Magister Pendidikan Pelopori Literasi Desa: Dari Kedai Kopi ke Seuramo Baca

Magister Pendidikan Pelopori Literasi Desa: Dari Kedai Kopi ke Seuramo Baca Arizul Suwar, pelopor Seuramo Baca Gampong Paya Luah, Woyla. Foto: Dok. Imam Mufakkir.
Arizul Suwar, pelopor Seuramo Baca Gampong Paya Luah, Woyla. Foto: Dok. Imam Mufakkir.

Saya yakin bahwa fasilitas yang memadai bisa menjadi kunci dalam membangun budaya literasi. Apa yang dilakukan Arizul dan kawan-kawan seolah menghidupkan kembali semangat yang dulu pernah ada di Woyla.

***

Malam itu, di kedai kopi, saya berbincang dengan Arizul Suwar, seorang pemuda asal Gampong Paya Luah, Woyla. Di tengah percakapan, kami membahas hasil penelitian UNESCO tahun 2021 yang mencatat indeks minat baca masyarakat Indonesia hanya 0,01%.

Artinya, dari seribu orang, hanya satu orang yang memiliki minat membaca buku. Sementara itu, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Indonesia hanya 14,6%, jauh tertinggal dari Malaysia yang mencapai 28% dan Singapura 33%.

Dari kedua hasil penelitian tersebut, Arizul bertanya “Bagaimana menurut abang? Apa yang harus kita lakukan?” Dia bertanya dengan nada serius.

Sebagai magister pendidikan, saya memahami kegelisahan Arizul. Ia merasa memiliki tanggung jawab moral atas kenyataan ini.

“Saat KKN semasa mahasiswa dulu, saya sempat mendirikan taman bacaan masyarakat,” jawab saya. “Mungkin masalahnya bukan pada kemalasan membaca, tapi akses terhadap buku yang terbatas. Kita harus mulai dari sana—memberikan fasilitas yang memadai.”

Ucapan itu rupanya membekas di hati Arizul. Tak butuh waktu lama, Arizul bersama lima pemuda desa lainnya mengadakan musyawarah dengan kepala desa.

Dari diskusi tersebut, mereka memutuskan memanfaatkan sebuah bangunan di desa yang belum difungsikan. Lahirlah “Seuramo Baca Gampong Paya Luah—sebuah perpustakaan desa yang menjadi oase literasi bagi warga sekitar.

Gagasan mendirikan perpustakaan ini tak lepas dari keyakinan pada teori butterfly effect—bahwa satu kepakan sayap kupu-kupu di hutan Amazon dapat memicu tornado di Texas beberapa bulan kemudian.

Bagi saya, satu langkah kecil dari pemuda Paya Luah mungkin kelak akan berkontribusi pada peradaban Indonesia yang gemar membaca.

“Saya jadi ingat betul, Bang,” kenang Arizul. “Dulu, saya suka membaca berkat adanya perpustakaan kecamatan Woyla. Sayangnya, perpustakaan itu sekarang sudah tidak tahu lagi berada di mana. Padahal, tempat itu punya andil besar dalam mengantarkan saya tetap bersemangat melanjutkan pendidikan untuk mengejar cita-cita.”

Pernyataan itu membuat saya semakin yakin bahwa fasilitas yang memadai bisa menjadi kunci dalam membangun budaya literasi. Apa yang dilakukan Arizul dan kawan-kawan seolah menghidupkan kembali semangat yang dulu pernah ada di Woyla.

Yang menarik, semangat mereka tidak sekadar wacana. Hanya dalam hitungan hari setelah “peh tem” (obrolan) di kedai kopi, mereka berhasil mendapatkan Surat Keputusan (SK) dari keuchik sebagai pengurus perpustakaan desa.

Tak berhenti di situ, mereka membuat stempel dan rekening bank. Menariknya, semua itu dibiayai dari hasil penjualan telur ayam.

Mereka juga melangkah lebih jauh dengan mengajukan proposal bantuan buku ke Dinas Perpustakaan dan Kearsipan (DISPUSIP) Kabupaten Aceh Barat.

Kabar bagusnya, saat itu Perpustakaan Nasional Republik Indonesia bekerjasama dengan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, dan Dinas Perpustakaan Provinsi dan Kabupaten/Kota menyelenggarakan Program Pengadaan Bahan Bacaan Bermutu dalam rangka Penguatan Literasi Masyarakat.

Baca juga: Aceh Barat Darurat Pengendalian Air

Dengan adanya program tersebut, harapannya Perpustakaan Seuramo Baca Gampong Paya Luah, akan mendapatkan bantuan buku-buku berkualitas. Walau saat ini, di dalam gedung perpustakaan tersebut, mereka belum memiliki rak-rak buku yang memadai.

“Kami belum membuktikan apa-apa, Bang,” ujar Arizul. “Rasanya kurang pantas kalau langsung minta dana dari desa. Prinsip kami, tunjukkan dulu bahwa kita serius dan konsisten.”

Prinsip ini patut diapresiasi. Sebelum berharap pada dana desa, mereka memilih berjuang sendiri lebih dulu. Sikap ini memperlihatkan betapa gerakan kecil dari pemuda bisa menjadi simbol kemandirian dan keberanian.

Melalui tulisan ini, saya ingin mengadvokasi gerakan pemuda Paya Luah agar bisa menginspirasi pemuda-pemuda lain di Indonesia. Tak perlu menunggu menjadi pejabat atau orang besar untuk memberi kontribusi bagi masyarakat. Gerakan kecil di tingkat desa, seperti mendirikan perpustakaan, bisa menjadi fondasi untuk perubahan besar di masa depan.

Pengalaman dari “Seuramo Baca Gampong Paya Luah” juga membuktikan bahwa kebijakan dari atas—seperti bantuan buku dari Perpustakaan Nasional—tidak akan efektif tanpa adanya inisiatif dan gerakan dari bawah.

Bantuan bahan bacaan bermutu mungkin tak akan pernah tiba di Paya Luah, seandainya Arizul dan lima pemuda desa lainnya tidak mengambil langkah berani untuk memulai perpustakaan tersebut.

Sebagaimana penjelasan sebelumnya, rendahnya minat baca di Indonesia tidak semata-mata disebabkan oleh kemalasan masyarakat. Faktor yang lebih mungkin berperan adalah minimnya sarana pendukung untuk membiasakan kebiasaan membaca. Jika kebutuhan ini terpenuhi — misalnya, dengan memastikan setiap desa memiliki perpustakaan yang memadai — barulah kita bisa menilai apakah rendahnya minat baca benar-benar disebabkan oleh kemalasan masyarakat.

Atas dasar itu, masyarakat seharusnya dikepung oleh fasilitas yang mendorong budaya membaca. Dengan fasilitas yang memadai, alasan “tidak ada akses” tak lagi relevan. Dan dari sini, makin jelaslah bahwa peradaban emas Indonesia yang gemar membaca bukan lagi sekadar mimpi.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here