Kabar Buruk dari Dapur

Kabar buruk dari dapur
Para ibu rumah tangga keluarga kelas menengah ke bawah, saat menderita dalam mengelola belanja rumah tangga. Foto: Komparatif.ID/ Muhajir Juli.

Dapur merupakan pilar sangat vital dalam menjaga kelangsungan sebuah peradaban. Bagaimana jikalau kabar dari dapur tidak lagi menggembirakan? Tentu banyak yang was-was. Bila kabar dari dapur tidak lagi membahagiakan, pertanda ekonomi sedang tidak baik-baik saja.

Pada Rabu (10/4/2024) bertepatan dengan 1 Syawal 1445 Hijriah, saya pulang ke Bireuen. Secara nasional disebut mudik. Tapi di Aceh ada sebutan khusus; woe u gampông. Artinya pulang kampung untuk sementara waktu dengan tujuan berlebaran.

Woe u gampông selalu menarik, asyik, dan tentunya sembari membawa berton-ton rindu kepada siapa saja yang patut dirindui. Kampung halaman merupakan lembaran pertama dalam buku sejarah tiap manusia yang dilahirkan. Beruntunglah bagi kita yang punya kenangan manis. Karena ada yang tidak bersedia woe u gampông karena memiliki kenangan yang tidak baik.

Dalam terminologi Aceh, woe u gampông memiliki dua makna. Makna kedua yaitu orang-orang kalah di rantau yang memilih menyerah karena kondisinya tak kunjung membaik. Baik karena rugi ataupun tak pernah untung.

Bagi saya, woe u gampông merupakan momen paling asyik. Bukan sekadar dapat bertemu dengan orang-orang istimewa di dalam hidup, sekaligus mendapatkan banyak kisah yang dapat menambah khazanah pengetahuan. Ada kabar baik, juga ada kabar buruk.

Ada pula kabar yang terkesan baik tapi sesungguhnya buruk. Yaitu kisah-kisah orang yang sukses membangun ekonomi setelah berbisnis narkoba dan obat-obatan keras. Juga cerita-cerita “kesuksesan” memperbaiki hidup setelah berjuang habis-habisan menipu banyak orang.

Tapi catatan ini bukan tentang itu. Tulisan ini tentang kisah dari dapur yang diceritakan secara natural oleh narasumber dari kalangan ibu rumah tangga dan para suami. Cerita-cerita mereka tidak melalui proses izin wawancara. Informasinya sangat menarik. Mereka berkisah tentang “perang di dapur”.

Perang dimaksud tentu saja hiperbola. Tapi menarik karena disampaikan tanpa melalui proses editing informasi. Keterangannya langsung dari pengelola ekonomi di tingkat paling bawah. Para istri para pekerja informal yang cucuran keringat dibayar dengan nilai yang tidak seberapa, bila dibandingkan dengan jumlah tenaga yang dikeluarkan.

“Semua serba mahal. Beras  mahal.  Ikan, bahan mentah bumbu seperti bawang, cabai, dan lainnya meningkat drastis. Pemasukan suami paling tinggi Rp100 ribu per hari,” ungkap Ros (45) sembari tersenyum.

Saya menyimak wajah perempuan berkulit gelap itu. Senyumnya tawar. Ia seakan menyungging senyum pahit.

Ros bukan perempuan politik. Ia bukan siapa-siapa di tengah pergumulan ekonomi negeri ini. Bahkan ia tidak pernah tahu bila dirinya ikut membayar pajak melalui belanja harian yang ia lakukan.

Pendapatan Rp100 ribu per hari yang dibawa pulang suaminya, Rp15 ribu untuk keperluan sang suami. Sebuah keperluan “primer” seperti rokok murah dan kopi very low budget. 

Pendapatan sang suami tidak stabil. Bila ada kerja, maka ada uang. Bila sedang sepi job, maka mereka berutang. “Saat ini berutangpun sudah malu. Saya harus pintar mengelola keuangan. Tapi sepintar apa pun mengelola, uangnya tak pernah mencukupi, ya tidak terkelola dengan baik,” katanya sembari menyunggingkan senyum. Sunggingan itu terasa seperti empedu.

Ros perempuan perkasa. Ia tidak menyalahkan siapapun. Baginya apa yang dibawa pulang oleh suaminya, itulah rezeki yang telah digariskan. Pikirannya sederhana, bahwa ia dan suaminya tidak ditakdirkan jadi orang kaya.

Lain lagi cerita yang disampaikan Leman (bukan nama sebenarnya). Putri bungsunya telah selesai kuliah. Sang putri sudah pula memiliki pria idaman. Ia telah sangat siap berumah tangga. Tapi ayahnya belum merestui. Sang putri harus bekerja terlebih dahulu, supaya dapat membantu ekonomi keluarga.

