Khanduri Budaya Lamteuba digelar untuk merawat kebuadayaan mukim yang berada di pelukan rimba Gunong Seulawah. Ada ketulusan dari penggiat budaya demi menjaga kekayaan budaya endatu.
Lamteuba merupakan kawasan eksotis di pinggang Gunung Seulawah. Berjumlah delapan gampong, Mukim Lamteuba terus ada demi merawat narasi keacehan. Manusia dan alam di kawasan tersebut hidup harmoni. Perangkat adatnya masih lestari di tengah perubahan zaman yang kian mendisrupsi perilaku manusia.
Berapa usia Mukim Lamteuba yang kini masuk wilayah Kecamatan Seulimeum? Belum ada penelitian. Tapi bila melihat enskripsi yang dipahat di Masjid Tua Lamteuba, bahwa masjid itu dibangun 1306 Hijriah (1885 Masehi), patut diduga kemukiman tersebut telah ada jauh sebelum masjid itu dibangun.
Ke wilayah itulah Iskandar bin Ishak (Tungang) bertandang demi sebuah idenya yang terus berkelindan. Pria kurus berambut lurus tersebut datang dengan sebuah ide besar; Khanduri Budaya Lamteuba (Khabulat). Bila diterjemahkan secara harfiah, kha berarti keras (terkait sifat), dan bulat yang artinya tekadnya sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Dengan demikian, Khanduri Budaya Lamteuba merupakan sebuah ide besar yang harus dilaksanakan, meskipun Iskandar dan teman-temannya mesti berkejaran dengan waktu.
Baca: Mukim Lamteuba, Sejarah dan Kebudayaannya
Sejak Sabtu, 23 Desember hingga Senin, 25 Desember 2023, Iskandar Tungang dan teman-temannya dari beberapa komunitas menghadirkan kemeriahan di Lamteuba. Di Gampong Lambada, sebuah pameran hadir di tengah keriuhan masyarakat yang berbelanja kebutuhan rumah tangga pada uroe gantoe (hari pekan) yang digelar setiap Sabtu. Di keramaian itu digelar Peukan Lamteuba; berupa sebuah pameran teknologi sederhana, dan hasil produksi masyarakat.
Saat menyusuri Peukan Lamteuba dalam naungan Khanduri Budaya Lamteuba, pengunjung seperti disedot ke era tahun 80-an. Terlihat sangat vintage. Pun demikian Khabulat berhasil menghadirkan suasana masa lampau yang berbatas dengan kondisi masa kini. Antara masa lampau dan masa kini bersatu dalam satu pigura.
Kemeriahan Khanduri Budaya Lamteuba di Peukan Lamteuba tak berhenti sampai selesai acara siang. Malamnya, ribuan masyarakat dari delapan gampong di Mukim Lamteuba, tumpah ruah ke Pasar Lambada. Mereka menyaksikan pagelaran Malam Budaya Lamteuba.
Ada sifeut, dike seulaweut, cagoek,hiem, cae, rapai tradisi, dan live painting. Warga benar-benar terhibur. Mereka tergelak bersama di bawah langit mendung. Apa Kaoy, Agus PMTOH, dan segenap seniman lainnya yang tampil di atas pentas, dengan aksi-aksi jenaka mereka, mampu mengocok perut ribuan penonton yang tumpah ruah di pasar. Jangan tanya berapa bungkus mi goreng laku malam itu. Berapa bakso goreng yang berhasil dijual? Sungguh banyak pedagang kecil yang meraih untung lebih di Khanduri Budaya Lamteuba.
Pada Minggu, 24 Desember 2023, Khanduri Budaya Lamteuba menggelar Sikula Budaya. Pendidikan kebudayaan Lamteuba tersebut berisi pengetahuan seputar kebudayaan yang include membahas tentang kearifan lokal tempatan.
Puncak acara yaitu digelarnya Duek Pike Budaya di sebuah balai di kompleks makam Teungku Keumeureuk, Senin, 25 Desember 2023. Perwakilan delapan gampong masing-masing dari Ateuk, Lam Apeng, Blang Tingkeum, Lambada, Lamteuba Droe, Meurah, dan Gampong Pulo.
Dalam acara Duek Pike Budaya Lamteuba dibahas berbagai kearifan lokal. Mulai dari tata cara turun ke sawah, masa panen, pascapanen. Tata cara berburu rusa, kijang, dan kancil. Tata cara berburu madu liar, dan lain-lain. Acara itu ikut dihadiri oleh Kepala Balai Pelestarian Nilai Kebudayaan Provinsi Aceh Piet Rusdi. Dosen Antropologi UIN Ar-Raniry Reza Indria, Filolog Aceh-Melayu; Dosen Kajian Teks Naskah Klasik yang juga akademisi UIN Ar-Raniry Hermasyah Yahya (Herman Khan), Antropolog Aceh yang juga akademisi IAIN Meulaboh Muhajir Al-Fairusy, Imum Mukim Lamteuba Bahrun Yunus, dan sejumlah tokoh setempat.
Sembari para tokoh tempatan dan akademisi membahas perihal kebudayaan Lamteuba, perwakilan warga memasak kuah beulangong yang dicampung hati batang pisang liar (musa spp) atau dalam bahasa aceh disebut pisang bu.
Warga memasak kuah beulangong dan sie manok reubong kala, di tengah hujan yang terkadang deras, terkadang rinai. Kemeriahan dalam balutan tradisional tergambar jelas. Dengan riang gembira warga bekerja sama. Guyon-guyon kecil bertaburan sepanjang aktivitas memasak kari khas Aceh besar.
Khanduri Budaya Lamteuba, Ikhtiar Merawat Peradaban
Inisiator Khabulat Iskandar bin Yahya (Tungang) mengatakan kawasan tersebut sangat eksotis. Masyarakat yang telah tinggal di sana selama bergenerasi sekuat tenaga merawat kebudayaan tinggalan endatu (nenek moyang). Permukiman di tengah pelukan rerimbunan hutan hujan tropis Seulawah, memiliki sejumlah local wisdom yang perlu menjadi perhatian, supaya terus ada, demi menjaga rasa dan citra Aceh di masa depan.
“Kawasan ini masih menyisakan peradaban masa lalu. Rumoh Aceh, rumah panggung yang menjadi khas masyarakat agraris di Aceh, masih dapat dijumpai di sini. Pun demikian, rumah beton juga mulai marak dibangun. Di sini kita dapat melihat perubahan yang berjalan pelan. Disrupsi dalam bentuk bangunan hunian warga,” sebut Iskandar.
Iskandar berharap Khabulat menjadi titik awal komitmen merawat kebudayaan yang sangat eksotis. Tanpa peran serta masyarakat tempatan, cita-cita itu mustahil maujud. Sebagai peminat kajian, dosen Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Aceh tersebut berharap Khabulat merupakan langkah awal untuk menjadikan Lamteuba sebagai mukim budaya yang kelak dapat menjadi salah satu tempat untuk melihat Aceh di masa depan.