Ibu Penggerak Lawan 3 Dosa Besar Pendidikan

Ibu Penggerak dan kemendikbud berkomitmen menghapus 3 dosa besar pendidikan. Foto: Humas Kemendikbud.
Ibu Penggerak dan Kemendikbud berkomitmen menghapus 3 dosa besar pendidikan. Foto: Humas Kemendikbud.

Komparatif.ID, Jakarta– 3 dosa besar pendidikan yaitu  intoleransi, perundungan dan kekerasan seksual, telah lama menjadi momok bagi lembaga pendidikan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berkomitmen menghapuskan ketiganya dari intitusi pendidikan Indonesia.

Pada Jumat (11/11/2022) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Tekonologi (Kemendikbudristek) beserta Ibu Penggerak berupaya menuntaskan 3 dosa besar pendidikan.

Baca juga: Tingkatkan Kualitas, Aceh Utara Gelar Pembinaan Bunda PAUD

Pelaksana tugas (Plt.) Kepala Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat Kemendikbudristek, Anang Ristanto menyampaikan hingga saat ini kementerian terus berupaya menghapus “3 dosa besar pendidikan” dengan mendorong satuan pendidikan untuk mengimplementasikan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan serta Permendikbudristek Nomor 30 Tahun 2021 tentang Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (PPKS).

“Ini adalah salah satu komitmen kami untuk terus mewujudkan satuan pendidikan yang aman, nyaman, dan bebas dari segala bentuk kekerasan,” tutur Anang saat ditemui dalam Pelatihan Fasilitator Ibu Penggerak di Tangerang.

Maria Hardono, salah satu Ibu Penggerak yang tergabung dalam Komunitas Sidina berkomitmen untuk membantu Kemendikbudristek dengan menyosialisasikan dan menerapkan pola pengasuhan yang positif terhadap anak-anak.

Berprofesi sebagai psikolog, Maria pernah mengalami perundungan saat masa kecilnya. Terlahir dengan disabilitas penglihatan (low vision), dahulu Maria pernah mengalami intoleransi dan perundungan di sekolah. Lebih dari itu, saat ia megenyam bangku pendidikan, banyak guru yang mendidik dengan menerapkan sedikit kekerasan di sekolah.

“Dari situ saya merasa bahwa “3 dosa besar pendidikan” ini benar-benar perlu dihapus dari dunia pendidikan, karena sangat berpengaruh terhadap psikologis kita. Apalagi dengan pekerjaan saya sekarang, saya banyak menemukan kasus-kasus yang terjadi pada anak-anak akibat perundungan, intoleransi, maupun kekerasan,” ujar Maria.

Untuk mengurangi 3 dosa besar pendidikan, Maria menceritakan hal-hal yang ia lakukan. Dimulai dari lingkungan keluarganya, Maria menerapkan pola pengasuhan positif terhadap kedua anaknya. Ia menanamkan cinta kasih, saling menghargai, berpikir positif dan terbuka, menumbuhkan empati, serta keterampilan bergaul dan berkomunikasi.

“Harapannya dengan penerapan kemampuan-kemampuan ini bisa menjadi bekal anak dalam bergaul bersama teman-temannya, sehingga perundungan, intoleransi, dan kekerasan tidak terjadi,” imbuh Maria.

Selain menjalin komunikasi dan kedekatan emosional dengan anak-anaknya, Maria juga melakukan penyebaran informasi yang diperoleh dari Kemendikbudristek terkait “tiga dosa besar” kepada para orang tua siswa di sekolah anaknya. Dari situ, diungkapkan Maria bahwa mereka bisa saling berbagi ilmu dan informasi terhadap perkembangan anak-anak di sekolah, sehingga mereka bisa belajar dengan aman dan nyaman tanpa “tiga dosa besar”.

“Saya juga berusaha menjalin relasi baik dengan guru-guru di sekolah anak-anak saya, sehingga jika terjadi perundungan, intoleransi, dan kekerasan saya bisa mengetahui serta bisa memberikan saran atau masukan dengan nyaman kepada pihak sekolah,” jelas Maria.

Senada dengan itu, Anggie Puspa Anggraeni, Ibu Penggerak dari Bogor, Jawa Barat mengantisipasi terjadinya “3 dosa besar” dengan menanamkan toleransi atas keberagaman yang ada di lingkungan sekitarnya. Menurutnya, menghargai dan menerima perbedaan adalah landasan yang kuat agar anak bisa memiliki rasa empati terhadap sesama.

“Saya menyekolahkan anak saya di salah satu sekolah inklusi swasta. Di sana terdapat anak berkebutuhan khusus serta beragam agama dan ras, sehingga anak saya terbiasa menerima dan menghargai perbedaan setiap harinya,” ujar Anggie.

Citra Dewi, Ibu Penggerak dari Pangkalan Bun, Kalimantan Tengah turut prihatin dengan adanya kasus perundungan, intoleransi, dan kekerasan di sekolah. Ia berharap agar upaya Kemendikbudristek dalam menghapus “3 dosa besar pendidikan” di dunia pendidikan dapat terus dilakukan dan mendapat dukungan dari masyarakat.

“Semoga kebijakan ini bisa terus dilakukan sehingga tidak terjadi lagi perundungan, intoleransi, dan kekerasan di sekolah. Dukungan dari berbagai pihak termasuk Ibu Penggerak mudah-mudahan dapat meminimalisir kejadian-kejadian yang tidak diinginkan (tiga dosa besar) tersebut,” harap Citra.

3 dosa besar pendidikan” juga menjadi materi khusus dalam Pelatihan Fasilitator Ibu penggerak yang diselenggarakan Biro Kerja Sama dan Hubungan Masyarakat (BKHM) Kemendikbudristek. Selama pelatihan, para Ibu Penggerak melakukan diskusi berbagai contoh praktik perundungan, intoleransi, dan kekerasan dalam dunia pendidikan. Dari masalah-masalah tersebut, mereka berdiskusi bagaimana solusi yang bisa dilakukan agar 3 dosa besar pendidikan bisa semakin berkurang dan hilang dari dunia pendidikan.

Wiendrastari Putri, Ketua Sidina Community berharap dengan adanya pelatihan ini para fasilitator Ibu Penggerak dapat menyosialisasikan 3 dosa besar pendidikan melalui diskusi bersama komunitas maupun ibu penggerak lain di sekitarnya.

“Kebijakan dari Kemendikbudristek yang kita diskusikan di sini akan disebarkan melalui media sosial atau secara langsung kepada ibu-ibu lainnya baik di lingkungan rumah maupun sekolah. Semoga ini dapat membantu menghilangkan “tiga dosa besar” di dunia pendidikan,” pungkas Wiendy.

Disitat dari Website Kementerian Pendidikan

 

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here