Hukum Childfree Dalam Pandangan Islam

Childfree
Ilustrasi disitat dari Goodstat.id

Childfree merupakan tema yang sedang hangat diperbincangkan. Tak terkecuali dalam komunitas muslim di Indonesia. Isu tersebut telah menimbulkan pro dan kontra di tengah masyarakat. Pun demikian, sangat menarik karena dapat menimbulkan diskusi hukum dalam agama Islam.

Ahmad Muntaha AM yang merupakan pendiri Aswaja Muda, dalam artikelnya berjudul Hukum Asal Childfree dalam Kajian Fiqih Islam, menulis dalam kajian fiqih ada beberapa padanan kasus, yaitu menolak wujudnya anak sebelum sperma berada di rahim wanita, baik dengan cara (1) tidak menikah sama sekali; (2) dengan cara menahan diri tidak bersetubuh setelah pernikahan; (3) dengan cara tidak inzâl atau tidak menumpahkan sperma di dalam rahim setelah memasukkan penis ke vagina; atau (4) dengan cara azl atau menumpahkan sperma di luar vagina. Semuanya secara substansial sama dengan pilihan childfree dari sisi sama-sama menolak wujudnya anak sebelum berpotensi wujud.

Baca juga: Tionghoa Bireuen Bukan Cina di Morowali

Berkaitan hal ini Imam al-Ghazali menjelaskan hukum azl adalah boleh, tidak sampai makruh apalagi haram, sama dengan tiga kasus pertama yang sama-sama sekadar tarkul afdhal atau sekadar meninggalkan keutamaan.

Ahmad Muntaha juga mengupas hadis Nabi Muhammad SAW yang menganjurkan orang untuk menikah dan mempunyai anak?

Bukankah Nabi saw berulang kali menganjurkannya, seperti dalam dua hadits berikut:

إِنَّ الرَّجُلَ لَيُجَامِعُ أَهْلَهُ فَيُكْتَبُ لَهُ بِجِمَاعِهِ أَجْرُ وَلَدٍ ذَكَرٍ قَاتَلَ فِي سَبِيلِ اللهِ فَقُتِلَ قال العراقي: لم أجد له أصلا، ولكن قال الزبيدي: بل له أصل من حديث أبي ذر أخرجه ابن حبان في صحيحه

Artinya, “’Sungguh seorang lelaki niscaya menyetubuhi istrinya kemudian sebab persetubuhan itu pahala anak laki-laki yang berjihad fi sabilillah kemudian mati syahid.’ (Al-‘Iraqi berkata: ‘Aku tidak menemukan asalnya’, namun Murtadla az-Zabidi berkata: ‘Ada asalnya, yaitu dari hadits riwayat Abu Dzar ra yang ditakhrij oleh Ibnu Hibban dalam kitab shahihnya’). (Muhammad bin Muhammad al-Husaini az-Zabidi, Ithâfus Sâdatil Muttaqîn bi Syarhi Ihyâ-i’ ‘Ulûmiddîn, [Beirut, Muassasatut Târîhil ‘Arabi, 1414 H/1994 M], juz V, halaman 379-380).

مَنْ تَرَكَ النِّكَاحِ مَخَافَةَ الْعِيَالِ فَلَيْسَ مِنَّا ثَلَاثًا رواه أبو منصور الديلمي في مسند الفردوس من حديث أبي سعيد بسند ضعيف

Artinya, “Siapa saja yang meninggalkan nikah karena khawatir kesulitan mengurus anak istri maka tidak termasuk dariku. Nabi saw mengatakannya tiga kali.” (HR Abu Manshur ad-Dailami dalam Musnadul Firdaus dari hadits Abu Sa’id dengan sanad dha’îf). (Abul Fadhl al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil Asfâr, [Riyadl, Maktabah Thabariyyah: 1415 H/1995 M], tahqiq: Asyraf Abdil Maqshud, juz I, halaman 369 dan 403).

Berkaitan hadits pertama Imam Al-Ghazali menjawab, Nabi saw berkata demikian karena andaikan lelaki tersebut mendapatkan anak seperti itu, maka ia mendapatkan pahala tasabbub atau telah menjadi sebab wujudnya anak tersebut. Sementara yang menciptakan, menghidupkan, dan menguatkan anak itu dalam berjihad adalah Allah. Adapun lelaki itu telah melakukan sebab wujudnya anak tersebut dengan menyetubuhi istrinya, yaitu ketika ia membiarkan spermanya masuk ke dalam rahim istri. Menurut Al-Ghazali, hadits ini hanya bersifat anjuran, dan bila ada orang memilih tidak melakukannya atau memilih tidak punya anak maka boleh atau sekadar tarkul afdhal (meninggalkan keutamaan). (Al-Ghazali, II/51).