Tentu saja si ayah terlampau ego. Ia seperti sedang berbisnis dengan putrinya. Tapi usianya juga tak muda lagi. Masih memiliki dua anak yang harus dinafkahi. Mereka masih kecil. Leman dan putrinya seperti tertangkup dalam belanga rendang simalakama. Tapajôh maté yah, h’an tapajôh maté ma. 

Dun (lagi-lagi bukan nama sebenarnya) kini semakin rajin menyalakan telepon pintar butut yang disambungkan ke loudspeaker butut. Pria 45 tahun itu setiap pagi memutar lagu dangdut. Istrinya tidak suka dangdut. Tapi itulah satu-satunya cara Dun mengalihkan keruwetan pikirannya di dalam gubuk kecil berdinding kayu kelas tiga yang telah lapuk.

Tak ada pekerjaan untuk dirinya yang tidak lulus SD. Banyak orang menudingnya malas. Tapi ia mengaku kehilangan selera bekerja. Ia buruh, tapi bayaran untuk dirinya kerap dilarikan pemegang sub kontraktor.

Bila ia bekerja menghasilkan Rp2 juta, kerap kali yang dibayar tidak sampai demikian. “Mandor” seringkali menghilang setelah proyek selesai.

Baru-baru ini harga emas per mayam di Banda Aceh telah mencapai Rp4 juta. Seturut Banda, di daerah juga naik. Emas bila sudah naik, seperti BBM; sulit untuk turun. Bedanya bila BBM naik, Pemerintah menyediakan bansos sementara waktu. Bila emas yang naik, tidak ada intervensi langsung. Artinya, jomblo harus berjuang mati-matian mengumpulkan uang supaya dapat menikahi perempuannya.

Meski emas merupakan perhiasan mahal, tapi menyangkut hidup orang banyak. Di Aceh, perempuan harus dilamar menggunakan mahar emas. Paling sedikit lima mayam, paling banyak tak tentu. Umumnya untuk kelas menengah limit tertinggi 25 mayam. Biasanya untuk anak orang berada maupun lulusan sekolah kesehatan.

Harga emas menjadi perbincangan para pengelola dapur. Bagi ibu yang memiliki anak bujang, khawatir tak mampu melamar perawan. Bagi ibu yang memiliki gadis, khawatir anaknya tidak ada yang melamar. Lagi-,lagi seperti orang lapar yang disajikan rendang simalakama.

Setiap makmeugang tiba, harga daging semakin meningkat. Rp180.000 per kilogram. Bagi Maryati (46) janda beranak dua harga Rp180 ribu sangat mahal. Ia tak memiliki pekerjaan pasti. Sudah bertahun-tahun ia menghadapi Puasa Ramadan dan Lebaran dengan cara paling minimalis. Untung masih ada toke daging yang memberikannya utang. Dia baru lunas membayar enam sampai tujuh bulan sejak utang daging diberikan.

Nurmala (50) mengisi hari-hari tuanya sebagai buruh lepas pembuatan kotak buah. Satu kotak buah dia menerima bayaran Rp1.000. Harga jual kotak buah yang dibuat dari kayu Rp18.000.

Pekerjaan membuat kotak buah tidak tersedia setiap hari. Tergantung bahan baku dan lancar tidaknya pesanan. Nurmala bercerita, bila full bekerja dia bisa membuat 50 kotak per hari. Bila kerja maksimal itu dapat dilakukan, dia mendapatkan upah Rp50 ribu.

Nurmala tidak punya pilihan lain setelah suaminya meninggal. Ia harus bekerja untuk mendapatkan uang.

Pedagang di Pasar Induk Bireuen mengaku serba salah. Harga bahan kebutuhan pokok saat ini tinggi. Ayam, ikan, bumbu seperti cabai dan bawang, sangat mahal. Beras sudah agak lama Rp220 ribu per zak ukuran 15 kilogram. Di kilang padi, harga beras satu zak Rp190.000.

Ibu-ibu harus menghela nafas panjang tiap kali berurusan dengan belanja. Kabar dari dapur semakin tidak menggembirakan kelas menengah ke bawah. Para istri tertekan dalam mengelola dapur. Uang belanja dari suami tidak bertambah. Pendapatan harian pekerja informal paling tinggi Rp100 ribu.

Lebih sakitnya lagi, masih ada mertua dan suami yang menuding menantu dan istri tidak becus mengelola dapur yang berada di dalam rumah tangga kelas menengah palsu.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here