Komparatif.ID, Jakarta—KKR Aceh perlu ditinjau ulang keberadaannya di Serambi Mekkah. Secara hukum, cantolannya tidak ada lagi setelah Undang-Undang Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (UU KKR) dihapuskan oleh Pemerintah Pusat.
Demikian disampaikan oleh Koalisi Masyarakat Sipil Aceh (Komasa) yang terdiri dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Forum Jurnalis Aceh (FJA), Ikatan Advokat Indonesia (Ikadin) Aceh, dan Jaringan Kemandirian Nasional (Jaman).
Sampai saat ini KKR Aceh tidak memiliki cantolan Undang-Undang, setelah UU KKR dihapuskan oleh Pemerintah Pusat. Di sisi lain, hingga saat ini Komisi Klaim tak kunjung dibentuk. Ke depan, tugas-tugas yang selama ini dibebankan kepada KKR Aceh, dapat dialihkan ke Komnas Hak Asasi Manusia (HAM).
Ketua Umum FJA H. Muhammad Saleh, Selasa (3/10/2022) saat menyerahkan draft revisi Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, kepada Kementerian Politik Hukum dan Keamanan (Kemenpolhukam) menyebutkan alasan urgen perubahan UUPA, yakni terkait dengan keberadaan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) Aceh dan Komisi Klaim.
“Mungkin perlu dikaji ulang keberadaan KKR yang undang-undangnya sudah dihapuskan MK, apakah lembaga ini efisien atau tupoksinya diserahkan ke Komnas HAM saja, selain itu Komisi Klaim juga belum ada,” sebut Saleh.
Penyerahan draft revisi UU Nomor 11 Tahun 2006 atau yang dikenal pula dengan sebutan UUPA, diterima oleh Deputi 1 Politik Dalam Negeri yang diwakili oleh Asisten Deputi Koordinasi Otonomi Khusus I Politik Dalam Negeri, Brigjen TNI Danu Prionggo, di Kantor Kemenpolhukam, Jakarta.
“Saya ucapkan terima kasih atas kehadiran teman-teman dari Aceh, kita dari Kemenpolhukam sifatnya mengkoordinasi, untuk itu kita minta dari Kemendagri juga hadir,” ujar Danu Prionggo yang didampingi oleh Kolonel Ade Ikhwan.
Ketua YARA Safaruddin bersama Ketua Umum FJA, Muhammad Saleh dan Sekjen FJA Ahmad Mirza Safwandy dan sejumlah advokat Ikadin di antaranya, Dato’ Yuni Eko Hariatna, Fuad Hadi, dan Sahputra menyampaikan sejumlah poin penting dalam draft tersebut.
Safaruddin mengungkapkan, usulan yang disampaikan pihaknya merupakan penyesuaian norma dalam UUPA. Selain itu, lelaki yang akrab dipanggil Safar ini mengatakan, perubahan UUPA juga dilatarbelakangi oleh beberapa putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah mengeliminir sejumlah pasal di dalam UUPA.
“Tentunya, kita mencermati sejumlah perkembangan hukum dan politik yang terkait langsung dengan UUPA, seperti adanya penyesuaian norma, putusan MK, perluasan kewenangan Aceh dalam bidang migas, kelautan, dan terkait dengan pengelolaan aset,” ujar Safaruddin.
Safar mengapresiasi Deputi Poldagri Kemenkopolhukam yang langsung memfasilitasi pihaknya dengan Direktorat Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri)
“Kami mengapresiasi Direktorat Poldagri yang langsung memfasilitasi dengan Dirjen Otda Kemendagri, apa yang kami sampaikan adalah aspirasi dari masyarakat terkait dengan rencana revisi UUPA.” ungkapnya.
Senada dengan Safar, Ketua Umum FJA Muhammad Saleh menuturkan, perubahan UUPA diharapkan memberikan ruang terhadap partisipasi publik.
“Perubahan UUPA harus berjalan dengan spirit partisipatif, setahu kami elemen masyarakat sipil belum mendapatkan akses terhadap draft yang dibahas oleh DPRA dan Pemerintah Aceh, saya kira ini perlu menjadi atensi dan upaya para pihak di Aceh,” tuturnya.
Selain KKR, Penunjukan Kapolda Juga Perlu Ditinjau Ulang
Ahmad Mirza Safwandy menambahkan, sejumlah poin di dalam revisi UUPA perlu menjadi perhatian bersama.
“Banyak poin penting di dalam UUPA yang layak kita diskusikan kembali, momentum perubahan ini harus mendapatkan tempat bagi publik, hal-hal seperti pilkada langsung, penunjukan Kapolda Aceh dan Kajati Aceh perlu rasionalisasi secara politik hukum,” kata Mirza.
Selanjutnya, selain bertemu dengan sejumlah tokoh sipil dan militer, Komasa juga beraudiensi ke Kapusinfostrahan Bainstrahan Kemhan Brigjen TNI Robi Herbawan dan menyampaikan isu-isu perubahan UUPA terkait dengan pertahanan dan keamanan.