jatah pangkas.

Tiap hari, tujuh sampai 12 pelanggan datang ke kios pangkas itu. Mereka rela mengantre berjam-jam. Tapi, seperti hari lain, Nek Ben hanya mampu menyelesaikan empat sampai enam orang. Selebihnya terpaksa dilakukan esok hari.

Layanan Nek Ben terkesan lemot; tapi asyik. Setiap pelanggan ia layani hingga dua jam. Kerjanya telaten, tidak buru-buru. Ia seperti menikmati alunan suara alat pangkas yang memaksa rambut bercera-berai dari kepala.

Kios pangkas itu menjalankan konsep ekonomi sederhana. Layanan one stop service dilakukan sendiri oleh Nek Ben. Motivasinya hanya satu, memberikan layanan dan pengalaman terbaik kepada konsumen. Dia tidak memburu uang lebih banyak. Karena ia yakin bahwa semua pelanggannya merupakan orang yang loyal.

Bila sedang mencukur tiba-tiba pisau cukurnya tumpul, dia akan mengasahnya sendiri. Dia tinggalkan sejenak pelanggan yang sudah dibaringkan di atas kursi pangkas.

Demikian juga bila dia tiba-tiba merasa kurang enak badan saat sedang memangkas. Dia minta izin kepada konsumen untuk beristirahat sekitar 30 menit. Tak ada yang protes. Konsumen mengiyakan permintaan sang pemangkas, meski mereka harus menambah waktu untuk menunggu.

Keuchik Din pernah mendapatkan pengalaman demikian. Terpaksa harus menunggu 30 menit lebih lama, karena tiba-tiba tukang pangkas senior itu pening. Keuchik Din yang sebagian rambutnya sudah digunting, ya hanya bisa menunggu hingga kondisi tukang pangkas tersebut membaik.

Apa yang dilakukan oleh Nek Ben tentu bukan sebuah kesalahan dalam manajemen bisnisnya. Semua bertumpu dan berpusat pada dirinya. Tapi, manajemen demikian tentu bukan manajemen yang dapat menghadirkan keuntungan besar.

Pola hubungannya dengan konsumen harus diakui unik, tapi tidak akan mampu menaikkan usaha pria itu menjadi lebih besar. Mungkin baginya, dia tidak menginginkan hal lebih banyak. Ia utamakan kenyamanan.

Tapi meskipun bagus untuk dirinya, apa yang dilakukan olehnya dalam mengelola bisnis, tidak dapat ditiru oleh siapapun dalam konteks mengelola manajemen yang berhubungan dengan khalayak.

Apalagi di era internet seperti sekarang ini. Bertumpu hanya pada satu orang, akan membuat semuanya centang perenang. Era global seperti saat ini membutuhkan sistem manajemen yang rapi, berstruktur, kompeten, dan dapat diukur.

Lalu bagaimana dengan pemimpin yang one man show dalam bertindak? Ia akan melahirkan capaian yang buruk. Tapi tidak lebih buruk dari pemimpin yang tidak punya sikap; hanya ingin aman sendiri.

Meskipun lulusan luar negeri, berpendidikan hingga ke awan, punya gelar satu kontainer, bila tidak percaya kepada orang lain; sekaligus tidak mau tangannya berlumpur, meski menghendaki ikan gabus di dalam paya, maka pemimpin tersebut hanya membawa sial kepada sebuah daerah.

Seperti Nek Ben, yang baik untuk dirinya sendiri, tapi ia tak pantas memimpin masyarakat.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here