Demikian pula terkait hadits kedua, Imam Al-Ghazali menegaskan bahwa hukum azl atau menumpahkan sperma di luar vagina hukumnya boleh seperti hukum memilih tidak menikah sama sekali. Ada pun sabda Nabi saw: “Maka tidak termasuk dariku”, maksudnya adalah tidak sesuai dengan sunnah dan jejak langkahnya, yaitu melakukan pilihan amal yang lebih utama. (Al-Ghazali, II/52). Keteguhan Al-Ghazali dalam memegang pendapatnya yang menyatakan menolak anak sebelum potensial wujud atau sebelum sperma berada dalam rahim perempuan adalah boleh, mendapat dukungan Az-Zabidi. Secara tegas Az-Zabidi menyatakan:

إِذْ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ النِّكَاحُ إِلَّا عِنْدَ وُجُودِ شُرُوطِهِ. فَإِذَا تَزَوَّجَ لَا يَجِبُ عَلَيْهِ إِلَّا الْمَبِيتُ وَالنَّفَقَةُ. فَإِذَا جَامَعَ لَا يَجِبُ عَلَيهِ أَنْ يُنْزِلَ. فَتَرْكُ كُلِّ ذَلِكَ إِنَّمَا هُوَ تَرْكٌ لِلْفَضِيلَةِ

Artinya, “Karena sebenarnya seorang lelaki tidak wajib menikah kecuali saat terpenuhi syarat-syaratnya. Sebab itu, bila menikah maka ia tidak wajib melakukan apapun kecuali menginap di suatu tempat bersama istri dan menafkahinya. Bila ia menyetubuhinya, maka tidak wajib baginya untuk inzâl atau memasukan sperma ke rahim istri. Karena itu, meninggalkan semua hal tersebut hanyalah meninggalkan keutamaan, tidak sampai makruh apalagi haram.” (Az-Zabidi, V/380).

Walhasil, dengan merujuk pendapat Imam al-Ghazali, demikian pula pendapat Az-Zabidi, yang membolehkan penolakan wujud anak sebelum potensial wujud, yaitu sebelum sperma berada di rahim perempuan, maka hemat penulis, hukum asal childfree adalah boleh.

Namun demikian kebolehan ini dapat berubah sesuai berbagai faktor yang mempengaruhinya. Seperti childfree yang dalam praktik riilnya dilakukan dengan menghilangkan sistem reproduksi secara total, maka hukumnya haram.

Motif Childfree yang Haram

Ahmad Muntaha dalam artikel lainnya berjudul: Motif Childfree yang Boleh dan yang Haram dalam Kajian Fiqih Islam, menyebutkan keputusan childfree yaitu: (1) memandang rendah anak perempuan, (2) antinatalism yaitu keyakinan bahwa melahirkan manusia-manusia baru ke dunia merupakan sikap tak bermoral yang dilakukan turun-temurun, (3)  mengikuti keyakinan sesat yang menolak memiliki anak, dan semisalnya, maka menurut Ahmad Muntaha, motif-motif seperti inilah yang membuat childfree menjadi haram. Haram karena motifnya bukan haram karena menolak wujudnya anak.

Ada pun alasan-alasan memilih childfree yang tidak menimbulkan keharaman seperti;

Pertama, motif finansial seperti dalam konteks masih berlaku perbudakan manusia tempo dahulu, sehingga seorang lelaki membiarkan budak perempuannya hanya disetubuhinya dengan cara ‘azl sehingga tidak punya anak, agar dengan kondisi seperti ini lelaki pemiliknya tetap dapat menjadikan budak perempuan itu sebagai hartanya. Motif finansial seperti ini hukumnya boleh dan tidak terlarang.

Kedua, motif seksual dan keselamatan hidup, yaitu untuk menjaga kecantikan istri dan kualitas bodinya agar lebih awet dan tetap menarik diajak aktifitas seks, serta menjaganya agar tetap hidup karena khawatir mati bila melahirkan anak. Motif seperti ini tidak dilarang.

Ketiga, motif finansial atau ekonomi, di mana orang khawatir bila punya anak akan merepotkan hidupnya, harus bekerja lebih keras, dan terjerumus dalam pekerjaan-pekerjaan haram. Motif seperti ini juga tidak dilarang. Sebab semakin orang tidak repot, semakin mudah pula ia menjalankan agama.

Pun demikian, hemat penulis bagaimanapun secara mendasar menurut fiqih Islam yang lebih utama adalah tetap memilih punya anak dan berketurunan, bukan memilih childfree.

Meskipun berkaitan dengan motif ini perlu diakui, pilihan yang lebih utama adalah tetap menikah dan bertawakal kepada Allah swt seiring firman-Nya:

وَمَا مِنْ دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا، كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُبِينٍ Artinya, “Tidak satupun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin oleh Allah rezekinya, Dia mengetahui tempat berdiam semua makhuk di dunia dan tempat menetapnya setelah kematian atau saat masih dalam rahim. Semua telah tertulis dalam kitab yang nyata (lauhil mahfûdh).” (Surat Hud ayat 6). (Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin as-Suyuthi, Tafsîrul Jalâlain dicetak bersama Hâsyiyyatus Shâwi ‘alâ Tafsîril Jalâlain, [Beirut, Darul Fikr: 1424 H/2004 M], editor: Shidqi Muhammad Jamil, juz II, halaman 259).

Disadur dari situs Islam.nu.or.id

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here