Lingkaran Setan Tambang Ilegal di Serambi Mekkah

tambang ilegal
Sebuah aliran sungai di Aceh Barat yang rusak parah akibat penambangan emas secara ilegal. Foto: GE via Mongabay.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Persoalan tambang ilegal di Aceh seperti lingkaran setan. Upeti liar bergulir miliaran rupiah setiap bulannya. Penegak hukum dan pemerintah seperti tidak berdaya. Masalah utama juga berkaitan dengan bisnis pendukung yang punya peranan sangat besar.

Ketua Komisi V DPRA M. Rizal Fahlevi Kirani, yang juga Sekretaris Pansus Minerba dan IUP, Izin Perkebunan, dll, dalam diskusi bertajuk Penegakan Hukum Terhadap Pelaku Tambang Ilegal di Aceh, yang digelar oleh Aceh Resource & Development (ARD), Senin (17/4/2023) sore di Hermes Palace Hotel, menyebutkan rentang panjang masalah bisnis tambang ilegal di Aceh, membutuhkan ketegasan aparat penegak hukum, muspida tingkat II, dan muspika tempatan.

Ia mengutip contoh tambang emas secara ilegal dan besar-besaran di Kecamatan Geumpang, Pidie, yang telah berlangsung bertahun-tahun. Sampai sekarang bisnis ilegal tersebut tetap berlangsung tanpa kendala berarti. Meskipun ilegal tapi ditambang secara terang-terangan dan diketahui oleh semua orang.

Baca: Memperkuat Politik Energi Aceh

Rizal Fahlevi Kirani yang saat ini masih berstatus politisi Partai Nanggroe Aceh (PNA) menyarankan ketimbang terus-menerus ilegal, dan tidak mampu dikontrol oleh pemerintah, sebaiknya bisnis-bisnis tambang yang selama ini ilegal, dilegalkan saja sesuai peraturan yang berlaku.

Saat ini emas-emas Aceh di Geumpang dan kawasan lainnya di Aceh, ditambang secara ilegal. Pemodalnya dari luar, dibentengi oleh oknum penegak hukum. Pihak yang mendapatkan keuntungan besar tetaplah pemodal utama dan para centeng yang membekengi. Sedangkan rakyat sekitar tambang ilegal, hanya menjadi buruh kasar, yang bila bekerja dapat uang, tak bekerja tak ada uang. Di sisi lain, “tabungan” masalah lingkungan hidup, kelak akan dirasakan oleh penduduk.

“Saat ini yang kaya dari bisnis tambang ilegal para cukong dan pemasok kerja dari Jawa. Masyarakat hanya menjadi operator dan buruh, atau agen yang memasukkan eskavator, dan bukan yang mengelola dan mendapatkan profit dan benefit,” kata Rizal Falevi Kirani.

Hal yang menyakitkan, meskipun Geumpang di Pidie menjadi lumbung emas, tapi daerah termiskin di Kabupaten Pidie adalah Geumpang. Ini sesuatu yang paradoks.

Belum lagi persoalan para pekerja yang tidak dilindungi secara hukum. Setiap beberapa hari setidaknya 15 pekerja tewas saat bekerja. Seringkali karena tertimbun material galian. Beberapa kasus mencuat ke media, banyak yang tidak terkuak ke publik.

“Kehadiran tambang emas ilegal tidak memiliki multiplier effect terhadap pembangunan ekonomi rakyat. Keuntungan dari bisnis emas itu mengalir ke luar,” sebut politikus muda nan energik tersebut.

Area Tambang Ilegal Semakin Luas

Kepala Bidang Mineral dan Batubara (Minerba) Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral Aceh (ESDM Aceh) Khairil Basyar,S.T.,M.T, mengatakan semakin hari area pertambangan ilegal di Aceh bertambah luas. Hal ini bukan hanya terjadi di Aceh, tapi juga telah menjadi persoalan di tingkat nasional.

