Kebebasan Akademik Dipasung, Indonesia Menuju Neo Fasis

Kebebasan akademik
Kebebasan akademik dibungkam, terpasung dalam negara yang menuju neo fasis. Ilustrasi dikutip dari: forestdigest.com

Komparatif.ID, Bogor—Kebebasan akademik di Indonesia sepanjang 2022 berada dalam pasungan kekuasaan. Negara saat ini menuju neo fasis yang ditandai dengan lahirnya berbagai kebijakan dan aturan yang membuat mimbar bebas di kampus terpasung.

Demikian yang dibahas dalam pertemuan tahunan bertajuk “Redefinisi Kebebasan Akademik di Era Neo-Fasis: Tren Pelanggaran Kebebasan Akademik 2022 dan Outlook Kebebasan Akademik pada 2023” yang dilaksanakan oleh Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) di Kampung Limasan, Tonjong, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, 9 sampai 10 Februari 2023.

Dewan Pengarah KIKA Dr. Riwanto Tirosudharmo dalam pidato pengantarnya menyebutkan ada sejumlah kecendrungan pola pelanggaran kebebasan akademik yang makin mengkhawatirkan yang dipotret KIKA pada tahun 2022. Pola ini dikhawatirkan akan berlanjut pada tahun 2023 jika tidak ada usaha perbaikan dari para pemangku kepentingan, terutama dari kalangan akademisi sendiri.

Baca juga: Perwakilan FKIP Umuslim Ikuti Bimtek Akreditasi Prodi

Insan akademik merupakan mereka yang memiliki kepedulian terhadap kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik. Karena itu, insan akademik atau secara umum intelektual tidak harus dari perguruan tinggi, namun bisa juga berasal dari lembaga penelitian maupun organisasi masyarakat sipil lainnya yang menjalankan kaidah-kaidah akademik/ilmiah dan mempertahankan pikiran kritisnya.

KIKA melihat ada sejumlah masalah yang bermuara pada pelanggaran kebebasan akademik. Di antaranya adalah manajemen dan beban uang kuliah tunggal (UKT) dan angka pengangguran yang tinggi.

“Hal ini berkaitan juga dengan komersialisasi pendidikan dan pola industrialisasi perguruan tinggi sebagai dampak liberalisasi pendidikan yang berlebihan. Akibatnya, perguruan tinggi dan civitas akademikanya–dosen dan mahasiswa–menjadi sasaran penundukan oleh kuasa politik dan kuasa pasar.”

Sepanjang 2022, KIKA mendampingi berbagai kasus pelanggaran dan usaha pembungkaman terhadap kebebasan akademik. Ada 43 kasus yang didampingi oleh KIKA, angka yang cenderung naik dari tahun sebelumnya yang berjumlah 29 kasus. Berdasarkan kasus tersebut, dosen, mahasiswa, dan kelompok masyarakat sipil menjadi korban pelanggaran dan usaha pembungkaman kebebasan akademik.

KIKA meyakini jumlah kasus yang terjadi jauh lebih tinggi dari angka-angka tersebut setiap tahunnya. Dengan segala keterbatasannya, KIKA hanya mampu mendampingi dan membersamai para korban dan penyintas yang masih sangat terbatas.

Berdasarkan kasus-kasus yang menjadi bagian dari pendampingan KIKA, terdapat 11 model pelanggaran dan usaha pembungkaman kebebasan akademik. Pelanggaran dan pembungkaman tersebut seringkali mewujud dalam bentuk tekanan dan ancaman yang ditandai dengan: (1) Serangan digital bagi akademisi yang melakukan kritik; (2) Tekanan dan teror terhadap aksi mahasiswa; (3) Kesaksian ahli dosen yang dipidana; (4) Dugaan korupsi di perguruan tinggi yang menjadi ancaman bagi integritas institusi dan para akademisinya; (5) Protes isu UKT dan ancaman bagi mahasiswa yang melakukan protes–misalnya: aksi diam di Unhas, #UniversitasGagalMerakyat di UGM, trending tagar lainnya di Twitter terkait UKT di UNY.

