![reza idria orang aceh reza idria](https://i0.wp.com/komparatif.id/wp-content/uploads/2024/05/reza-idria.jpg?resize=600%2C405&ssl=1)
Komparatif.ID, Banda Aceh—Ingatan orang Aceh sangat pendek. Bila bicara tentang Perang Aceh, hanya berkutat seputar Cristian Snouck Hurgronje.
Dalam pandangan orang Aceh, Snouck menjadi sosok yang teramat tidak disukai. Di sisi lain, Teuku Umar dan Do Karim justru diberikan narasi berbeda. Padahal keduanya pernah bekerjasama dengan Hindia Belanda untuk kepentingan Kolonial.
Demikian disampaikan Reza Idria, Ph.D, akademisi UIN Ar-Raniry Banda Aceh, dalam seminar dan pameran foto bertema Cristian Snouck Hurgronje, Rabu, 14 Mei 2024 di Auditorium UIN Ar-Raniry.
Pada kegiatan bertajuk Admired And Despised: The Life & Work of Snouck Hurgronje, alumnus Universitas Harvard tersebut mengatakan bicara tentang masa lalu, ingatan orang Aceh sangat pendek. Bahkan untuk konteks Snouck, Aceh tidak memiliki catatan yang serius.
Mengapa timbul anggapan bahwa ingatan orang Aceh pendek? Bicara Perang Aceh, orang-orang hanya membicarakan sosok Cristian Snouck Hurgronje. Dari beberapa penelusuran tentang itu, juga lebih banyak stigma, ketimbang catatan serius. Aceh hampir tidak memiliki catatan serius tentang Snouck dan Perang Aceh.
Baca: Gerhana Kebudayaan Aceh
“Ingatan kita dipenuhi dengan nama [Snouck] dan mungkin juga stigma [tentang dia]. Ketika menyebut tentang Perang Aceh,nama pertama yang muncul dalam kepala orang Aceh, atau narasi orang Aceh tentang kolonialisme itu adalah snouck,” sebut Reza Idria, yang studi magisternya ditempuh di Universitas Leiden, Belanda.
Reza menyebutkan beberapa waktu lalu dia memberikan pengantar untuk sebuah buku yang ditulis Nezar Patrianyang berjudul Sejarah Mati di kampung Kami,ia menyebutkan bahwa ingatan orang Aceh paling pendek di antara masyarakat di dunia. Sudah pun ingatan orang Aceh sangat pendek, juga sangat selektif.
“Klaim saya waktu itu sedikit bombastis, ingatan orang Aceh yang sangat pendek dan selektif. Dari zaman Kolonial itu nama yang paling diingat oleh orang [Aceh] itu adalah nama Snouck. Orang Aceh tidak mengingat nama pembunuh [Bangsa Aceh]. Jarang sekali orang dalam berbicara kolonialisme di Aceh itu menyebut Jenderal Gotfried Coenraad Ernst van Daalen, Jan van Swieten, Jenderal Joannes Benedictus van Heutsz, dll,” kata Reza.
Tapi, bila menyebut nama Snouck, hampir semua orang pernah mendengar dan membicarakannya. Demikian juga Reza, dia juga mengalami hal yang sama. Pun demikian, dia tidak mencoba mencari tahu lebih jauh mengapa nama Guru Besar Universitas Leiden itu familiar di kepalanya.
Reza dalam kesempatan itu membagikan cerita tatkala pada tahun 2009 dirinya kuliah di Leiden. Pada suatu kesempatan di awal dirinya tiba di Leiden yaitu menghadiri kuliah umum yang disampaikan oleh Profesor Jalal Amin dari University in Cairo.
Dari seminar tersebut dia kemudian mengantarkan dirinya berkenalan dengan sejumlah orang yang ternyata dalam prosesnya memiliki pertalian dengan Snouck.
Kembali ke soal Snouck, Prof. Wim van den Doel sejak awal telah memberikan klarifikasi bahwa Orientalis tersebut bukan individu yang religius. Snouck melihat agama sebagai fenomena sosial yang sangat penting, tetapi dia tidak punya sisi religius.
Reza menilai Snouck merupakan sosok yang memiliki banyak sekali representasi. Narasi tentang dirinya akan sangat berbeda tatkala dibicarakan oleh orang Aceh, atau Snouck dalam narasi orang Banten, demikian pula dalam narasi oleh Jeddah, atau di tempat-tempat lain di mana dia pernah beraktivitas.
Pola hubungan narasi yang berbeda, membuat Reza Idria harus melihat apa yang diproduksi tentang Snouck, dan apa yang Snouck produksi. Karena tatkala diajukan pertanyaan mengapa otrang Aceh tidak menyukai Snouck, rata-rata tidak mampu memberikan jawaban kongkrit.
“Paling mereka hanya [pernah] mendengar bahwa dia [Snouck] berkhianat kepada orang Aceh,” katanya.
Snouck sudah menulis tentang Aceh, dan sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia. Buku Aceh di Mata Kolonial telah diterjemahkan dalam edisi terbaru.Tetapi bisa dicek berapa persen orang Aceh yang membaca buku itu? Jangankan dalam bahasa aslinya ketika dia menerbitkannya pada tahun 1893, sampai saat ini sedikit sekali orang Aceh yang mau mencermati apa yang ditulis oleh Snouck.
“Itu di-mention oleh James Siegel dalam buku Shadow and sound: the historical thought of a Sumatran people. Bahwa orang Aceh hanya bilang bahwa mereka tidak suka pada Snouck, tetapi mereka tidak tahu apa yang Snouck tulis tentang mereka,” terangnya.