Khairil menyebutkan enam lokasi tambang  emas ilegal di Aceh yaitu: sepanjang aliran Sungai Emas, Kabupaten Aceh Barat. Di kawasan ini tambangnya dengan teknik placer, karena bahan baku yang ditambang telah berbentuk aluvial akibat proses pelapukan.

Demikian juga kawasan tambang ilegal di sepanjang Krueng Kila, Beutong yang ditambang secara placer.

Kawasan tambang emas lainnya secara ilegal yaitu di Gunong Ujeun, Kecamatan Krueng Sabe, Aceh Jaya yang ditambang secara primer. Kemudian di Aceh Selatan (Manggamat dan Sawang), Desa Lumut, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, dan Geumpang dan Mane, Pidie. Untuk Pidie, proses tambangnya placer dan primer.

Luas tambang ilegal saat ini di Aceh 1.177 hektare. Secara rinci yaitu, 837 hektare di Geumpang, Kabupaten Pidie, yang ditambang di areal konsesi PT WAM dan HL.

Di Kampung Lumut, Kecamatan Linge, Aceh Tengah, luas area yang sudah dirambah secara ilegal di lahan konsesi Linge Mineral Mining (LMM) seluas 35 hektare.

Di Manggamat, Aceh Selatan lebih dari 40 hektar sudah ditambang secara ilegal di kawasan konsesi PT BMU dan KSU. Di Sawang, 65 hektare telah digarap tanpa izin.

Di Krueng Kila dan Krueng Cut, Nagan Raya lebih kurang 45 hektare.

Di Panton Rheu dan Lacong, Aceh Barat. Tambang ilegal ini dilakukan di dalam kawasan KPPA dan PT MGK. Luas kawasan yang sudah dieksploitasi 75 hektare.

Di Gunong Ujeun, Aceh Jaya, luas lahan yang telah ditambang secara ilegal 80 hektare.

Bisnis Lain di Lingkar Tambang

Tumbuh suburnya pertambangan –emas—secara ilegal di Aceh, didukung oleh bisnis-bisnis lainnya yang menjadi “nyawa” pertambangan.

Direktur Eksekutif Walhi Aceh Muhammad Sholihin, dalam diskusi tersebut menyebutkan, saat ini ada lebih dari 6.000 orang menjadi tenaga kerja di dalam bisnis itu. Mereka terdiri dari penduduk tempatan, warga lokal Aceh, warga Indonesia dari provinsi lain, serta tenaga kerja asing.

Penggiat lingkungan hidup tersebut mengatakan selama ini bisnis tambang emas ilegal ditopang oleh bisnis bahan bakar minyak subsidi dan oplosan yang diusahakan oleh oknum tertentu secara melawan hukum.

Ia tak merinci berapa ton BBM subsidi dan oplosan terserap ke dalam bisnis tambang ilegal. Namun secara sosial dan ekonomi, antrean panjang di SPBU serta sering kosongnya BBM subsidi menjadi petunjuk betapa banyaknya BBM terserap ke dalam bisnis pertambangan tak berizin tersebut.

Selain BBM, mercury juga menjadi kebutuhan utama penambangan emas. Dampak jangka panjang mungkin belum terlihat nyata seperti di Teluk Buyat, Minahasa Tenggara. Namun secara ekonomi, sejumlah pihak mulai menghindari membeli ikan air tawar yang ditangkap dari kawasan Geumpang dan sekitarnya. Berapa jumlah mercury yang terserap ke sana setiap tahun? Walhi tidak merinci.

Bisnis sewa eskavator, logistik (konsumsi), dan penampungan emas ilegal, merupakan jejaring mata rantai pertambangan ilegal yang selama ini tumbuh dengan baik.

Bukan Semata Penegakan Hukum

Pertambangan emas secara ilegal di Geumpang, Pidie, dan tempat-tempat lainnya di Aceh, bukan lagi rahasia. Dilakukan secara terbuka di depan mata pemerintah dan penegak hukum. Menurut sumber-sumber yang layak dipercaya, upeti gelap bisnis tersebut mengalir hingga ke atas. Namun atas yang mana, seperti membicarakan asal muasal kentut dan akhir dari perjalanan kentut.

