Setelah gelombang raksasa menghantam pesisir Aceh pada akhir 2004, para ahli sepakat tidak ada megathrust yang aman. Bencana terparah sepanjang sejarah Indonesia itu merenggut 150 ribu jiwa. Para ahli berpacu, mempersiapkan diri memprediksi tsunami selanjutnya.
I
Peneliti Earth Observatory of Singapore, Charles Rubin terkejut dengan bencana mematikan yang menghantam pesisir Aceh pada 2004. Ia dan rekan-rekan sejawatnya tidak pernah mengira zona subduksi megathrust akan mengakibatkan gempa bumi dahsyat.
Bencana Tsunami 2004 menghancurkan 14 negara, total korban mencapai 250 ribu jiwa, dan jutaan lainnya harus mengungsi. Para ahli geologi dan gempa bumi lalu sepakat, Tsunami 2004 bukan menjadi yang terakhir, mereka berpacu mengejar waktu, memprediksi kapan bencana selanjutnya datang.
Rubin berujar Tsunami Aceh haruslah menjadi alarm peringatan bagi dunia. Semakin paham seberapa sering tsunami terjadi, semakin baik pula masa depan bisa dirancang agar lebih aman. Untuk bisa menjawab kapan tsunami selanjutnya terjadi, yang pertama harus diketahui ialah apa dan bagaimana tsunami bisa terjadi.
Prof Tuba Ozkan-Haller, melakukan penelitian bagaimana air dan gelombang laut bergerak. Ia mengatakan tsunami bisa dipicu oleh sesuatu yang jatuh ke air, seperti asteroid pada zaman purba yang memusnahkan dinosaurus. Atau bisa juga ditimbulkan dari bawah, bila dasar laut bergerak dan membuat volume air menjadi tidak stabil.
Tsunami yang menerjang pesisir Aceh pada akhir 2004 terjadi karena pergerakan dasar laut kuat dan tiba-tiba akibat gempa bumi. Hal ini terjadi disebabkan permukaan bumi –atau sering disebut lempeng, terus bergerak sepanjang tahun. Bongkahan besar ini bergeser saling menindih dan melewati satu sama lain.
Para ahli menyebut tempat pertemuan antar lempeng sebagai zona subduksi, atau megathrust.
Di beberapa megathrust, lempeng bergerak lancar melewati satu sama lain tanpa ada masalah. Namun kadangkala pergerakan ini tersangkut, akibatnya, tekanan menumpuk di megathrust. Tekanan yang tersangkut ratusan tahun ini menyimpan energi elastis yang luar biasa besar.
“Batu lempeng itu elastis, yang berarti (lempeng) bisa dipadatkan atau dikendurkan. Bila sangkutan lempeng terlepas, gaya yang dihasilkan akan sangat besar,” ujar Rubin.
Energi elastis yang tersimpan pada lempeng yang tersangkut seperti busur panah. Saat pemanah menarik busur, ia sedang menahan dan menumpuk energi elastis menuju titik maksimal. Saat dilepaskan, anak panah akan melesat dan menghajar target sasaran.
Tapi perbedaan mendasarnya ialah energi elastis yang terkumpul. Energi elastis lempeng yang ditahan dan tertumpuk selama ratusan tahun bisa menyebabkan dasar laut (sea floor) naik sangat cepat, mendorong volume air ke atas tiba-tiba, menyebabkan gelombang air bergerak delapan kali lebih cepat dari pada anak panah atlet Olimpiade, lalu menghantam dan meratakan pesisir.
II
“Tsunami menghancurkan seluruh bangunan, banyak orang meninggal, mayat tergeletak dimana-mana, di pelataran rumah, atap. Banda Aceh kala itu sangat kacau,” ujar Reisha Zahrani salah seorang penyintas tsunami yang berhasil kabur dari gelombang dahsyat itu.
