Hilangnya Tol Aceh dan Ademnya Publik.

Menko Ekonomi Airlangga Hartarto memastikan tol Lhokseumawe-Sigli batal dibangun. Foto: PUPR & BPMI Setpres. Tol Aceh
Menko Ekonomi Airlangga Hartarto memastikan tol Lhokseumawe-Sigli batal dibangun. Foto: PUPR & BPMI Setpres.

Tol Aceh gagal tersambung. Pemerintah memutuskan tidak melanjutkan pembangunan ruas tol Binjai-Langsa, dan Lhokseumawe-Pidie. Tapi publik Aceh adem ayem saja, padahal ini menyangkut masa depan Aceh.

Publik Aceh pernah ribut hingga bergaung internasional tahun 2015, soal penerimaan terdamparnya ratusan imigran gelap beretnis Bangla yang disebut Rohingya dengan alasan membantu saudara seiman. Pertolongan kepada Bangla yang lari dari perang di negerinya sangat heroik. Orang Aceh seolah melupakan masih banyak rakyat Aceh yang miskin perlu ditolong.

Akhir-akhir ini diketahui ternyata ada kerja sindikat mafia perdagangan manusia yang memanfaatkan solidaritas sosial Aceh dalam hal tersebut. Belakangan juga akhirnya masyarakat sekitar penampungan menolak ditinggali oleh imigran gelap   beretnis Bangla karena perbedaan kultur dan ketidaksesuaian adab.

Baca: Berkat Jalan Tol, Investasi ke Jawa Barat Tertinggi se Indonesia

Publik Aceh sempat gaduh masalah diratakannya Rumoh Geudong yang bersisa batu bersemen berbentuk tangga dari bagian rumah panggung tersebut dengan alasan “monumen bersejarah”, dengan mengabaikan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR) yang dianggarkan bekerja untuk itu, tapi tidak menunjukkan kerja signifikan. Belakangan akhirnya KKR tersorot juga tapi isu SPPD fiktif. Hal yang tidak membuat kita bangga, karena KKR adalah representasi Aceh dalam hal penyelesaian HAM Aceh.

Publik Aceh ramai-ramai meributkan kematian IM yang bahkan sempat menyerempet isu etnis karena pada awalnya menduga pelakunya bukan Aceh. Kemudian seolah IM adalah sipil awam yang bekerja normal. Belakangan terbuka ada kasus obat terlarang dan aksi mafia di balik kasus tersebut.

Kegaduhan-kegaduhan itu “memaksa” negara mengikuti keinginan publik Aceh. Yang sebenarnya kalau dikaitkan maslahat sangat sedikit sekali berkaitan dengan Kepentingan aceh. Dalam hal imigran gelap Bangla, saya sejak awal mengimbau agar cukup dibantu secara proporsional mengingat masyarakat kita juga masih banyak butuh bantuan.

Soal “Monumen Bersejarah” saya melihat substansi bahwa negara sudah menunjukkan itikad baiknya dalam penyelesaian HAM. Toh dalam era digital saat ini tak mungkin sejarah positif maupun negatif dihapus. Jika memang sangat penting sekali adanya monumen, tidak perlu segaduh itu.

Kemarin ada pemberitaan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, setelah rapat terbatas terkait PSN di Istana Kepresidenan, Jakarta, Kamis (5/10/2023) menghapus PSN tol ruas Lhokseumawe-Sigli dan Binjai-Langsa. Saya kira semua orang terhenyak. Tapi kemudian tidak ada respon berarti. Kegaduhan itu tidak muncul.

Baca: Tol Lhokseumawe-Sigli Batal Dibangun

Padahal pembangunan jalan tol ini sangat penting dan signifikan untuk kemajuan infrastrukur dan perekonomian Aceh.

Dari semua kegaduhan yang pernah saya dengar selama ini dan jujur, saya tertawa setiap mendengar kegaduhan yang menurut saya “tidak penting”, justru saat kegaduhan itu dibutuhkan saat ini untuk menolak dihentikannya pembangunan jalan tol, sangat dibutuhkan, justru publik Aceh senyap?

Padahal belum lama, saya melihat bagaimana netizen Aceh begitu bersemangat, mengadvokasi isu pengosongan Rempang Galang, di Batam. Yang mana sekali lagi, itu masalah luar Aceh.

Kalau dipaparkan mendetil, publik Aceh melalui medsos  terlibat banyak di advokasi isu-isu nasional luar Aceh, ketimbang Aceh sendiri.

Arti Penting Tol Aceh

Saya akhirnya berkesimpulan, bahwa sebenarnya memang kita sendiri tidak tahu apa yang kita butuhkan dan inginkan. Atau kita kehabisan energi berteriak pada hal-hal remeh temeh atau yang justru tidak berkaitan langsung dengan kepentingan strategis Aceh.

Level kita adalah pada masalah yang kita ributkan. Kalau pada masalah sebesar jalan tol Aceh dihentikan kita tidak ribut, mungkin level kita belum sampai kesana. Kita belum memahami apa fungsi tol Aceh dalam skema pembangunan. Kita belum mampu mencerna arti penting tol Aceh dalam pembangunan ekonomi.

Sebahagian orang yang menganggap tol ini identik dengan Jokowi akan merasionalisasi bahwa Aceh tidak butuh jalan tol, tapi pada saat bersamaan tercengang dengan pesatnya kemajuan daerah lain di Pulau Jawa, yang itu mau tidak mau karena lengkapnya fasilitas infrastruktur, termasuk jaringan jalan jol. Bukannya lucu, ketika karena alasan politis justru menolak negeri sendiri dibangun?

Tapi saya kira tak ada salahnya, saya masih mengharapkan kesadaran publik Aceh untuk “mengimbau” dengan suara desibel tinggi kepada Pemerintah Pusat agar tetap menyelesaikan PSN Jalan tol Aceh. Seberat apa pun tantangan dan masalahnya, tol Aceh harus jadi seluruhnya.

Kalau bukan sekarang kapan lagi?

Kalau bukan kita siapa lagi?

Medsos, please do your magic!

 

2 COMMENTS

  1. Jalan Tol di Aceh sudah sangat mendesak karena jalan yang lama sudah mulai macet yg disebabkan terutama oleh truk yg berjalan lebih lambat. Kedepan kemacetan ini kian bertambah dan akan membuat pengguna jalan lebih stress

  2. Aceh Utara sekarang sangat2 butuh irigasi dimana 3 tahun lebih gagal panen dan jln tol di hati kecil kami jg sangat2 butuh demi kemajuan Aceh dg harapan kpd pak Jokowi tetap merealisasikan jalan tol aceh

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here