Lima Alasan Monza Tidak Berani Investasi Pada Cryptrocurrency

Meskipun tidak membantah bahwa banyak orang sukses di bisnis cryptocurrency, tapi Monza Aulia belum berani dengan lima alasan.
Meskipun tidak membantah bahwa banyak orang sukses di bisnis cryptocurrency, tapi Monza Aulia belum berani dengan lima alasan.

Cryptocurrency, beberapa orang menyebutnya aset crypto. Crypto ini cukup banyak jenisnya, salah satu yang paling familiar dan punya market cap terbesar adalah Bitcoin (BTC).

Saya tidak tahu pasti berapa jumlah crypto yang ada, mungkin ratusan, atau bahkan ribuan. Cuma tidak semua crypto diperdagangkan di crypto exchange (platform jual beli crypto). Kita ambil contoh crypto exchange Indodax yang hanya memperdagangkan sekitar 30an jenis kripto.

Kalau berbicara tentang kripto, supaya nyambung kita juga perlu bahas tentang sejarah panjang alat tukar pembayaran dari zaman ke zaman. Karena dari sejarah ini bisa jadi pegangan gimana kedudukan crypto ini.

Dulu, metode perdagangan yang pertama kali dikenal oleh umat manusia (metode tertua) adalah dengan sistem barter, barang ditukar dengan barang. Uniknya, di Indonesia ternyata masih ada masyarakat yang menggunakan sistem barter, tepatnya di Lamalera NTT, desa yang juga dikenal sebagai pemburu ikan paus. Metode tersebut masih dipertahankan sampai sekarang.

Metode barter digunakan sampai adanya adanya titik jenuh antara kedua pelaku dagang yang menilai sistem barter ini tidak efektif dan terbatas.

Barter akan bekerja bila kedua pelaku melakukan barter barang yang sama-sama dibutuhkan, misalnya Tn.A memiliki ikan untuk dibarter dengan Tn.B yang memiliki beras. Barter sulit terjadi bila barang Tn.A tidak sesuai dengan yang dibutuhkan oleh Tn.B. Dari titik jenuh inilah muncul ide mencari sebuah alat pembayaran yang diterima oleh semua orang.

Beranjak dari permasalahan tersebut, maka lahirnya metode fabrikasi yang tiap wilayah memiliki alat pembayaran masing-masing. Ada yang terbuat dari logam dan ada pula dari keramik.

Lambat laun, logam emas menjadi salah satu alat pembayaran yang paling banyak diakui di hampir di seluruh belahan bumi. Penyebab salah satu emas menjadi alat bayar universal disinyalir (perkirakan) andil dari para pelayar yang berdagang di kala itu.

Singkat cerita, Inggris kala itu memperkenalkan sebuah lembaran (sertifikat) yang fungsinya sebagai bukti kepemilikan sebuah emas dan lembaran tersebut dapat diperdagangkan. Tujuan dibuatkan lembaran kepemilikan emas ini agar mudah dibawa kemana-mana. Lembaran itu yang akhirnya menjadi cikal bakal uang kertas.

Uang kertas inilah yang akhirnya menjadi alat pembayaran yang berlaku sampai saat ini.

Dari dulu hingga sekarang uang kertas menginpretasikan nilai emas di belakangnya. Makna persepsinya, bila 1 gram setara dengan 1 juta rupiah, maka $67 sama dengan 1 gram emas. Maka dari itu, jumlah uang kertas yang beredar semestinya harus sesuai dengan value emas yang ada. Selain emas, sebuah negara juga menetapkan valas bagian dari value yang dapat dinilai sebagai pedoman jumlah uang yang boleh di edarkan.

Jadi zaman dulu pada dasarnya mempercayakan uang karena adanya jaminan emas dari nilai uang tersebut, sehingga munculah uang sebagai alat pembayaran. Dari sini kita bisa melihat underlying asset dari sebuah uang adalah emas, ditambah dengan pengakuan uang sebagai alat bayar telah menjadi hukum (dalam undang-undang) menjadikan uang semakin diakui.

