Komparatif.ID, Banda Aceh—Ketua TP PKK Aceh Ayu Chandra Febiola Nazuar, menyoroti minimnya alokasi dana desa untuk sektor kesehatan. Meskipun secara aturan pemerintah telah menetapkan 20 persen DD untuk sektor kesehatan, dalam prakteknya, banyak sekali gampong di Aceh yang belum melakukannya.
Hal tersebut disampaikan oleh Ketua TP PKK Aceh tersebut, ketika ikut berbicara pada silaturahmi dengan wartawan di Restoran Pendopo Aceh, Sabtu (10/12/2022).
Pada pertemuan tersebut Ketua TP PKK Aceh Ayu Chandra Febiola Nazuar menyebutkan, saat ini masih banyak persoalan kesehatan di tingkat desa yang membutuhkan penanganan serius. Mulai tingginya angka stunting, hingga minimnya peran ayah di dalam pengasuhan anak.
Baca juga: Menyoal Kualitas Bimtek yang menyasar Desa di Bireuen
Akan tetapi para aparatur gampong di Aceh, sepertinya masih mengabaikan hal tersebut. Bahkan masih banyak desa di Aceh yang memberikan honorarium kader PKK secara tidak pantas. Di bawah Rp300 ribu per orang per bulan. Bahkan ada yang gonta-ganti kader bila terjadinya pergantian keuchik.
Ayu Chandra Febiola yang merupakan sarjana komunikasi menyebutkan, penanganan stunting harus dilakukan dari hulu ke hilir. Tidak bisa parsial. Penyebab stunting bukan semata karena minimnya pasokan makanan bergizi ke tubuh bayi dan anak-anak. Tapi juga faktor kesehatan ibu hamil, dan kebersihan tempat tinggal dan lingkungan.
Keberadaan posyandu juga sangat berperan penting dalam mewujudkan kampanye pengurangan jumlah bayi stunting.
“Masih banyak persoalan bidang kesehatan di tingkat desa di Aceh. Tapi, saya mohon maaf ya, masih sangat banyak aparatur desa di Aceh yang belum mengalokasikan dana desa sebesar 20% untuk sektor kesehatan,” sebut Ketua TP PKK Aceh Ayu Chandra Febiola.
Saat ini di Aceh ditemukan lagi kasus polio. Ayu juga prihatin, karena sesuai data, bila seorang anak telah terkena polio tidak ada peluang lagi untuk sembuh. Hanya dapat diobati saja agar tidak lebih parah.
“Masih banyak persoalan di tingkat masyarakat. Tapi anggaran desa untuk itu sangat minim,” sebut Ketua TP PKK Aceh.
Seorang peserta silaturahmi menyebutkan, minimnya dana desa untuk sektor kesehatan masyarakat, disebabkan oleh intervensi pihak-pihak berpangkat di level kabupaten, yang meminta jatah dari dana desa.
Mereka menggunakan keuchik-keuchik culas, sebagai agen lapangan, demi memaksa kepala desa dan perangkatnya mengikuti bimbingan teknis abal-abal ke luar provinsi, dan di dalam provinsi, dengan jumlah anggaran fantastis.
Bireuen, Aceh Utara, Aceh Tenggara, dan sejumlah kabupaten lainnya, merupakan daerah yang dana desanya diintervensi paksa oleh sejumlah oknum di lembaga penegakan hukum, bekerja sama dengan cukong lokal.
Di sisi lain, kepala daerah tingkat II tidak memiliki keberanian melarang, karena ada masalah-masalah lain yang membuat mereka tidak berdaya.
“Bila tidak keliru, hingga saat ini jumlah dana desa di Bireuen yang telah terserap untuk bimtek-bimtek aparatur desa, sudah mencapai Rp47 miliar. Coba hitung saja di kabupaten lain. Begitu banyak anggaran terbuang hanya demi melayani nafsu orang-orang culas yang memanfaatkan keuchik di desa-desa,” sebut seorang peserta silaturahmi.
Peserta tersebut meminta Pj Gubernur Aceh membuat aturan khusus, agar dana desa benar-benar dipergunakan untuk pembangunan desa. Mengingat masih banyak persoalan yang belum selesai, mulai ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan sosial.
Mendengar penjelasan tersebut, Pj Gubernur Aceh Achmad Marzuki, meminta kepala dinas mencatatnya sebagai masukan. Ia akan membawa masalah tersebut ke rapat koordinasi dengan para bupati/walikota seluruh Aceh yang akan digelar dalam waktu dekat.