Kisah Suami Istri yang Disiksa di Rumoh Geudong

Rumoh Geudong korban pelanggaran ham berat
Lokasi bekas Rumoh Geudong sedang dibersihkan jelang kedatangan Presiden RI Joko Widodo untuk melakukan kick off menyelesaian kasus pelanggaran HAM berat secara non yudisial. Kegiatan pembersihan dilakukan Rabu (22/6/2023). Foto: Dikutip dari Facebook Raihal Fajri.

Komparatif.ID, Banda Aceh—Pemerintah Indonesia telah memasukkan tragedi Rumoh Geudong sebagai salah satu kasus pelanggaran HAM berat yang akan diselesaikan melalui cara non yudisial.

Presiden RI Ir. Joko Widodo akan berkunjung ke lokasi tempat Rumoh Geudong pernah berdiri, sebelum akhirnya dibakar massa—yang terprovokasi—setelah pencabutan DOM di Aceh pada 1999.

Baca:Pemerintah Akui 12 Pelanggaran HAM Berat di Masa Lalu

Rumah tempat penyiksaan warga yang dituduh terlibat GAM sepanjang Operasi Jaring Merah sepanjang 1989-1998, kini hanya menyisakan anak tangga yang terbuat dari beton. Itulah satu-satunya sisa bangunan yang tidak dilumat api kala dibakar oleh massa.

Rumah yang berlokasi di Gampong Bilie Aron, Kecamatan Geulumpang Tiga, Pidie, merupakan saksi bisu tentang penyiksaan tak berperikemanusiaan yang dilakukan oleh Kopassus yang dibantu oleh sejumlah cuak (informan) lokal yang sering juga ikut menjadi algojo. Cuak-cuak itu entah bagaimana, sangat membenci orang Aceh yang dibawa ke Rumoh Geudong. Menurut kesaksian sejumlah korban yang selamat, para cuak itu lebih kejam dari Kopassus. Mereka seumpama anjing, yang hina dina, dan tak pantas disebut manusia. Demikian pendapat sebagian korban yang selamat, ataupun keluarga korban.

Baca: Infografis, Operasi Militer di Aceh untuk Memberantas GAM

Sesuai informasi, pada Selasa (27/6/2023) Presiden Jokowi akan bertandang ke sana, berdiri di dekat tangga dan akan melakukan kick off penyelesaian 12 kasus pelanggaran HAM berat di Indonesia.

Pemerintah berencana membangun masjid megah di bekas Rumoh Geudong. Rencana itu sayup-sayup dibincangkan di kalangan akar rumput terpelajar. Mereka menyoal kesungguhan Pemerintah Indonesia menyelesaikan kasus pembantaian terhadap rakyat Aceh. non yudisial merupakan upaya pemerintah menyelematkan para aktor dari hukuman. Rencana pembangunan masjid merupakan tutup mulut cara halus supaya korban tidak dapat bicara banyak.

“Untuk apa lagi masjid di Aceh? Berapa ribu sudah masjid dibangun?” Gugat seorang warga, Selasa (21/6/2023).

Baca: Merawat Sejarah Tragedi Rumoh Geudong

Warga tersebut mengatakan, kesungguhan hati Pemerintah belum tercermin jelas. Bila kelak masjid dibangun, apa hubungannya dengan tragedi Rumoh Geudong? Apa yang menjadikan tragedi Rumoh Geudong akan dikenang sebagai salah satu bentuk kebiadaban aparat negara terhadap rakyat kecil, bila yang dibangun adalah masjid?

Suami Istri Disetrum dan Ditelanjangi di Rumoh Geudong

Peristiwa tersebut bermula pada Kamis, 17 Juli 1997. Sepasang suami istri warga Tangse, Pidie, pada Magrib dibawa paksa ke Rumoh Geudong. Setibanya mereka di sana, langsung diperiksa.

Teungku Hf dan istrinya Mr diperiksa seolah-olah oleh tentara penjajah dari luar negeri. Tak simpatik sedikitpun. Mereka diperlakukan sebagai musuh. Jargon tentara manunggal bersama rakyat, tagline ABRI adalah anak kandung rakyat, tak tampak sama sekali. Para prajurit itu tak ubah seperti kumpulan serigala lapar. Buas dan menakutkan.

Malam itu, setelah diperiksa cukup lama dan melelahkan, keduanya diberikan kesempatan beristirahat.

Jumat pagi, 18 Juli 1997, sekitar pukul 10.00 WIB, pasangan suami istri tersebut kembali diperiksa. Prajurit Kopassus menanyakan informasi tentang Panglima Perang GAM, Jenderal Teungku Abdullah Syafii.

Pagi Jumat itu merupakan awal petaka, sebuah siksaan maha dahsyat tak terperi. Di hari yang mulia [Jumat] Teungku Hf dan Mr ditelanjangi. Tubuh mereka dililiti kabel listrik. Kabel hitam dijepitkan di kemaluan, dan kabel merah ditaruh di payudara. Sembari diinterogasi, keduanya disetrum dalam kondisi telanjang.

Sakitnya tak terperi. Rasa-rasanya, jantung berhenti berdetak, darah berhenti mengalir di dalam nadi. Wajah mereka pucat pasi. Andaikan tak ada iman di dalam dada, mati adalah pilihan paling mungkin dipilih saat itu. Siksa itu sangat sakit.

Dengan rasa remuk redam, mereka berdua diperiksa secara terpisah. Mr tak tahu seperti apa suaminya disiksa di ruangan lain. Tapi dirinya mengaku siksaan itu tak terperi. Ia akhirnya mengakui mengetahui informasi tentang Abdullah Syafii dan pengikutnya. Pengakuan itu rupanya menambah marah pasukan militer tersebut.

Mr mengiba-iba supaya suaminya tidak lagi disiksa. Ia rela mati asalkan sang kekasih hati dipadai siksanya. Tapi Kopassus dan tenaga pembantu operasi tidak peduli.

Pada hari penuh siksaan itu, anak mereka yang masih berusia 18 bulan turut dibawa. Bayi itu digantung, kemudian dilempari tawon hidup. Mr meraung-raung meminta supaya bayinya tidak ikut disiksa. Tapi pelaku tidak peduli. Bayi merah yang tidak tahu menahu tentang apa pun disengat tawon di bagian pipi dan di dada. Bayi itu kesakitan. Tidak sanggup menahan sakit.

Setelah siksaan maha dahsyat di hari kedua, akhirnya mereka disiksa setiap tiga hari sekali. Saat itu Mr sedang hamil enam bulan. Tapi aparat yang bermarkas di sana tidak peduli. Ia tetap disiksa. Mereka disetrum setiap kali diinterogasi. Kabel setrum ditaruh di hidung dan kemaluan. Akan tetapi setelah mengetahui Mr hamil, kabel setrum dipindah ke paha.

Mr baru dibebaskan dari kamp penyiksaan Rumoh Geudong setelah melahirkan. Tepatynya setelah tiga hari melahirkan. Sedangkan suaminya baru keluar berbulan-bulan kemudian.

Meski telah di luar “neraka”, Mr tetap harus berjuang. Anak sulungnya sakit-sakitan karena seringkali dipukuli ketika mereka ditahan. Ekonomi mereka hancur. Seekor ternak ditembak tentara, dan satu sepeda motor diambil paksa.

Catatan redaksi: Kisah ini disadur dari buku Fakta Bicara; Mengungkap Pelanggaran HAM di Aceh 1989-2005, yang ditulis oleh Nasrun Marzuki dan Adi Warsidi, diterbitkan oleh Koalisi NGO HAM.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here