Dalam mengontrol mata uang, ada banyak pihak yang terlibat di dalamnya. Salah satunya bank sentral yang mengatur peredaran dan kebijakan moneternya.

Setelah era barter, logam dan uang kertas, sekarang lahir cryptocurrency. Niat awalnya kripto ini digunakan sebagai alat pembayaran merdeka, yang tidak bisa diintervensi oleh lembaga atau negara manapun. Ternyata makin ke sini posisi menyerupai emas yang sebelumnya jadi alat pembayaran kini jadi aset yang di-trading atau diinvestasikan.

Nah untuk status, konsepnya juga sama dengan yang lainnya. Crypto dianggap berharga bila ada penggunanya, ada underlying asset (poin ini sulit dijelaskan), ada pengakuan/kepercayaan dari orang lain atau lembaga lain dan/atau hukum yang mengaturnya.

Misalnya saya membuat satu crypto bernama “ABC”, volume beredar 100 ABC, dengan value dasar 1 ABC = 1000 rupiah. Bila ada 10 orang yang mengakui ABC dan masing-masing membeli 10 ABC, berarti tiap orang membeli di harga Rp10.000.

Harga 1 ABC dapat berubah di pasar sekunder sesuai dengan supply-demand. Makin banyak pengguna maka harga tentu jadi naik (perilaku pasar), begitupun sebaliknya.

Jika skenarionya begitu, maka crypto ABC telah diakui oleh 10 orang. Nah, di sini kita bisa melihat berharga enggaknya kripto tergantung seberapa besar penggunanya. Harganya akan mengikuti seberapa orang yang mengakuinya.

Nah, dari sini kita bisa lihat ada banyak faktor yang membuat salah satu aset bisa dihargai, selain kepercayaan dari pelaku pasar, perannya dalam market, juga faktor hukum begitu krusial.

Pun demikian, beberapa kelemahan aset kripto, yang membuat saya tidak tertarik, yaitu:

Pertama, meski perdagangan cryptocurrency di Indonesia telah legal (di bawah Bappebti), namun belum semua orang percaya uang digital itu sebagai identitas aset. Berbeda dengan emas yang semua orang di belahan dunia manapun mengakuinya sebagai aset meski tanpa perlu surat ataupun sertifikat.

Kedua, sangat fluktuatif. Naik turunnya harga tergantung supply-demand di market exchange. Nah, karena sering kali tidak jelas (faktor intrinsik sulit dinilai) penyebab supply-demand, maka itu saya menghindari untuk masuk ke cryptocurrency.

Ketiga, spekulatif. Karena tidak ada aset nyata yang dapat dinilai, tidak ada laporan yang dapat dianalisis dan tidak ada nilai yang jelas, jadinya kripto ini sangat spekulatif. Harga naik bila jumlah orang yang memberi pengakuan (dengan cara menukarkan mata uang lain ke kripto) meningkat, harga turun bila banyak orang yang melepasnya ke market.

Keempat, tidak begitu memahami. Nah ini jujur, saya tidak begitu paham bagaimana teknologi cryptocurrency ini bekerja. Ini salah satu menjadi poin penting ketika saya memilih instrumen.

Kelima, risiko sulit dimitigasi. Keempat alasan di atas membuat risiko crypto benar-benar sulit dimitigasi. Ini faktor terbesar yang membuat saya tidak berani menyimpan aset digital tersebut.

Jadi kesimpulannya apakah crypto layak untuk dijadikan aset investasi/trade?

Kita kembalikan ke diri sendiri, sejauh mana kita mampu mentolerir risikonya. Sebagai orang konservatif, saya selalu memegang prinsip jangan sampai kehilangan uang karena ketidaktahuan dan jangan menyimpan uang di instrumen yang tidak saya pahami.

Tapi bagi orang yang tipe agresif, barangkali crypto sangat cocok untuk jadi alat trading, ya apalagi kalau bukan karena sifat fluktuatif yang super tinggi tersebut

Jadi pandangan saya ini bukan berarti bisa dijadikan rujukan kalau crypto itu tidak layak, karena buktinya sudah banyak orang di luar sana yang berhasil memanfaatkan momentum bearish-bullish dan bisa take profit maksimal.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here