Imam Salat Tidak Becus, Boleh Ditampar?

Imam Salat Tidak Becus, Boleh Ditampar? Faisal Kuba, Akademisi STISNU Aceh dan Sekjen PB RTA Aceh. Foto: HO fot Komparatif.ID.
Faisal Kuba, Akademisi STISNU Aceh dan Sekjen PB RTA Aceh. Foto: HO fot Komparatif.ID.

Ketika hendak melaksanakan salat berjamaah kita kerap menemui imam yang memimpin salat membaca bacaan terlalu cepat, atau terlalu panjang, lama atau bahkan terlalu pelan, lambat seolah-olah salat tidak akan pernah selesai. 

Kadang kita juga menemui pemandangan di mana imam hanya memakai baju kaos atau bercelana levis sementara makmum bergamis, berkain sarung dan rapi.

Fenomena di atas bertambah menjadi lebih asyik lagi ketika musim kampanye tiba, baik Pilkada, Pileg, ataupun Pilpres, kita tidak jarang menemui imam dengan baju partai kebanggaannya atau baju pasangan calon idolanya masing-masing. 

Terbaca jelas oleh makmum ketika bangkit dari ruku’: “Jangan lupa memilih saya, coblos nomor dua untuk perbaikan dan perubahan,” atau tulisan-tulisan dengan bahasa dan kearifan lokal seperti: Kali nyoe neutulong loen. Dan lain-lain.

Lalu apakah kriteria dan siapakah sebenarnya yang berhak dan sah menjadi imam?

Imam adalah pemimpin (tertinggi) dalam salat berjamaah, tentu saja tidak boleh sembarang orang menjadi imam, sebab ada beberapa syarat menjadi imam yang harus dipenuhi dan dipatuhi. 

Munurut beberapa fuqaha (ahli fiqih), misalnya menurut Imam Al-Ghazali, beliau menyebutkan syarat-syarat menjadi imam antara lain: Islam, baligh, berakal sehat, paham syarat dan rukun salat, fasih membaca al-quran, menutup aurat (berpakaian rapi), laki-laki, atau boleh perempuan jika jamaah atau makmumnya hanya perempuan saja.

 Jika ditelaah lebih dalam, para fuqaha memang memasang ambang batas yang ketat untuk menjadi imam, sehingga sering kita jumpai, tidak sedikit orang alim menolak menjadi imam, sering terjadi tawar-menawar atau ‘dorong-mendorong’ diantara mereka untuk maju jadi imam, karena sejatinya, selain syarat-syarat yang disepakati di atas juga terdapat beberapa syarat lain, walaupun tidak semua ulama fiqih sepakat.

Baca juga: Rebutan Jadi Imam, Jamaah Masjid Al Muttaqun Baku Hantam

Misalnya, seorang imam harus dari nasab atau keturunan orang yang mulia, imam yang fisiknya sempurna lebih awla daripada imam yang disabilitas, atau imam harus didahului oleh mereka yang sudah menikah dari pada imam yang jomlo, jika pun sama-sama sudah menikah maka akan dilihat siapa yang memiliki istri yang lebih cantik paras wajahnya, harmonis keluarganya dan lain sebagainya.

Selain syarat-syarat yang disebut di atas juga, terlepas dari disepakati atau tidak, seorang imam juga harus adil, mampu menjaga atau minimal mempertimbangkan kenyamanan makmumnya. 

Kenyamanan makmum dalam salat ini juga bisa dihubungkan dengan lama atau tidaknya sang imam melakukan gerakan salat, tempo bacaan ayat;  tidak elok menjadi imam mereka yang murajaah, atau menyetor hafalan dalam salat. 

Singkatnya, seorang imam adalah mereka yang mampu membaca keadaan makmumnya.

Lantas, jika imam tidak memenuhi kriteria atau syarat-syarat seperti yang disebutkan diatas tetapi tetap nekat menjadi imam, apakah boleh ditampar? Tentu saja TIDAK.

Menampar atau memukul adalah tindakan anarkis, dan tidak boleh dilakukan, agama juga melarangnya dan tindakannya tersebut tidak bisa dibenarkan sama sekali, karena menegur imam yang keliru pun ada tata cara dan aturan mainnya tersendiri dalam salat berjamaah.

Namun demikian, pernah terjadi di masa khalifah Abbasiyah, al-Mutawakkil, khalifah kesepuluh yang memerintah dari tahun 847 hingga tahun 861, salah seorang rakyatnya bernama Ubadah menampar imam yang memimpin salat ketika itu. 

Kisah ini termaktub pula dalam kitab “Nasyrud Addar Fil Muhadharah“, karya Mansur bin Al-Husain Ar-Razi, Abu Saad Al-Abi (wafat 421 H)

Khalifah Al-Mutawakil berkata kepada Ubadah: “Ada sebuah aduan masyarakat kepadaku bahwa kamu memukul (menampar) seorang Imam Masjid. Jika kamu tidak punya alasan, yang membenarkan tindakanmu, maka Aku akan menghukummu.

Ubadah, sang rakyat jelata, menjawab: “Ya Amiral Mu’minin! Pada suatu hari menjelang fajar saya keluar untuk suatu keperluan. Lalu saya melewati sebuah masjid yang telah dikumandangkan azan subuh. 

Saya pun berkata dalam hati: Saya akan menunaikan ibadah ini terlebih dulu, kemudian menuju ke keperluan saya. Saya pun masuk masjid, lalu muazin mengumandangkan iqamah dan kami pun salat berjamaah.

Imam itu memulai membaca surah al-fatihah dan membaca ayat permulaan surah al-Baqarah. Saya pun berkata dalam hati: Barangkali ia (imam) hendak membaca beberapa ayat saja, ternyata ia menyelesaikan hingga akhir surah al-Baqarah di rakaat pertama.

Lalu ia berdiri di rakaat kedua, hingga saya yakin bahwa dia akan membaca al-Fatihah dan kemudian membaca surah pendek, nyatanya, setelah membaca al-Fatihah, ia membaca permulaan hingga akhir surah Ali Imran.

Kemudian setelah selesai salat ia berdiri menghadap jamaah di saat matahari nyaris terbit. Tiba-tiba ia berkata: Ulangilah salat kalian rahimakumullah! Karena tadi aku salat belum berwudhu.

Karena kesal, Aku pun menghampirinya dan menamparnya,”

Mendengar penjelasan itu al-Mutawakil pun tertawa terbahak-bahak.

Namun demikian, dibalik semua problematika yang terjadi dalam proses salat berjamaah, jangan pernah meninggalkan salat berjamaah, hal ini sesuai dengan pesan Hujjatul Islam, Imam Al-Ghazali dalam kitabnya, Bidayah Al-Hidayah halaman 80, beliau berpesan lebih kurang sebagai berikut:

“Jangan pernah kamu meninggalkan salat jamaah terlebih salat subuh; karena salat jamaah 27 derajat lebih utama dari salat sendirian. Jika kamu menganggap enteng keuntungan (fadhilah) yang besar ini, lalu apa untungnya kamu mengaji? Hasil dari mencari ilmu (mengaji) ya untuk mengamalkan ilmu tersebut,”

Pada aras ini pula, seluruh tindakan anarkis; seperti memukul, menampar atau kekerasan fisik-nonfisik lainnya yang dibungkus atas nama syariat atau agama perlu dikaji ulang secara mendalam, karena sejatinya, agama tidak pernah mengajarkan kekerasan; amar ma’ruf harus dilaksanakan dengan ma’ruf,  demikian pula, nahi mungkar harus dilaksanakan dengan ma’ruf.

 WaAllahu’alam.

1 COMMENT

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here