KNPI Kota Banda Aceh Bagi Daging Makmeugang untuk Pengurus

KNPI Banda Aceh Bagikan Daging Makmeugang untuk pengurus
Sejumlah pengurus KNPI Kota Banda Aceh, Senin (28/3/2022) sedang menyiangi daging makmeugang yang dibagikan kepada seluruh anggota KNPI di sana. Foto: Ist.

Komparatif.id– Ada hal baru yang dilakukan oleh Ketua Komite Nasional Pemuda Indonesia (KNPI) Kota Banda Aceh. Pada Senin (28/3/2022) Ketua KNPI Banda Aceh, Aulia Rahman, membagikan daging makmeugang kepada seratusan pengurus.

Aulia Rahman menyebutkan, meskipun makmeugang masih beberapa hari lagi, dia ingin pengurus KNPI Banda Aceh terlebih dahulu menikmati daging yang dibagikan oleh KNPI Kota Banda Aceh.

“Tujuan penyembelihan dan pembagian daging makmeugang dipercepat, agar lebih dahulu dinikmati bersama keluarga,” kata Aulia.

Lembu yang disembelih oleh KNPI Kota Banda Aceh, sudah dibawa ke kantor lembaga tersebut sejak pukul 07.00 WIB. Penyembelihannya dilakukan di rumah potong. Panitia yang dibentuk, bekerja sangat giat.

“Kegiatan ini juga untuk memperkuat silaturahmi. Kalau dilakukan bertepatan dengan makmeugang, semua pengurus pasti sedang sibuk di rumah masing-masing,” kata Aulia.

Selain pembagian daging mentah, KNPI juga menggelar masak kuah beulangong, dan makan bersama di kantor tersebut.

Dikutip dari situs Kemendikbud, makmeugang atau yang juga biasa disebut dengan meugang, merupakan salah satu tradisi masyarakat Aceh dalam memuliakan tiga momentum penting dalam ajaran agama Islam. Dilaksanakan tepat satu hari sebelum memasuki bulan suci Ramadhan (meugang puasa), hari terakhir berpuasa atau satu hari sebelum memasuki hari raya Idulfitri (meugang uroe raya puasa), dan sehari sebelum Iduladha (meugang uroe raya haji).

Tradisi makmeugang hampir-hampir mirip dengan ritual penyembelihan hewan kurban pada setiap peringatan hari raya Iduladha dalam ajaran agama Islam. Perbedaannya terletak pada sebab dan tujuan yang melatari terlaksananya tradisi tersebut. Jika penyembelihan yang terjadi di setiap memperingati hari raya Iduladha adalah pengorbanan yang diwajibkan agama atas orang-orang yang memiliki kemampuan lalu kemudian membagikan sebagian dari hasil sembelihan tersebut kepada fakir miskin, adapun tradisi makmeugang ini lebih dilatari oleh rasa sosial dan kekeluargaan yang tumbuh di tengah-tengah masyarakat Aceh.

Menurut sumber tertulis, tradisi ini berawal sejak zaman Kesultanan Aceh pada sekitar abad XVII, atau pada masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda. Pada saat itu sultan mengadakan acara penyembelihan ternak sapi dalam jumlah yang sangat banyak, kemudian dagingnya dibagikan keseluruh rakyatnya sebagai ungkapan rasa syukur kepada Allah atas kemakmuran dan kesejahteraan negeri yang dipimpinnya dan sekaligus sebagai bentuk ungkapan rasa terima kasih sultan kepada rakyatnya yang telah mengabdi dan terus mendukung pemerintahannya.

Seiring perputaran waktu, oleh Sultan, tradisi makmeugang ini pada akhirnya terlembagakan dengan baik, prosesi pelaksanaan makmeugang ini tertuang dalam Qanun Meukuta Alam Al-Asyi (Undang-undang Kesultanan Aceh). Qanun/undang-undang yang mengatur tentang tata cara pelaksanaan makmeugang. Diawali dengan melaksanakan pendataan jumlah fakir miskin dan yatim piatu yang berhak mendapatkan daging pada saat hari makmeugang sebulan sebelum masuknya bulan suci Ramadhan.

Bahkan tersebut juga bahwa Sultan juga pernah memerintahkan para Uleebalang untuk menyubsidi masyarakat miskin yang tidak sanggup untuk membeli daging pada saat hari makmeugang. Jadi, awal munculnya tradisi makmeugang ini adalah dikarenakan adanya campur tangan kesultanan pada masa itu, merekalah yang menghidupkan tradisi makmeugang di tengah-tengah masyarakat Aceh.

Selepas runtuhnya Kesultanan Aceh pada awal abad XX (1903), secara otomatis tidak ada lagi lembaga resmi yang mengatur tentang tradisi makmeugang ini. Tradisi ini tetap hidup dan bertahan akan tetapi mengalami pergeseran-pergeseran. Jika pada masa kesultanan dahulu yang menanggung seluruh biaya pengadaan hewan-hewan sembelihan tersebut (sapi atau kerbau) adalah pihak kesultanan, namun pada masa setelahnya masyarakatlah yang menanggung biaya tersebut, baik secara urunan ataupun sendiri-sendiri.[]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here