Per bulan, setiap eskavator yang beroperasi harus menyetor “biaya keamanan” Rp30 juta. Biaya itu disetorkan kepada “bapak” yang tak pernah disebut namanya.

“Rakyat tempatan biasanya hanya pekerja. Mereka tak punya modal untuk menggali, karena risikonya cukup besar. Padat modal, dan penuh tantangan. Makanya yang masuk orang-orang bermodal besar. Merekalah yang selama ini aktif menambang,” sebut seorang sumber.

Perihal setoran gelap juga ikut dibahas oleh Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, dan Sholihin. Namun oknum-oknum tersebut berada di dalam jejaring bisnis, sebagai penjaga agar tambang tetap berjalan.

Kasubdit IV Tipidter  Polda Aceh AKBP Muliadi, S.H menyebutkan bila serius menghentikan tambang ilegal, tidak cukup sekadar melakukan penegakan hukum.

Selama 2022 hingga minggu kedua April 2023, polisi telah menangangi 21 kasus tambang ilegal. 39 orang menjadi tersangka, yang terdiri dari pekerja, pemodal, pemilik beko dan lainnya.

“Tahun ini saja, sampai minggu kedua April 2023, sudah tujuh kasus yang polisi tangani,” sebut Muliadi.

Menurut Muliadi bisnis tambang ilegal melibatkan ribuan orang yang mayoritas tenaga kerja. Mereka bergantung di sana karena tidak ada alternatif lain yang menjanjikan. Bila hanya mengandalkan penegakan hukum maka tidak akan ada ujungnya.

“Di Pantai Cermin, Aceh Barat, satu titik tambang ilegal melibatkan ribuan orang. Mereka bergantung hidup di sana. Dengan jumlah polisi yang sedikit, anggaran terbatas, tentu sulit. Konon lagi bila semata polisi yang diharapkan menindak mereka secara hukum. Harus ada solusi atas masalah ini,” sebut Muliadi.

Perihal ada oknum yang terlibat, bila itu dari kalangan polisi, Muliadi meminta supaya masyarakat melaporkannya ke Polda Aceh. Kapolda Irjen Ahmad Haydar sangat serius ingin menindak pelaku.

“Ini serius. Saya tidak main-main. Bila ada oknum polisi yang membekengi, laporkan. Kapolda akan menindak mereka,” sebutnya.

Dalam diskusi itu para narasumber sepakat mendorong Pemerintah Aceh melahirkan solusi yang berdampak baik bagi semuanya, yaitu legalisasi tambang ilegal melalui mekanisme yang berlaku. Meski itu tidak mudah, tapi harus segera diupayakan, supaya lingkaran setan pertambangan ilegal di Aceh tidak berputar-putar tanpa solusi.

Koordinator Gerakan Rakyat Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani mengatakan contoh baik yang dapat direplikasi adalah kerja sama antara pemegang IUP PT Megallanic yang membeli emas yang ditambang oleh masyarakat di Aceh Barat. kemitraan ini juga menguntungkan daerah dan melindungi masyarakat.

“Polanya berikan konsesi lahan ke pengusaha besar. Penambangnya tetap rakyat. Daerah untung, pajak masuk, rakyat tidak terancam, dan peraturan dapat ditegakkan. Ketimbang saat ini, hutan tetap rusak, uang tidak masuk ke negara, bencana tetap akan datang,” sebut Askhalani.

1 COMMENT

  1. Pak Di alu kumara ..geumpang pidi
    Panitia lokasi nya amat tong geumpang. Amat tong kerja sama dgn polisi polda aceh.tiap bulan amat tong storan ke polda tiap bulan 20juta
    Yg kenak tangkap kami yg miskin ini…kalau ada storan tiap bulan sama polda kenapa di tangkap juga…

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here