Inggit Garnasih, menyimpan rasa cinta mendalam terhadap Sukarno. Ia meminta cerai karena Bung Karno memadunya dengan Fatmawati. Meski telah bercerai, hati Inggit tetap menyimpan rasa kepada sang mantan belahan jiwa. ketika Bung Besar meninggal dunia, Inggit melayatnya dengan perasaan remuk redam.
Bila cinta sudah melekat, gula jawa rasa cokelat. Demikian perumpamaan hubungan asmara antara Bung Karno dan Inggit Garnasih. Ketika bertemu, keduanya dalam pernikahan masing-masing. Inggit sebagai ibu kost, dan Sukarno sebagai mahasiswa indekost.
Inggit Garnasih lahir pada 17 Februari 1888 di Kamasan, Banjaran, Bandung, Hindia Belanda. Dia merupakan putri cantik dari pasangan Ardjipan dan Amsi.
Sejak kecil parasnya memang ayu. Ia menjadi kembang desa yang membuat banyak jejaka jatuh hati. Ketika membayangkan menikahi bunga kembang desa, maka fantasinya pastilah Garnasih.
Baca: Bung karno Tukang Kawin
Pria yang beruntung dapat menaklukkan hati Inggit untuk pertama kali adalah Nata Atmaja, seorang patih di Kantor Karesidenan Priangan. Usia pernikahan mereka tidak lama. Keduanya bercerai. Inggit Garnasih kemudian menikah dengan Haji Sanusi, seorang pedagang yang aktif di pergerakan Sarekat Islam.
Semenjak menjadi istri sang pedagang, Inggit sering ditinggal sendiri. Ia kesepian, dan tak tahu harus berkeluh kesah kepada siapa. Hingga tibalah Sukarno, seorang mahasiswa Technische Hogeschool Bandung. Pria muda yang indekost di rumah Inggit merupakan suami dari Siti Oetari, putri H.O.S Cokroaminoto, guru politik Bung Karno.
Pernikahan gantung itu tidak membahagiakan Karno muda. Ia merasa terikat dalam hubungan yang serba tawar. Baginya, Siti Oetari tak lebih dari sekadar adik.
Keresahan Sukarno bertaut dengan kegundahan Inggit Garnasih. Keduanya saling curhat, dan semakin intens mereka bercakap-cakap, semakin dalam rasa nyaman di antara keduanya. Seperti kata pepatah, cinta datang dari mata, lalu turun ke hati, dan bila berjodoh, sampai ke resbang jati.
Dari pertemuan yang intens, akhirnya mereka sepakat mengakhiri pernikahan masing-masing. Kemudian pada 24 Maret 1923, dua insan itu menikah. Pernikahan itu dicatat secara resmi.
Sebelum memilih mundur dari pernikahan kedua, dan menerima pinangan Sukarno, Inggit sudah tahu seperti apa kehidupan mereka dalam mengarungi bahtera rumah tangga. Perempuan lemah lembut itu tahu bila Sukarno bukan pria berada. Seorang mahasiswa dan tokoh muda pergerakan yang memiliki cita-cita memerdekakan Indonesia.
Inggit sudah tahu harus menanggalkan segala kemewahan yang pernah dirasakan ketika masih bersuami Haji Sanusi. Tapi inilah cinta. If the threes abort the leaves to stay alive. So I want to loss you to make you and I still happy.Itulah komitmen yang dipatri di dalam dada sang perempuan. Ketika ikrar suci diikrarkan, usia Sukarno 22 tahun dan Inggit 37 tahun. Jarak usia antara keduanya terpaut 15 tahun.
Semenjak menjadi istri Sukarno, Inggit harus bekerja keras. Mencari uang membiaya kuliah dan pergerakan politik sang belahan jiwa. cukuplah kata-kata romantis yang ia terima kala mereka berdua. Selebihnya mengagumi Sukarno melalui tulisan dan pidati-pidato politiknya.
Untuk kebutuhan hidup mereka berdua, sang istri bekerja membuat jamu. Kansai adalah merek jamu buatan Inggit yang paling diburu para gadis, karena dapat meningkatkan kecantikan.