Bagi nelayan yang berlayar puluhan kilometer dari bibir pantai, ombak tsunami terlihat hanya setinggi satu dua meter. Tapi saat mencapai daratan 25 menit kemudian, ombak itu sudah setinggi 30 meter.
Hanya berselang tujuh tahun sejak Tsunami Aceh, pesisir Jepang juga dihamtan tsunami dahsyat. Penyebabnya sama, pergerakan lempeng. Setelah Tsunami Jepang, ilmuwan sadar bahwa ada lebih banyak wilayah yang sangat berisiko, tapi bisakan mereka menentukan di mana dan kapan sebelum terlambat?
Untuk menjawab pertanyaan masa depan itu, peneliti harus melihat masa lalu.
Zona subduksi pernah menyebabkan bencana besar pada masa lalu. Sebelum gempa Aceh 2004, gempa besar yang pernah tercatat hanya terjadi di Rusia, Chile, dan Alaska. Kebanyakan negara tidak memiliki instrumen pengukuran dan pencatatan gempa pada masa lalu. Apalagi seismograf modern yang lengkap dan sesuai baru ada kurang seratus tahun lalu.
Karena kurangnya data, sebelum 2004 pergerakan di zona subduksi dianggap aman. Blunder ini menyebabkan kehancuran Aceh pada 2004 dan Jepang pada 2011 tidak terhindarkan. Kesalahan utama ialah tidak melihat lebih jauh ke masa lalu.
“Hanya karena jarang terjadi, kita berpikir bahawa itu (tsunami) tidak terjadi dalam periode tertentu benar-benar salah,” ujar Rubin.
Peneliti dari Oregon State University, Chris Goldfinger mengatakan untuk melihat pergerakan zona subduksi dalam rentang 1.000 tahun tidaklah cukup. Apalagi bila keputusan didasarkan hanya pada pola ratusan tahun. Untuk menjawab pertanyaan kapan tsunami selanjutnya datang, ia meneliti lebih jauh ke masa lalu.
Goldfinger mengambil ratusan sampel lapisan tanah 30 kilometer dari bibir pantai sepanjang pesisir Pasifik Amerika Serikat. Lapisan sampel itu menunjukan sedimen tanah yang melapisi satu sama lain, membentuk lapisan pembatas waktu terjadinya tsunami kuno yang pernah menyapu pesisir Amerika.
Hasil penelitiannya mencengangkan, dalam 10.000 tahun terakhir 41 kali tsunami raksasa pernah menghatam dan menyapu pesisir pasifik Amerika. Tsunami terjadi dengan jarak waktu pengulangan rata-rata 240 tahun.
Jangka waktu pengulangan tidak bisa serta merta menjadi batas prediksi kapan terjadi tsunami selanjutnya. Meski ada jarak ratusan tahun antar tsunami, yang berikunya mungkin tidak butuh waktu selama itu.
III
Dengan menggunakan pendekatan yang sama seperti Goldfinger, dua peneliti Earth Observatory of Singapore, Charles Rubin dan Kerry Sieh berhasil membuat penemuan yang mengejutkan. Jika terkaan mereka benar, tsunami selanjutnya bisa saja terjadi tanpa perlu menunggu ratusan tahun lagi.
Rubin dan Sieh berhasil menemukan jejak pasir tsunami kuno di gua yang berjarak 48 kilometer dari pesisir Aceh. Jejak pasir tsunami kuno itu membentuk lapisan yang bisa memprediksi periode terjadinya tsunami yang menghantam pesisir Aceh.
Kelelawar adalah tokoh utama penemuan ini. Selama ribuan tahun, kotoran kelelawar melapisi lantai gua yang tergenang pasir tsunami. Lapisan kotoran itu membentuk batas jelas antara tsunami-tsunami kuno. Hal ini memungkinkan Rubin dan Sieh untuk menetapkan waktu pada setiap tsunami raksasa yang terjadi pada masa lalu.