Perihal apakah Snouck adalah seorang Muslim? Hanya dia dan gurunya yang tahu. Akan tetapi catatannya tentang Islam sangat detail ditulis. Dalam diarynya tatkala berkunjung ke Mekkah dia mencatat dengan detail peristiwa dirinya dikhitan. Dia bercerita tentang seorang yang mencukur rambut menyunat dirinya. Kemudian membalut dengan kain, serta mengolesi salap tertentu.
Kenapa dia harus khitan? Karena salah satu syarat untuk menjadi Muslim yang dipahami harus sunat. Dari sana dia memahami bahwa islam sangat ortodoks. Kritik-kritik yang datang kemudian darinya bahwa bagi dia yang disebut dengan Muslim yang sempurna, ialah harus berkhitan.
Snouck seorang yang berpikiran terbuka dan cenderung sarkas. Bila dia menulis tidak enak dibaca. Terutama ketika dia menyerang orang yang dia tidak setuju, dia akan gampang sekali menggunakan kata bodoh. Contoh sekarang seperti yang dilakukan oleh Rocky Gerung. Kerap menggunakan kata dungu.
Snouck juga menyerang penulis-penulis tentang Aceh yang telah memproduksi tulisan sebelum dirinya, dengan kalimat-kalimat tak etis. Sarjana yang mengangkat tema keislaman dengan menekankan pentingnya studi hukum Islam di Hindia Belanda, akan langsung diserang dengan kata dungu.
Orang Aceh kalau betul-betul membaca buku The Acehnese, maka Reza rasa akan sangat sakit hati. Karena Snouck tanpa tendeng aling aling menyerang.
“Mungkin itu menjadi salah satu zaman yang berbeda, akan dilihat sebagai etika intelektual yang dipertanyakan.”
Reza menyebutkan tulisan-tulisan yang diproduksi tentang Aceh oleh Snouck juga harus dilihat dari sisi behind the teks. Sebab pada kedatangan pertama kalinya, dia hanya enam bulan di Aceh. Dari pertengahan 1891 sampai Februari 1892. Pada waktu itu Pemerintah Kolonial sedang menerapkan apa yang disebut dengan garis pertahanan terkonsentrasi.
Dengan demikian, Snouck hanya tinggal di rumah. Dia tidak melakukan kerja fieldwork. Dia menghabiskan banyak waktu di dalam kostnya di Ulee Lheu.
Lalu, bagaimana dia mendapatkan invormasi tentang Aceh hingga dua volume? Tentu ada orang Aceh yang bekerja untuknya. Seperti Teungku Muhammad Nurdin, adik Kepala Pelabuhan Ulee Lheu.
Baca: Merawat Hikajat Prang Goumpeni
Selain Muhammad Nurdin, penyair Do Karim juga bekerja untuk Snouck. Dari mereka itu, mendapatkan semua informasi. Seperti tentang bagaimana cara lelaki dewasa Aceh mengajari anaknya menerbangkan layang-layang. Kenapa orang Aceh itu takut kepada maop, burong, dan lain-lain? Semua dikupas lengkap dalam dua volume tebal, yang sampai sekarang bagi penyuka studi klasik dijadikan koneksi.
Dalam pengantar berbahasa Inggris, Snouck berkali-kali memberikan warning tentang satu orang yang menurutnya menjadi masalah besar bagi Kolonial yaitu Teuku Umar.
Teuku Umar seorang evonturir yang berkali kali di-mention di dalam buku yang masih berbahasa belanda, maupun dalam pengantar berbahasa Inggris. Bagaimana ia tahu dengan detail tentang Teuku Umar? Tentu saja bukan karena informasi ini pure berasal dari insting dirinya, melainkan dari informan dia.
Baca: Perempuan Muda di Bisnis Esek-esek di Serambi Mekkah
Teuku Umar bersama Belanda tidak kurang selama tiga tahun, dan turut menyerang markas-markas kaum muslimin Aceh. Artinya Teuku Umar punya darah di tangannya dalam menghajar kelompok kelompok gelilyawan Aceh.
Reza dan Herman –seorang filolog—telah surat-surat Teuku Umar. Teuku Umar kadang kadang ngambek juga. Ada satu perintah dari Gubernur di Kutaraja kepadanya untuk menyerang Lamkrak. Teuku Umar tidak mau, karena dua malam sebelumnya, dalam satu pesta dia dihina-hina oleh opsir belanda.
“Jadi ini satu hubungan yang lama, dan Snouck sudah melihat bahwa Umar masalah, dan akan memberi satu masalah kepada Belanda.”
Ada hal menarik dalam pola hubungan tersebut. Sebuah sudut pandang yang sangat subjektif. Di satu sisi Snouck melihat Umar sebagai pengkhianat, di sisi lain Umar melihat Snouk dan Do Karim sebagai pengkhianat. Kemudian orang Aceh hari ini melihat Snouck pengkhianat.
Pola hubungan itu kemudian menguatkan dugaan bahwa yang memerintahkan pembunuhan terhadap Do Karim adalah Teuku Umar.
Reza mengajukan sebuah ide, bahwa sejarah Aceh perlu direkontruksi, membaca kembali secara kritis tentang apa yang pernah hidup di dalam cerita masyarakat, atau apa pun yang diproduksi dalam teks. Harus dilakukan secara pendekatan ilmiah, supaya dapat melihat apa yang sebenarnya telah terjadi di masa lalu.