Kentut

Kentut
Poster film Kentut (2011) produksi Citra Sinema.

Akhir-akhir ini kentut sudah semakin asyik. Tapi kentut terbaik bukan yang paling nyaring. Kentut terbaik harus bercengkok.

Seorang sopir mengatakan kentut terbaik bukan sekadar meletupkan suara besar. Proses kentut harus mengedepankan seni suara. Semakin berirama, maka kualitas kentut pun semakin dianggap bermutu.

Seorang sopir lainnya bercerita, bahwa ia memiliki teman yang tidak marah bila seseorang buang angin di depannya. Sebusuk apa pun aromanya, ia tidak tersinggung.

Baca: Mencari Jejak Negeri Champa di Bireuen (1)

Bagi si teman, ia akan tersinggung bila orang yang kentut di depannya, hanya sekadar buang angin. Siapapun yang buang gas metana di depan pria itu harus mampu memelodikannya dengan baik.

Di sebuah warung kopi plus kelontong milik seorang teungku imum, menjadi sangat asyik hanya gara-gara kentut. Bila para pengunjung kedainya tidak sedang dalam semangat tinggi –diam dan sibuk dengan gadget masing-masing– si teungku imum merasa tak berselera.

“Coba hangatkan suasana dulu, biar asyik.” katanya setengah memberi perintah.

Bila kalimat itu keluar, pengunjung tetap warkoptong (warung kopi plus kedai kelontong) itu sudah tahu apa yang mesti dilakukan. Mereka akan mengeluarkan gas buang. Tut… broot, preet! 

Tawa pun meledak. Kentut meletup lagi. Kali ini mirip suara kemarahan. 

Orang-orang kecil di akar rumput sedang dalam keadaan susah. Harga pinang jatuh drastis. Jagung dibeli Rp3000 per kilogram. Harga gabah tak menggembirakan. Bertani sudah seperti berbisnis dengan hantu blau. Tak jelas, tapi mesti dilakukan. 

Pupuk subsidi tak sanggup ditebus. Kios penyedia pupuk subsidi dilema. Petani tak menebus pupuk subsidi dengan alasan tak punya uang. Alasan logis tentunya.

Pemilik kios tersandera. Mengutangkan dengan cara dibayar setelah panen, mereka tak punya modal besar. Pupuk saat ditebus ke dustributor harus dibayar cash. Akhirnya  sebagian pengecer harus bertindak sedikit nakal. Menjual pupuk untuk orang lain di luar kelompok tani. Harganya dinaikkan. Kemudian sebagian disetor ke orang-orang yang punya kewenangan menangkap orang.

Pemilik kios pupuk subsidi galau. Maju kena mundur kena. Seperti memakan buah simalakama, tak dimakan mati ayah, dimakan mati ibu.

Orang-orang kecil selalu kalang kabut. Mereka seperti tidak merasakan bahwa pemerintah melindungi rakyat. Mata pencaharian sulit, harga komoditi rakyat jatuh, dan bila ada sedikit saja celah rakyat kecil mencari uang, langsung kena pungli.

Dua narasi besar yaitu  nasionalisme dan religi, tak benar-benar menjadi pelindung kepentingan rakyat kecil. Nasionalisme dan religi menjadi bahan jualan saat kampanye, kemudian menjadi zirah bagi orang-orang besar membagi-bagi kue pembangunan.

Bila narasi nasionalisme tak mampu menggoyang lawan, maka narasi religi yang diangkat. Dua narasi ini dibangun dengan pola marah-marah. Seakan-akan ka nyoe that. Padahai ek h’an khép. 

Anak muda lalai dalam nina bobo. Sebagian mencari celah menjadi bagian dari kelompok yang memainkan dua narasi tadi. Sebagian mencoba menjadi oposisi tanggung, sebagian diam diam uzlah. Jumlah terbanyak memilih pasrah. Mereka putus asa dan kemudian marah-marah di medsos. Memaki siapapun yang menurut mereka tidak benar. Termasuk memaki orang yang melarang mereka memaki.

Dua hari lalu seorang politisi memprotes pelaksanaan Bhayangkara Fest 2024 yang digelar oleh Polda Aceh. Acara itu sudah digelar sejak 5 sampai 8 Juli 2024.

Jauh-jauh hari Polda Aceh sudah mempromosikan acara itu di billboard kota, hingga ke dalam internet. Termasuk mengumumkan bahwa acara itu dimeriahkan oleh sejumlah penyanyi, baik yang dari Aceh, maupun dari Jakarta.

Politisi itu tidak menolak sebelum Bhayangkara Fest 2024 digelar. Ia justru mengkritik setelah acara selesai. Ia menyangkut pautkan malam penutupan BF 2024 dengan 1 Muharram yang merupakan tahun baru Islam.

Lha, bukankah 1 Muharram 1446 Hijriah tidak datang mendadak. Demikian BF 2024 juga tidak digelar mendadak? Lalu kenapa protesnya terlampau terlambat?

Sebagian mencibir cara H. Uma bersuara. Ia ngomong setelah acara hura-hura itu selesai. Sebagian tak peduli karena bagi mereka semua politisi sama saja; sekadar menggemakan bual supaya dianggap bekerja dan peduli.

Tapi, politisi demikian patut diacungi jempol. Karena di daerah yang masih tertinggal, secara umum masyarakatnya lebih sedang mendengar bual ketimbang melihat aksi. Dia patut disebut ahli dalam berpolitik.

Penulis: M. Zubir. Warga biasa yang tinggal di tepi kampung.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here