Hasil pengalian itu mengungkap catatan dari 3.000 hingga 7.000 tahun lalu, Rubin dan Sieh menemukan bahwa tsunami di pesisir Aceh tidak mengikuti pola periode yang rutin.
“Dalam 500 tahun pernah terjadi enam kali tsunami, sedangkan di lapisan bawahnya menunjukan dalam ribuan tahun hanya terjadi satu kali tsunami setiap 500 tahun,” ujar Rubin.
Salah satu lapisan pasir menunjukan bahwa beberapa tsunami pernah terjadi dalam waktu berdekatan, tidak membutuhkan waktu ratusan tahun seperti jangka waktu rata-rata periodik. Rubin bahkan menemukan bahwa ada dua tsunami yang berjarak hanya beberapa dekade.
“Setelah kejadian 2004, mungkin ada yang beranggapan kita akan aman, tsunami tidak akan terjadi paling tidak hingga 500 tahun lagi. Tapi masa lalu menunjukan bahwa anggapan itu bisa saja salah. Bahkan kemungkinan akan ada empat hingga enam kali tsunami di masa depan dikluster periode yang sama,” lanjut Rubin.
Lalu bagaimana bisa tsunami terjadi lagi dalam waktu yang berdekatan. Padahal energi elastis yang menumpuk perlahan butuh waktu ratusan tahun. Bagaimana energi yang harus terkumpul ratusan tahun itu bisa menyebabkan bencana dahsyat hanya dalam beberapa dekade?
Kerry Sieh menemukan jawabannya. Setelah tsunami 2004, ia dan timnya mendirikan stasiun GPS untuk mengukur kecepatan pergerakan tanah, sekaligus mengukur berapa tekanan yang terlepas. Dari pengamatannya, ia menemukan potensi tekanan yang harus dilepaskan oleh megathrust Sunda sekitar 15 hingga 23 meter potensi tekanan. Sebagai gambaran, potensi tekanan 10 meter cukup untuk memicu tsunami seperti pada 2004.
Sieh mengatakan kemungkinan besar bahwa energi elastis megathrust Sunda yang terlepas pada 2004 tidak 100 persen. Banyak yang menduga energi elastis terlepas semua, sama seperti energi elastis busur panah yang melepaskan seluruh energinya saat ditembakan, namun dari hasil penggalian dan perhitunganya tidak menunjukan hal yang sama.
“Seluruh jumlah (energi) yang kami pikir terakumulasi selama 500 hingga 600 ratus tahun hanya sekitar setengahnya yang dilepaskan. Artinya megathrust Sunda masih menumpuk energi elastis separuh sisa dari akumulasi 600 ratus tahun,” ujar Sieh.
Sieh dan Rubin sepakat, energi elastis yang tersisa –bila ada, lebih dari cukup untuk memicu gempa bumi besar selanjutnya. Artinya tsunami kedua bisa terjadi kapan saja, bisa dalam jangka beberapa dekade mendatang, atau dalam ratusan tahun lagi
“Jadi pertanyaannya ialah apakah akan ada dan kapan gempa bumi besar lagi? Jawaban atas pertayaan kami adalah iya. Tapi saya tidak yakin kapan,” tutup Kieh.
Hal terpenting yang harus menjadi catatan ialah megathrust Sunda pernah berkali-kali menyebabkan tsunami dahsyat berkali-kali dalam waktu berdekatan. Karena itu perangkat dan fasilitas pengamanan dan evakuasi bencana tsunami harus diperbaharui berkala, dijaga, dan dirawat. Harapan terbaik tentu perangkat dan fasilitas tersebut tidak perlu digunakan hingga ratusan tahun lagi.
***
Dirangkum dari beberapa sumber dan film dokumenter produksi National Geographic berjudul The Next Mega Tsunami yang dirilis pada 2014. Film dokumenter ini dapat ditonton melalui layanan OTT Disney+ Hotstar untuk Indonesia.