Sejarah makmeugang bermula dari masa Sultan Iskandar Muda. Sebuah tradisi yang membuat laki-laki di Aceh memiliki nilai lebih jelang Ramadan dan Lebaran.
Komparatif.ID, Banda Aceh—Lelaki Aceh harus memiliki tiga kemampuan, bila ingin utuh menjadi bagian kebudayaan. Pertama mampu menyediakan mahar tinggi untuk calon istri.
Kedua, lelaki Aceh harus mampu menyediakan rumah untuk po rumoh (istri), dan ketiga harus mampu memasak—paling utama memqasak daging—seperti sie reuboh, kuah rayek (kuah beulangong). Syarat pertama dan kedua, sebagai simbol kemampuan ekonomi. Syarat ketiga sebagai bentuk keberlangsungan hidup.
Baca: Pulangkah, Nikmati Makmeugang Bersama Ibu dan Ayah
Demikian catatan yang ditulis oleh Muhajir Al-Fairusy, antropolog Aceh, yang berkidmat di STAIN Meulaboh, Aceh Barat. Dalam catatannya yang diposkan di Instagram, Jumat (28/2/2025) Dr. Muhajir Al Fairusy, lelaki Aceh yang memiliki tiga kemampuan itu, dianggap telah memenuhi rukun dan syarat sebagai manusia Aceh yang sempurna secara kebudayaan.
Sejak beberapa tahun ke belakang, Muhajir telah membangun rumah di Gampong Lampermai, Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Kampung tersebut merupakan salah satu permukiman tertua di Aceh Rayek. Desa Lampermai juga turut dituliskan di dalam buku Aceh Sepanjang Abad oleh Muhammad Said. Muhammad Said menulis, Lampermai bukan hanya sebuah permukiman lama manusia di Aceh. tapi juga basis perlawanan dalam perang melawan kolonial Belanda.
Catatan Muhammad Said dapat dibuktikan dengan sebaran bate jrat (nisan) tua yang berukiran aksara Arab. Sebarannya berada di berbagai sudut di Lampermai. Sebagai kampung tua, aktivitas utama warga bidang ekonomi yaitu bertani dan beternak.
Sebagai lelaki Aceh yang lahir, tumbuh, dan besar di Aceh Besar, Muhajir memenuhi ketiga syarat yang ia tuliskan di dalam catatannya. Ia telah menikah, dan telah memiliki rumah. Kemudian, dia memiliki kemampuan memasak daging.
Kemampuan tersebut sangat membantu, karena dirinya seringkali long distance relationship (LDR) dengan sang belahan jiwa yang tinggal di sebuah pulau nan eksotis di sudut Aceh.
Pada Jumat pagi, bertepatan dengan makmeugang rayek di Aceh, Muhajir Al Fairusy memasak sie reuboh khas Aceh Rayek dan kuah rayek.
Meskipun memasak sie reuboh sangat praktis, tapi tidak semua lelaki bisa melakukannya. Khusus lelaki Aceh Rayek, umumnya bisa. Karena sedari kecil mereka dilatih secara tradisional.
Daging untuk bahan baku sie reuboh dikirim oleh seorang pedagang daging sapi musiman, yang ia pesan satu minggu sebelumnya.
Karena istri sedang di kampung halamannya, Muhajir harus memasaknya sendiri. Dia membersihkan daging, memotong sesuai kebutuhan, menyiapkan bumbu, memarinasi daging, dan memasaknya menggunakan wadah beulangong tanoh.
Menikmati sajian makmeugang sungguh tidak sedap bila dilakukan sendirian. Muhajir mengundang beberapa mahasiswa yang selama ini intens berkomunikasi dengannya dalam konteks studi.
Setelah sie reuboh dan kuah rayek tanak, mereka menikmatinya dengan perasaan gembira. Kuah rayek menjadi santapan utama mereka.
Karena sangat sibuk dengan aktivitas akademik dan riset antropologi, Muhajir juga memasak sie reuboh dalam jumlah yang cukup untuk kebutuhannya selama Ramadan. Inilah sisi unik sie reuboh. Mampu bertahan lama, karena tidak menggunakan santan, serta dicampur dengan lemak hewani (gapah) berkualitas terbaik di kelasnya.
Gapah merupakan pengawet alamiah, campuran cuka enau membuat daging empuk, campuran rempah seperti cabai merah, bawang merah, cabai kecil, dan beberapa rempah lainnya khas kari Aceh. setiap kali hendak disantap, tinggal dipanaskan saja di dalam wajan beulangong tanoh.
Muhajir menulis, keahlian memasak sie reuboh dia dapatkan dari ibunya yang telah berpulang ke haribaan Ilahi beberapa waktu lalu. Sang ibu mengajari Muhajir dengan kemampuan meramu dan memasak sie reuboh. Antropolog tersebut menyebutkan dengan bahasa sederhana; resep emak. Artinya resep dari sang bunda.
Lampermai sangat melekat di hati sang antropolog bertitel doktor tersebut. Sampai saat ini di Lampermai belum pernah terjadi pencurian, dan perampokan. Mungkin kata permai telah menjadi ideologi khusus di jiwa masyarakatnya, betapa Lampermai harus dijaga oleh semua orang, demi kemaslahatan dan tanggung jawab terhadap sejarah besarnya di masa lalu.
Dari catatan yang dikumpulkan Komparatif.ID, dari berbagai literatur, awal mula makmeugang di Aceh, bermula dari zaman Sultan Iskandar Muda Meukuta Alam. Sang Sultan memerintahkan pihak istana menyembelih lembu dan kerbau, yang kemudian dagingnya dimasak, dan dimakan bersama. Rakyat yang hidup di sekitar istana juga mendapatkan bagian daging mentah dari pihak Istana Daruddunia.
Lama kelamaan timbul istilah makmeugang yang menjadi simbolis kemampuan ekonomi lelaki Aceh. Setiap makmeugang tiba, setiap lelaki Aceh menganggap dirinya tidak berharga bila tidak mampu membawa pulang setumpuk daging untuk keluarganya.
Bahkan, bagi kalangan tak berpendidikan, ketidaksanggupan membawa pulang daging, menjadi pemicu tindak kriminal, dan bahkan bunuh diri.
Akan tetapi seiring berkembangnya ilmu pengetahuan dan perubahan zaman, meskipun makmeugang tetap sakral, tapi tindakan-tindakan nekat menyakiti diri sendiri, semakin jarang terdengar.
> Kedua, lelaki Aceh harus mampu menyediakan rumah untuk po rumoh (istri)
saya kira ini nggak benar, mengada-ngada dan memutar-balikkan fakta. fakta bahwa banyak laki-laki di aceh tinggal di tempat istri, makanya istri dalam bahasa aceh po rumoh = pemilik rumah.
klo laki-laki yang menyediakan rumah, laki-laki (suami) lah = yang po rumoh, bukan istri.