Komparatif.ID, Khartoum— Konflik Sudan makin berbahaya dan masih berlanjut hingga minggu ketiga, meski PBB telah memberikan peringatan akan terjadinya perang saudara antara Rapid Support Forces (RSF) dan Pemerintah militer.
Konflik Sudan semakin memanas usai kedua belah pihak saling menuduh melanggar gencatan senjata yang diperbaharui. Meskipun demikian, keduanya sepakat untuk memperpanjang gencatan senjata selama 72 jam ke depan.
Pihak militer mengatakan bahwa mereka berharap pihak “pemberontak” akan mematuhi perjanjian tersebut. Namun, mereka yakin bahwa pemberontak berencana untuk terus menyerang. Konflik ini telah menyebabkan setidaknya 528 orang tewas dan 4.599 orang terluka sejak tanggal 15 April 2023 lalu.
Konflik Sudan di ibukota Khartoum, memperlihatkan pasukan Rapid Support Forces (RSF) menyebarkan diri di seluruh kota, sementara militer mencoba melumpuhkan mereka dengan menggunakan serangan udara dari pesawat tempur dan drone.
Konflik Sudan ini telah membuat puluhan ribu orang melarikan diri ke perbatasan dan memicu peringatan bahwa negara ini bisa saja runtuh, mengganggu daerah yang sudah stabil, dan membuat negara-negara asing berusaha memulangkan warganya.
Koordinator bantuan darurat PBB, Martin Griffiths, yang diumumkan sebagai utusan ke daerah tersebut pada hari Minggu (30/4/2023), mengatakan bahwa “situasi kemanusiaan di negara itu mencapai titik puncak”.
Pencurian besar-besaran dari kantor dan gudang kemanusiaan telah “menghabiskan sebagian besar persediaan. Kami sedang mencari cara yang mendesak untuk membawa dan mendistribusikan pasokan tambahan,” katanya.
“Solusi yang jelas adalah menghentikan pertempuran,” tambahnya. Namun, prospek untuk negosiasi terlihat suram.
“Tidak ada negosiasi langsung, ada persiapan untuk pembicaraan,” kata perwakilan khusus PBB di Sudan, Volker Perthes, kepada wartawan di Port Sudan.
Volker menambahkan bahwa negara-negara regional dan internasional sedang bekerja dengan kedua belah pihak.
Baca juga: Pemerintah Aceh Evakuasi Mahasiswa yang Belajar di Sudan
Konflik Sudan
Pemimpin militer, Jenderal Abdel Fattah al-Burhan, mengatakan bahwa ia tidak akan pernah duduk bersama kepala RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang dikenal sebagai Hemedti. Sementara pihak Hemedti sendiri mengatakan mereka hanya akan berbicara setelah militer menghentikan agresi.
Griffiths juga mengatakan bahwa masyarakat berjuang untuk mengakses air, makanan, bahan bakar, dan komoditas lainnya.
Badan pengungsi PBB merilis data baru pada hari Sabtu yang menunjukkan sekitar 6.000 orang, sebagian besar perempuan, melarikan diri dengan hanya pakaian yang mereka kenakan dan tidak membawa apapun. Mereka sangat membutuhkan air, makanan, dan tempat berteduh.
Tapi sayangnya, kondisi pengungsian di Republik Afrika Tengah juga tidak lebih baik. Sebagai salah satu negara termiskin di dunia, pemerintahnya tidak mampu memberikan bantuan yang memadai bagi para pengungsi Sudan.
Banyak dari pengungsi akibat konflik Sudan terpaksa tinggal di jalanan dan tempat-tempat terbuka, terpapar pada cuaca yang sangat panas dan berisiko terkena penyakit. Situasi ini semakin memperburuk kondisi krisis kemanusiaan yang terjadi di Sudan, dengan ribuan orang yang terus mengalami penderitaan dan kesulitan untuk bertahan hidup.
Disadur dari The Guardian, Reuters, AP