Terdapat pula praktik plagiarisme (5), transaksi gelap dan jual beli pengaruh dalam penulisan jurnal, terutama untuk mengejar indeks dan akreditasi jurnal; (7) Pemaksaan kebenaran sepihak oleh pemerintah dan penundukan ilmu dan ilmuwan, salah satunya dengan menyerang peneliti asing (kasus KLHK); (8) Upaya penundukan akademisi untuk melegitimasi berbagai proyek strategis nasional dan konflik agararia (PSN di Wadas, Kinipan, dan Pakel); (9) Peleburan lembaga riset yang disertai pendisiplinan satu arah di BRIN; (10) Iklim akademik yang tidak kunjung membaik ditandai dengan pola rekrutmen dan manajemen kampus yang feodal dan kegagalan pembentukan serikat dosen; (11) Tidak terselesaikannya sejumlah kasus kekerasan seksual di perguruan tinggi.

“Tekanan bahkan teror terhadap akademisi dan masyarakat sipil terus-menerus terjadi tanpa ada upaya maju dalam perlindungannya di level negara maupun institusi perguruan tinggi itu sendiri,” sebut Dr. Riwanto.

Tambahnya, pola ini justru meningkat dalam setahun terakhir. Apa yang terjadi pada kasus-kasus pelangkaran dan usaha pembungkaman kebebasan akademik sepanjang tahun 2022 sebenarnya hanya mengulang peristiwa-peristiwa serangan yang terus menerus terjadi sejak 2015, ketika #ReformasiDibajak #DemokrasiDitelikung.

KIKA Ajak Junjung Kebebasan Akademik

Maka dari itu, KIKA kembali mengingatkan para pegiatnya dan para pemangku kepentingan kebebasan akademik di Indonesia, terutama dari kalangan akademisi, perguruan tinggi, pemerintah, dan masyarakat secara umum untuk menjunjung tinggi Prinsip Surabaya untuk Kebebasan Akademik, khususnya prinsip 2, 3, dan, 4 terkait kebebasan penuh mengembangkan tri dharma perguruan tinggi dengan kaidah keilmuan, mendiskusikan mata kuliah dan pertimbangkan kompetensi keilmuan dan penghormatan terhadap nilai-nilai kemanusiaan, dan larangan terhadap pendisiplinan bagi insan akademisi yang berintegritas.

Outlook/perkiraan situasi kebebasan akademik pada tahun 2023, karena itu, akan ditandai dengan semakin menguatnya otoritas kampus yang berkelindan dengan kepentingan oligarki politik dan modal. Hal ini akan memperberat agenda perlindungan dan pemajuan kebebasan akademik di Indonesia.

Termasuk di dalamnya berbagai upaya neo-fasis negara dengan tetap melanggengkan berbagai produk undang-undang bermuatan pasal-pasal “karet” seperti UU ITE, Perppu Cipta Kerja, UU No.2 Tahun 2022 tentang KUHP, Perubahan UU Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Pendekatan otoritarinimes legal akan makin menguat termasuk dengan menggunakan kekuasaan berbasis legal untuk menundukan sains dan menjadikan suara insan akademik kian tak bermakna. Padahal seharusnya untuk kepentingan bangsa dan negara dan untuk masa depan generasi yang lebih maju dan demokratis ruang demokrasi masyarakat sipil dan kebebasan akademik semakin melembaga. “Pemajuan kebebasan akademik hanya mungkin dengan mengutamakan otonomi perguruan tinggi, otonomi ilmu pengetahuan, kebebasan akademik, dan kebebasan mimbar akademik, termasuk dengan memastikan perlindungan terhadap segenap insan akademik dari upaya represi, pendisiplinan, dan pembatasan,” imbuhnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here