Setahun lalu, pada sebuah siang yang panas di bawah langit Banda Aceh, Hasbi Burman muncul di depan pintu ruang kerja seorang pejabat di Sekretariat DPRA. Seperti biasa; dia tidak rapi. Uban telah memenuhi kepala; demikian juga kumis, seluruhnya telah memerak.
Seorang pejabat tersenyum. Menyapa dan kemudian mempersilakan Hasbi Burman duduk. Saya tidak tahu—dan tidak perlu tahu—apa yang mereka bicarakan. Lima belas menit kemudian dia berlalu, meninggalkan ruangan ber AC itu dengan langkah kaki yang tidak lagi sepenuhnya kukuh menginjak lantai berkarpet polypropylene.
Itu kali terakhir saya melihat pria kurus yang oleh Bre Redana menjulukinya Presiden Rex.
Hasbi Burman, pria kelahiran Calang, 1944—sebagian menulisnya 1955, merupakan penyair yang lahir dari kerasnya persaingan akar di akar rumput. Semasih berjayanya Rex Peunayong, Banda Aceh, ia bekerja sebagai tukang parkir. Saya tidak begitu mengenal dirinya lebih jauh. Hanya sering mendengar namanya, serta membaca karya-karyanya di surat kabar. Ia sangat aktif menulis puisi tatkala surat kabar cetak masih menjadi pilihan utama penikmat informasi.
Baca: Mengurai Jejak Rempah di Barsela
Dalam buku antologi puisi berjudul Sekeping Hati yang Tinggal yang diterbitkan oleh penerbit Nuansa Cendekia, Dr. Sulaiman Juned,S.Sn.,M.Sn., menulis Hasbi Burman merupakan penyair otodidak. Untaian kata yang disusun dalam puisi-puisinya bergerak liar, sulit ditebak, serta akrab dengan tema alam, perempuan, dan kabut.
“Puisi-puisinya terasa sederhana namun mengandung makna membias. Memiliki lambang atau simbol yang kuat sehingga memiliki nilai ambiguitas yang tinggi,” tulis Sulaiman Juned, dalam pengantar buku antologi puisi karya sang maestro.
Iskandar Norman dalam tulisannya yang berjudul Membaca Rindu Hasbi Burman si Presiden Rex, menyebutkan dalam menyusun puisi-puisinya, seringkali Hasbi menulisnya di atas lembaran folio, kemudian mengantarkan sendiri ke kantor surat kabar. Ketika Iskandar bekerja sebagai Redaktur Budaya Aceh Independen dan Harian Aceh, Hasbi sering menyambanginya; menyerahkan karya-karya syairnya.
Bila bertemu di warung kopi, Hasbi juga sering menyerahkan langsung karyanya kepada Iskandar. Wartawan tersebut tidak dapat menolak. Ia mengagumi keuletan sang penyair dalam melahirkan karya tulis puisi. Meski kemudian Is harus mengetik ulang untaian kata itu di komputer.
Lain lagi cerita yang disampaikan Azhari Aiyub. Penulis novel legendaris Kura-Kura Berjanggut yang diterbitkan BaNANA, menceritakan Hasbi seringkali mengirimkan puisi-puisinya melalui pesan singkat. Untuk membantu sang penyair, Azhari sering mengakali puisi-puisi itu. dia memotong; menjadikan puisi singkat, kemudian ditayangkan di Harian Serambi Indonesia edisi Minggu. Tujuan Azhari, semakin banyak puisi yang diterbitkan, maka bertambah pula honor untuk Hasbi.
Hal unik dari Hasbi, dia aktif mengirim puisi pada momen-momen tertentu saja. Seperti jelang makmeugang dan hari-hari besar lainnya. Dengan senang hati Azhari akan mengedit dan memuatnya.
Dalam tulisan di platform Steemit Hasbi Burman, Penyair dan Presiden Seumur Hidup, Taufik Almubarak menjuluki Hasbi sebagai Presiden Rex seumur hidup. Gelar kehormatan pemberian Harian Kompas, tidak melalui pemilihan.
Mengutip pendapat Azhari Aiyub, Taufik menulis bahwa tidak semua puisi Hasbi disukai oleh Azhari Aiyub. Hanya ketika ia menulis tentang alam, barulah penerima anugerah Free Word Award dari Poets of All Nations di Belanda pada tahun 2005, itu tertarik.
Era telah berubah. Media massa semakin banyak. Tapi dunia puisi sedikit menemukan ruang kreasi. Kolega Hasbi telah banyak yang berpulang ke haribaan Ilahi. Teman-temannya yang masih hidup, umumnya telah pensiun. Kini, Hasbi berada di tepian sebuah zaman; tatkala penyair seperti dirinya semakin digerus. Terdisrupsi oleh perubahan yang tidak dapat dihindari.
Meja-meja kopi di warkop-warkop legendaris telah banyak diisi oleh orang-orang baru. Sementara Hasbi Burman semakin jarang terlihat. Bila pun muncul, banyak yang tidak tahu bila dirinya merupakan penyair yang telah memintas zaman. Penyair yang namanya terus abadi di dalam berbagai antologi, di Pustaka-pustaka yang menyimpan koleksi surat kabar lawas. Atau juga di dalam ulasan-ulasan yang tercecer di berbagai tulisan informal. Kelak ia akan dikenang sebagai seniman jalanan yang meluahkan rasa melalui untaian kata-kata sederhana.
Sejoli
Burung terbang di atas laut
Senja pulang ke sarang
Sendiri aku berjalan
Dalam kabut senja
Juga pulang
Ke suram.