Untuk pekerjaan itu, dia bangun pagi sekali. Setelah Salat Subuh, dia mulai meracik jamu.Ia berhenti jelang tengah malam. Ia sangat semangat bekerja, meski harus membiayai sang suami dan dua anak angkat mereka Ratna Djuami dan Kartika Uteh. Tak cukup itu, ia juga melinting rokok klobot, demi menambah pundi-pundi gulden.
Uang itu dipergunakan untuk kebutuhan keluarga, membeli buku-buku untuk Sukarno, dan membiayai kehidupan sang Bung Besar kala di penjara. Termasuk untuk ongkos politiknya.ketika Sukarno ditangkap, ia harus membiayai biaya persidangan. Pada tahap ini, ia seperti kata pepatah Inggris This life is a choice. Whatever makes you sad, leave it. And, whatever makes you smile, hold it. Ia telah memilih kebahagiaan dengan menempuh jalan beronak, ia teguh menggenggamnya.
Karena aktivitas politiknya, Sukarno dibuang ke Bengkulu, Sumatra pada 1938 hingga 1942. Ini kali kedua Inggit harus berangkat menemani Sukarno, setelah sebelumnya sang pria pujaan hati dibuang ke Ende, Nusa Tenggara Timur, pada 1933.
Di tanah pengasingan, pada 1 Juni 1943, Sukarno menikahi Fatmawati, putri Minangkabau buah hati pasangan Hasan Din-Siti Chadijah. Sebelum menikahi Fatmawati, Sukarno memberitahu Inggit Garnasih. Sang pria parlente memberikan pilihan poligami. Tapi Inggit menolak. Dengan penuh kehancuran hati, mereka berpisah pada 29 Januari 1943. Setelah itu barulah Bung Karno menikahi putri tokoh Muhammadiyah Bengkulu Hasan Din yang masih berusia 20 tahun. Saat itu usia Bung Besar sudah 42 tahun. Ia menikahi Fatma dengan alasan ingin punya keturunan.
Ada yang menarik, perceraian kedua insan itu disaksikan oleh Bung Hatta, Kihajar Dewantara, dan K.H. Mas Mansoer.
Cinta Inggit Garnasih Tak Pernah Pudar
Setelah berpisah, Inggit tidak menikah lagi. Cukuplah 19 tahun bersama Sukarno menjadi penutup kisah cintanya. Ia cukup bahagia, sekaligus sangat terluka oleh Bung Besar. Cintanya yang lebih luas dari Samudera Hindia, dilukai oleh satu fakta; ia mandul.
Tapi, kekecewaan itu tidak membuat Inggit Garnasih membenci sang pria yang pernah ia asuh sebagai anak, teman, sekaligus suami. Luka yang ditoreh tak menghilangkan cinta. Ia seperti Sinta, tetap mencintai Rama, meski hatinya remuk redam.
Ia buktikan itu tatkala Sukarno wafat pada 21 Juni 1970 di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat Gatot Subroto, Jakarta. Ia mengembuskan nafas terakhir sebagai tahanan politik, yang diperlakukan teramat buruk oleh Suharto.
Saat itu usia sang bunda bangsa sudah 82 tahun. Ia yang mendapatkan kabar kepergian sang belahan jiwa, bergegas dari Bandung ke Jakarta. Inggit Garnasih diberi kesempatan mendekati peti jenazah.
Ngkus—panggilan kesayangan untuk Karno terucap di situ. Ia melepas kepergian sang tercinta dengan linangan air mata. Ia tak kuasa menyelesaikan kalimat perpisahan. Tapi ia ikhlas melepas kepergian Putra Sang Fajar.
It takes a strong heart to love, but it takes an ever stronger heart to continue to love after it’s been hurt. Dibutuhkan hati yang kuat untuk mencintai, tetapi dibutuhkan hati yang lebih kuat untuk terus mencintai setelah terluka.Inggit Garnasih mampu melakukannya. []
Sumber: Pikiran Rakyat,Intisari,Tirto.id, Viva, detik, Brilio.