Konservasi Tanpa Keadilan: Gajah Aman, Warga Terancam

Konservasi Tanpa Keadilan: Gajah Aman, Warga Terancam
Asma Fitri. Foto: Ho for Komparatif.ID.

Akhir Mei 2025, jagat media sosial dipenuhi video kawanan gajah liar yang menyeberangi Sungai Pamar, Aceh Tengah. Bukan satu-dua, tapi sekitar 30 ekor gajah liar melintas, lalu bergerak mendekati pemukiman warga.

Video itu memang menakjubkan jika dilihat dari layar. Tapi bagi warga di sekitar lokasi, ini adalah alarm bahaya, bukan tontonan eksotis.

Konflik antara manusia dan gajah kembali mencuat. Dan seperti biasa, petani harus berjaga sepanjang malam, menunda panen, bahkan ada yang terpaksa mengungsi.

Kasus seperti ini bukan hal baru. Di Aceh Tengah khususnya di Rusip Antara, Ketol, dan Linge konflik gajah dan manusia sudah berlangsung bertahun-tahun. Gajah merusak ladang jagung, kebun kopi, hingga cabai. Kadang masuk sampai ke kampung.

April lalu, warga menggelar protes di DPRK Aceh Tengah. Mereka membawa kotoran gajah sebagai simbol protes dan menyalakan mercon bukan untuk menyerang, tapi sebagai ekspresi frustasi. Tuntutannya sederhana: perlindungan. Bukan hanya untuk gajah, tapi juga untuk manusia yang hidup berdampingan dengan habitat mereka.

Masalah utamanya bukan sekadar “gajah masuk kampung”. Tapi ketimpangan dalam perlindungan. Gajah mendapat perlindungan hukum, ada lembaga konservasi, bahkan perhatian dunia.

Baca jugaDari Desa, Oleh Elit, untuk Statistik?

Sementara warga? Mereka menghadapi kerugian tanpa jaminan. Laporan lambat ditanggapi, tidak ada sistem kompensasi yang cepat, dan mereka tidak boleh sembarangan mengusir gajah karena ancaman pidana.

Warga merasa terjebak antara dua sistem yang timpang: satu yang melindungi gajah sepenuhnya, dan satu lagi yang gagal melindungi manusia.

Tidak ada yang menolak pentingnya konservasi. Tapi pendekatan yang tidak adil dan tidak manusiawi akan berbalik menjadi ancaman bagi konservasi itu sendiri. Jika masyarakat terus merasa dirugikan, gajah tak lagi dianggap sebagai warisan alam tapi sebagai ancaman nyata.

Konservasi seharusnya bukan hanya tentang hukum dan kawasan lindung, tapi juga tentang rasa keadilan dan kepercayaan. Dan itu hanya bisa lahir jika masyarakat dilibatkan secara bermakna.

Apa yang Bisa Dilakukan?

  1. Bangun tim siaga cepat di kecamatan rawan, dengan alat pengusir nonmilitan.
  2. Berikan kompensasi nyata bagi petani yang rugi. Ganti rugi adalah bentuk kepedulian negara.
  3. Libatkan masyarakat lokal dalam konservasi. Mereka paham pola gerak gajah dan bisa jadi mitra.
  4. Aktifkan kembali pendekatan adat dan nilai sosial yang pernah berhasil meredam konflik.
  5. Dorong peran kampus dan pemuda. Mahasiswa dan peneliti bisa menjembatani suara warga ke kebijakan.
Luka yang Tak Terlihat

Konflik ini tak hanya soal ekonomi. Ini juga soal ketegangan psikologis: orang tua yang tak bisa tidur, anak-anak yang takut bermain, dan petani yang mulai kehilangan harapan.
Kalau terus dibiarkan, luka ini akan berubah menjadi kebencian terhadap negara dan program konservasi. Bahkan bisa berujung pada aksi balas dendam terhadap satwa itu sendiri.

Sudah saatnya kita berhenti menormalisasi penderitaan masyarakat lokal. Karena gajah memang perlu dilindungi. Tapi manusia juga. Khususnya mereka yang tinggal paling dekat dengan hutan, namun paling jauh dari perlindungan.

Penulis: Asma Fitri, Mahasiswa Pengembangan Masyarakat Islam, Fakultas Dakwah dan Komunikasi, UIN Ar-Raniry Banda Aceh.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here